Ada dua hal yang bisa bikin saya sangat senang. Melihat orang tua sehat bergas dan kemenangan timnas Indonesia atas lawannya. Untuk yang terakhir, beberapa hari lalu saya merasakannya. Timnas Indonesia (meskipun hanya tim futsal) berhasil menjuarai Piala AFF Futsal 2024. Tak tanggung-tanggung, Timnas Futsal Indonesia sukses menenggelamkan sang juara bertahan sekaligus raksasa Asia, Thailand, dengan skor 5-1 di kandangnya sendiri dalam babak semifinal, dan menggilas Negeri Nguyen 2-0 di partai puncak. Ini merupakan gelar kedua Timnas Futsal pada gelaran piala AFF. Dan tak ada negara lain, selain Indonesia dan Thailand, yang mampu menjuarai turnamen yang digelar sejak 2001 ini.
Momen juara Timnas Futsal bertepatan dengan hari pahlawan, 10 November. Kemenangan yang, tentu saja pantas untuk dirayakan. Pantas untuk kita banggakan. Dan kita kenang abadi layaknya seperti kita mengenang para pahlawan yang bertempur habis-habisan di medan perjuangan melawan penjajahan.
Hari pahlawan memang telah lewat. Sepuluh november kemarin, kita memperingatinya. Namun, berjarak lima hari dari hari pahlawan, ada Timnas Sepakbola Indonesia yang akan bertanding menghadapi Timnas Jepang, tim yang saat ini dianggap sebagai yang terkuat di Asia, pada laga lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2026 di SUGBK. Kesuksesan timnas futsal diharapkan dapat memompa semangat Rizki Ridho dkk untuk berjuang “mengangkat senjata” melawan tim dari negeri Sakura. Terlebih, momen pertandingannya berdekatan dengan hari pahlawan.
Perjuangan KH. Hasyim Asy’ari melawan Jepang
Para punggawa Garuda perlu bercermin pada masa lalu, melihat ke masa lampau, ketika Bung Tomo, Supriyadi, hingga KH. Hasyim Asy’ari, rela berdarah-darah demi mengusir pendudukan Jepang di Indonesia. Kala itu, negeri kita, negeri yang kaya akan sumber daya alamnya ini, diduduki Jepang selama 3,5 tahun (1942-1945). Ulama sekaligus pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari adalah salah satu pejuang kemerdekaan yang ikut memerangi penjajahan Jepang.
Menurut penuturan sejarah, kakek Abdurrahman Wahid ini pernah ditangkap tentara Jepang karena dianggap akan melakukan pemberontakan. Hasyim Asy’ari juga mengalami penyiksaan selama di balik jeruji besi.
Dalam buku biografi KH Hasyim Asy’ari berjudul “Guru Sejati, Hasyim Asy’ari”, diceritakan pada 1942 Hasyim Asy’ari beserta beberapa santri ditahan karena melakukan penolakan terhadap Seikerei, ritual penghormatan terhadap Kaisar Hirohito dan ketaatan pada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Waktu itu, rakyat Indonesia diminta pihak Jepang melakukan itu. Seikerei dilakukan dengan membungkuk ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi. Hasyim Asy’ari berpandangan bahwa hanya Allah lah yang wajib disembah. Perintah penjajah Jepang dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama Islam sehingga ia menentang perintah tersebut.
Selain tak sudi melakukan Seikerei, Hasyim Asy’ari juga menolak segala bentuk Niponisasi lainnya, seperti menyanyikan lagu Kimigayo dan mengibarkan bendera Hinomaru. Akibatnya, Hasyim Asy’ari mengalami berbagai penyiksaan selama di penjara selama kurang lebih empat bulan. Tepat pada tanggal 18 Agustus 1942, ulama kharismatik ini akhirnya dilepaskan karena banyaknya protes dari kalangan kiai dan santri.
Singkat cerita, hingga suatu ketika Jepang tumbang, Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, dan kemudian Belanda bersama gerombolan sekutu kembali ke Indonesia. Ketika Soekarno, pemimpin tertinggi kala itu, mengirim pesan untuk meminta bantuan mempertahankan kemerdekaan, maka KH. Hasyim Asy’ari menyerukan kepada barisan para santri di seluruh Indonesia untuk melakukan revolusi jihad, yakni jihad membela tanah air. Dengan adanya seruan revolusi jihad itu para santri bersama rakyat pun tak gentar melawan sekutu.
