Akhir-akhir ini, dunia medsos lagi gandrung dengan Gus Baha. Ulama asal Rembang itu, viral dengan berbagai video ngajinya yang bernas. Sarat dengan literatur keagamaan yang mendalam serta basis logika yang kuat. Kapasitas intelektualitasnya benar-benar terasa betul dari setiap ceramahnya.
Santri KH. Maimoen Zubair ini pula juga familiar dengan “gerakan cangkem elek”-nya. Bukan suatu gerakan mengumbar sumpah serapah, cacian atau makian macam Nur Sugik. Tapi, permainan retorika sederhana dan membumi yang begitu menohok bagi lawan bicara yang tak bisa didebat dengan logika yang runtut serta dalil yang maron. Orang keras kepala dan mau Memangnya sendiri itu, harus dihadapi dengan cangkem elek.
Gerakan cangkem elek ala Gus Baha itu, ternyata bukan barang baru. Sejak dulu, para kiai telah mahir memainkan retorika demikian. Salah satunya adalah KH. Muhammad Ilyas. Menteri Agama tiga periode itu, kerap menggunakan jurus tersebut, ketika berhadapan dengan orang-orang komunis. Sebagaimana diriwayatkan dalam biografinya, “Dari Pesantren untuk Bangsa: Biografi KH. Muhammad Ilyas (2009)”.
Diceritakan dalam suatu forum yang juga dihadiri oleh kader-kader PKI, Kiai Ilyas ditanya oleh mereka. “Kiai, katanya agama Islam adalah agama akal. Katanya Tuhan itu hidup, kalau hidup berarti makan, kalau makan berarti minum, kalau makan dan minum berarti be’ol (buang air besar),” tanyanya.
Tentu saja Kiai Ilyas tahu jika pertanyaan tersebut bermaksud untuk mengolok-olok. Dengan santai, Kiai Ilyas pun balik mengoloknya.
“Sebenarnya saudara telah mengalami sendiri,” jawab Kiai Ilyas.
“Nggak…!” mereka membantah.
“Saudara pernah dikandung dalam rahim ibu saudara?” tanya balik Kiai Ilyas. “Saudara dalam kandungan makan?”
“Makaan…” teriak mereka.
“Minum?”
“Minuummm…”
“Be’ol?” pungkas Kiai Ilyas.
Sontak saja para kader komunis itu, tak kuasa menjawab. Mereka terjebak dengan olok-olok nya sendiri.
Sebenarnya, masih ada beberapa gerakan cangkem elek yang diriwayatkan oleh Kiai Ilyas dalam menghadapi PKI. Namun, ada satu hal lagi yang perlu diketahui dari santri KH. Hasyim Asy’ari tersebut. Beliau juga melawan komunisme dengan gerakan intelektual. Sebagaimana Gus Baha, Kiai Ilyas pun menyajikan literatur yang kaya dan alur logika yang runtut.
Untuk yang terakhir ini, sebuah buku berjudul “Bagaimana Pandangan Marxisme kepada Agama dan Pandangan Agama pada Marxisme” karangan Kiai Ilyas yang meriwayatkannya. Buku yang dikeluarkan oleh Penerbit Endang di Jakarta pada 1966 itu, menguraikan pandangan Kiai Ilyas tentang komunisme. Tak ada luapan emosi di dalamnya. Semuanya berdasarkan kajian literatur, baik dari sumber-sumber primer komunisme, maupun dari al-Quran dan Hadits.
Kiai Ilyas sengaja merujuk pada buku-buku babon ajaran Marxisme. Hal ini untuk membantah anggapan yang kerap didalihkan oleh penganut marxisme kala menanggapi bantahan dari kalangan agamawan. Dimana mereka berdalih bahwa tuduhan atheisme, memusuhi agama dan pemberontak itu adalah fitnah dari kalangan imperialis, kapitalis borjuis yang tak senang dengan komunisme.
“Karena itu, kami perlu, dalam uraian ini, mengambil dalil-dalil dari “primbon” adjaran marxisme jang asli, dengan mentjantumkan “nash-nash” jang “shorih”, sebagai pengakuan jang memantjar dari lubuk hati seorang marxist jang sebenarnja…” tulis Kiai Ilyas dalam pendahuluannya sebagaimana terinspirasi oleh Imam Ghazali kala menulis kitab Maqasidu al-Falasifah.
Benar apa yang dikatakan Kiai Ilyas. Ja merujuk ke sumber-sumber primer ajaran marxisme. Ia lengkapi pula dengan kutipan-kutipan langsung berbahasa Inggris dari buku-buku tersebut. Tentu saja, Kiai Ilyas tak mengalami kesulitan untuk itu. Ia merupakan seorang poliglot. Tak hanya bisa berbahasa Arab, tapi juga Inggris, Belanda dan beberapa bahasa lainnya.
Di antara buku-buku marxisme yang dijadikan acuan adalah Marxist Philosophy, The Revolt of the Temple, Selected Works, dan Manifesto Komunis-nya Karl Marx sendiri.
Kiai Ilyas juga mengutip sejumlah pandangan dan kesaksian dari penulis lainnya. Seperti bukunya Muhammad Ali berjudul “The Religion of Islam”, kesaksiannya Leopard Weiss saat di Uni Soviet yang dimuat dalam buku “The Road to Mecca”, dan sejumlah literatur lainnya.
Dalam buku setebal 72 halaman itulah, Kiai Ilyas mendedah kapasitas intelektualnya untuk membungkam komunisme aka marxisme. Dengan tanpa ragu, ia menyimpulkan:
“Antara agama dan marxisme harus ditarik garis pemisah yang tegas, seperti halnja antara kita bangsa jang sudah merdeka dengan kekuasaan pendjadjahan, seperti djuga antara pemerintah Bolshevik (Uni Sovjet) dengan pihak imperialis-kapitalis, tidak ada kompromi.” (RM)