Dekade tahun 80-an, tidak ada nama kiai atau ulama yang beken melebihi bekennya Kiai As’ad Syamsul Arifin. Sosoknya benar-benar menjadi magnet yang menarik perhatian banyak orang. Rumahnya di desa tapi kharismanya terus merengsek ke seluruh pelosok Indonesia. Orangnya terbuka, cepat akrab dengan lawan bicaranya. Jika bicara analisisnya selalu tajam, pandangannya cukup otentik, apa adanya dan tak lupa humor-humor segar selalu disisipkan dalam setiap obrolannya.
Kediamannya yang sederhana, terdiri dari kayu yang disusun rapi selalu ramai dengan tamu. Tiap hari, para tamu hilir mudik datang dari berbagai penjuru dengan membawa setumpuk permasalahan untuk dicarikan penyelesaian. Mulai dari masalah keluarga, perjodohan, pertaniaan, ekonomi hingga masalah-masalah krusial kebangsaan. Rumah Kiai As’ad benar-benar menjadi semacam laboratorium sosial-keagamaan, tempat umat mencari berbagai jalan keluar.
Dari sekian banyak tamu yang sering mengunjungi sosok berkharisma itu adalah Jenderal Leonardus Benny Moerdani, atau yang dikenal dengan LB. Moerdani. Siapa sangka? Jenderal yang disebut-sebut sebagai jenderal yang keras dan kaku terhadap umat Islam itu diam-diam selalu mengunjungi kediaman Kiai As’ad. Dalam sebuah dokumen arsip foto milik Pesantren Sukorejo, tampak LB. Moerdani sangat akrab dengan Kiai As’ad. Keduanya berpelukan sembari berbisik-bisik.
Belakangan penulis mendapat cerita menarik dari Kiai Afifuddin Muhajir, Santri Kiai As’ad Syamsul Arifin yang saat ini menjabat Rais Syuriyah PBNU, konon saking akrabnya Kiai As’ad dengan LB. Moerdani, beliau sering bercanda dengan menekan hidung LB. Moerdani. Dalam sebuah kesempatan LB. Moerdani pernah ditanya ihwal kemesraan dirinya dengan Kiai As’ad.
“Jenderal, anda ini kan keras dan banyak umat Islam yang antipati dengan anda, kok malah sering berkunjung dan bermesraan dengan Kiai As’ad?”
Jenderal LB. Moerdani terdiam agak lama dan menjawab sembari menghela nafas panjang:.
“Saya menemukan figur seorang bapak dalam diri beliau!”.
Mungkin kejadian ini adalah kejadian satu-satunya dalam sejarah seorang Jenderal yang disegani bahkan ditakuti umat Islam hidungnya dicubit dan dibuat mainan oleh seorang Kiai kampung dari Situbondo Jawa Timur.
Kisah serupa penulis pernah dengar terkait hubungan Kiai As’ad dengan penulis kenamaan, Mahbub Djunaidi, seorang penulis yang dijuluki sang Pendekar Pena. Sudah masyhur bahwa laki-laki kelahiran Jakarta itu memiliki kedekatan khusus dengan Kiai As’ad Syamsul Arifin. Dia bahkan menulis dua esai khusus mengenang kedekatannya dengan mediator berdirinya Nahdlatul Ulama itu.
Dalam sebuah memoar yang berjudul “lagi-lagi Situbondo”, ia menulis kenangannya ditelepon malam-malam oleh Kiai As’ad:
“Buat orang Bandung seperti saya, kota Situbondo itu jauhnya bukan alang-kepalang. Membayangkannya saja sudah ngos-ngosan. Bayangkan dari: Surabaya saja mesti naik mobil 200 km di alam yang gersang, sungguh bukan main. Kalau bukan perlu benar, tak bakalan rasanya cukup tenaga sampai. Awak sudah terkulai sebelum berangkat.