Pertarungan melawan kaum penjajah waktu itu terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Termasuk di Kota Pekalongan. Pada tanggal 3 Oktober pernah terjadi pertempuran besar di kota yang di kemudian terkenal dengan batiknya itu. Peristiwa ini dikenal juga dengan Tragedi Kebon Rojo. Pada masa itu, rakyat Indonesia berusaha mengusir pihak Jepang yang enggan meninggalkan Indonesia. Ini dilakukan sebagai upaya pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang. Walaupun banyak korban berjatuhan tetapi semangat juang masyarakat Kota Pekalongan dalam peristiwa Kebon rojo perlu kita teladani. Setiap tanggal 3 Oktober, di monumen juang Kota Pekalongan, selalu ada kegiatan upacara dan diwarnai dengan aksi teatrikal, untuk mengenang pertempuran 3 Oktober 1945.
Meneladani Sikap Pantang Menyerah Para Pahlawan
Sikap yang perlu diteladani dari kisah perjuangan Hasyim Asy’ari adalah kegigihannya melawan segala bentuk penjajahan. Hasyim Asy’ari, dan tentu saja para pahlawan kemerdekaan Indonesia lainnya, berjuang ekstra keras untuk melumpuhkan rudal-rudal kolonialisme. Membasmi segala macam perlakuan tak manusiawi yang diperagakan tentara dari Jepang dan Belanda. Membela tanah air adalah kewajiban. Kemenangan bisa diraih dengan persatuan dan kesatuan.
Ketika dulu Hasyim Asy’ari dan para santri mengganyang Jepang dengan hanya bermodalkan bambu runcing dan semangat persatuan, kini Shin Tae Yong dan anak buahnya perlu menerapkan strategi jitu untuk “memusnahkan” skill-skill dewa para bintang negeri Matahari Terbit. Jepang yang datang hari ini bukan Jepang yang membawa tentara dan tank-tank besar 70-an tahun silam, tetapi Jepang yang hadir hari ini adalah tim sepakbola bersenjatakan permainan kolektivitas yang dikemas dengan skill individu dan kecepatan para pemainnya.
Timnas Jepang, yang dikomandoi Hajime Moriyasu, membawa bekal perlengkapan berupa 27 pemain. Empat di antaranya berasal dari dalam negeri alias bermain di tim-tim J1 League. Sisanya, 23 pemain atau 85 persen dari total pemain, berasal dari tim-tim di liga-liga Eropa. Takefusa Kubo (Real Sociedad), Ritsu Doan (SC Freiburg), Kaoru Mitoma (Brighton), dan Wataru Endo (Liverpool) adalah beberapa pemain berbahaya milik Jepang. Mereka diibaratkan sebagai para serdadu yang siap menjalankan intruksi dari Hajime Moriyasu, yang dalam hal ini kita ibaratkan sebagai Hirohito (Pemimpin Jepang saat menjajah Indonesia).
Timnas Jepang, di atas kertas, memang sangat diunggulkan. Selain karena kedalaman skuad yang dimilikinya, mereka juga dimodali dengan statistik yang luar biasa canggih. Belum terkalahkan dari tujuh laga terakhirnya. Menang 6 kali, imbang sekali. Memasukan 26 gol, dan baru kebobolan 1 gol saja. Melihat statistik mengerikan ini, merengkuh kemenangan atas Jepang tentu saja bukan perkara yang mudah. Saya tak mau berekspektasi berlebihan. Bukan pesimis, tapi realistis. Jika bisa imbang saja saya kira sudah menjadi hasil yang membanggakan. Yang terpenting itu tadi, semangat perlawanan menolak menyerah itu harus digaungkan lebih tinggi lagi.
Belajar dari semangat membara para pahlawan kemerdekaan, Jay Idzes dan kolega harus berani meladeni permainan Kubo Cs. Senjata Jay Idzes bukan bambu runcing lagi, musuh yang dihadapinya juga tidak membawa bom, granat dan sebagainya. Ini soal pertarungan di atas rumput hijau, disaksikan 70-an ribu pasang mata di stadion, dan jutaan rakyat yang menonton melalui layar kaca. Kalah-menang soal belakangan. Penting, berjuang pantang menyerah, disertai dengan strategi agar tidak kalah, menjadi poin yang harus diutamakan. Bola itu bundar. Apapun bisa terjadi dalam sepakbola.
Semoga tulisan singkat yang diangkat dalam rangka memperingati hari pahlawan ini dapat menginspirasi khalayak agar mengedepankan sikap semangat dan perjuangan tak kenal lelah, tidak merasa kalah duluan sebelum bertanding. Mari kita doakan, semoga timnas Indonesia meraih kemenangan demi kemenangan, dan endingnya bisa bikin saya dan ratusan juta masyarakat bahagia: Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026.
Kiai Hasyim Asy’ari telah meneladankan, saatnya Shin Tae Yong melanjutkan. Pasukan Jepang di depan mata. Skuad Garuda harus ambil ancang-ancang perlawanan.