Seperti sudah puluhan kali saya alami, tanggal 18 Maret lalu saya dapat tilpun dari Kiai As’ad Syamsul Arifin disuruh datang menemui beliau, secepatnya. Dari Surabaya, dianjurkan lewat Jember, jemput Kiai Achmad Siddiq dan bawa ke Situbondo.”
Paragraf yang disusun Mahbub di atas melukiskan betapa hubungan pribadinya begitu dekat. Kedekatan kedua beliau juga dibuktikan dengan seringnya perjumpaan keduanya. Jika Kiai As’ad ada keperluan di Jakarta, maka tak jarang Mahbub menemui dan menemaninya. Dan tak jarang Mahbub pula yang datang ke Pesantren Sukorejo Asembagus untuk menemui Kiai As’ad.
Salah satu obrolan Mahbub dengan Kiai As’ad ketika berkunjung ke Pesantren Sukorejo adalah tentang perlunya sekolah kemaritiman. Kejadian ini kira-kira terjadi di tahun 1987. Dalam kesempatan tersebut, Kiai As’ad juga mengajak Mahbub menemui seseorang yang biasa mengirim dan membudidaya ikan di pantai dekat Pesantren Sukorejo.
Maka tidak heran, dari perjumpaan-perjumpaan itu, Mahbub dalam sebuah tulisan mengakui horizon ilmu pengetahuan Kiai As’ad yang begitu luas. Kiai As’ad tak hanya berjibaku dengan aksara arab, tetapi ia juga membuka diri dari ilmu-ilmu umum seperti teori sosial, analisi politik dunia Islam dan lain-lain. Mahbub Menulis:
“Kepada Saya, sang Kiai ngobrol penuh jenaka tentang masa mudanya. Kepada saya, Kiai bicara perihal pemecahan masalah tingkat tinggi. Kepada saya kiai mempersoalkan apa yang pernah ditulis Suzanne Keller dalam dia punya, ‘Beyond the Rulling Class’-nya: pengelompokan elit golongan atas dengan segala akibatnya. Kepada saya kiai menandaskan kebelingeran Ayatullah Khomeini.”
Lalu muncul pertanyaan, apa yang membuat Mahbub menaruh hormat yang mendalam terhadap sosok Kiai Asad? Penulis baru tahu belakangan ketika ketemu seorang kawan jurnalis di Jakarta beberapa bulan yang lalu. Ia bertemu dengan putra Mahbub dan mendengar alasan kenapa ayahandanya begitu takzim pada Kiai As’ad. Dalam penuturan kawan saya itu, Mahbub jatuh hati kepada Kiai As’ad karena pada sosoknya ia menemukan figur seorang bapak. Lebih-lebih, sedari kecil, Mahbub memang ditinggal mendiang ayahnya.
Daya tarik dalam diri Kiai As’ad disemai dari kerja ikhlas yang ia bangun dalam segenap langkah perjuangannya. Seluruh dedikasinya untuk agama dan bangsa dibangun atas fondasi keikhlasan. Maka wajar saja, banyak kalangan datang berduyun-duyun mengunjungi rumahnya untuk mencium jari-jemarinya, menatap wajah sejuknya, dan menanti petuah-petuahnya. Tatapan dan gerak gerik Kiai As’ad yang teduh seolah-olah membasuh pekarangan batin umat yang kerontang. Akhlak kekiaian datang terbuka menyantuni seluruh lapisan masyarakat.
Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ فَيَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ أَحَبَّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ، ثُمَّ يُنَادِي جِبْرِيلُ أَهْلَ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ أَحَبَّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ، ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw: Sesungguhnya jika Allah Swt mencintai seseorang, Ia akan memanggil Jibril dan Ia bersabda, ‘Sesungguhnya Allah mencintai seseorang fulan, maka cintailah ia!’ lalu Jibril memanggil penduduk langit, ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan maka cintailah dia, kemudian fulan itu akan diberi karunia akan diterima seluruh penduduk bumi.”