Salah satu desa di Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan, yaitu Desa Linggoasri, terkenal bukan karena wisatanya saja, melainkan dikenal pula sebagai desa yang menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama. Desa ini sering dijadikan tempat melakukan penelitian, atau studi lapangan oleh para akademisi khususnya, baik yang ada di Pekalongan atau sekitarnya.
Desa Linggoasri yang berada di kawasan pegunungan – berjarak sekitar 11 km ke arah selatan dari pusat Kabupaten Pekalongan – memang dikenal sebagai desa yang heterogen. Di desa itu terdapat agama Islam sebagai mayoritas, Hindu, Kristen dan Budha. Jumlah penduduknya sekitar 1.993 jiwa (BPS, 2020).
Meski memiliki perbedaan keyakinan, kehidupan umat beragama di Desa Linggoasri tampak terlihat adem, tanpa konflik, dan saling menghargai perbedaan. Maka kemudian, Desa Linggoasri disebut sebagai desa moderasi beragama.
Melihat Praktik Moderasi Beragama di Linggoasri
Sebagai desa yang disebut-sebut sebagai pusat laboratorium moderasi beragama, banyak pihak, salah satunya mahasiswa dan dosen UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan, yang melawat ke desa tersebut. Tujuannya, salah satunya adalah melihat secara langsung praktik moderasi beragama yang ada disana.
Terkait moderasi beragama, di kampus UIN Gus Dur, masuk ke dalam mata kuliah yang diajarkan. Akan tetapi, materi moderasi beragama tidak cukup jika hanya disampaikan lewat power point, ceramah dosen, ataupun seminar. Mahasiswa perlu mempraktikkan, atau setidaknya, melihat langsung praktik moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa waktu lalu, tepatnya pada 14 November 2023, Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah (FUAD) bekerja sama dengan Tim Pemberdayaan Masyarakat UIN Gus Dur melakukan Kegiatan Aktualisasi Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Moderasi Beragama di Desa Linggoasri. Kegiatan pengabdian ini disponsori UIN Gus Dur via LP2M.
Dr. H. Miftahul Ula, M.Ag, selaku Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kelembagaan FUAD UIN Gus Dur mengatakan, kegiatan ini diikuti oleh mahasiswa dari tiga program studi yakni mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Komunikasi Penyiaran Islam, dan Manajemen Dakwah yang mengambil mata kuliah moderasi beragama di semester ini.
“Kegiatan PKM di Linggoasri ini merupakan inisiasi dari pak Syamsul Bakhri dan Muhamad Rifa’i Subhi serta dosen-dosen lainnya. Kebetulan keduanya adalah dosen FUAD,”ucapnya.
Kegiatan mahasiswa FUAD di Desa Linggoasri merupakan implementasi dari mata kuliah moderasi beragama dan dalam Rencana Pembelajaran Semester (RPS) mata kuliah tersebut terdapat best practice atau praktik terbaik. “Kemudian mahasiswa kita ajak ke Desa Linggoasri itu sebagai praktek untuk melihat secara langsung,”tutur Pak Ula, sapaan akrabnya.
Penduduk setempat sebenarnya tidak sadar kalau keseharian mereka, yang sering berjumpa satu sama lain, melakukan kegiatan bersama tanpa memandang status agama, tolong menolong dalam kebaikan, dan hal baik lainnya, namanya moderasi. Sikap seperti ini sudah sangat mencerminkan sebuah konsep yang bernama “moderasi beragama”.
“Artinya bukan kemudian diada-adakan, memang sudah seperti itu. Bahkan kita kan ada konsep, ada amanat moderasi beragama, kemudian kita angkat Desa Linggoasri. Kebetulan Desa Linggoasri itu yang mengangkat dari UIN Gus Dur, khususnya dari FUAD, tim pengabdiannya, sehingga Desa Linggoasri menjadi salah satu desa terbaik dalam moderasi beragama secara nasional,” tambah Pak Ula.
Torehan prestasi telah diraih pada kegiatan pemberdayaan berbasis moderasi beragama yang diselenggarakan di Desa Linggoasri. Pertama, menjadi juara 2 nasional rumah ibadah moderasi beragama. Kedua, menjadi Juara 8 nasional kampung moderasi beragama dan ketiga, Juara 2 Best Paper ICON-UCE tahun 2022.
Kegiatan best practice mahasiswa FUAD digelar di tempat outdor, di sebuah tempat usaha bernama Cafella, kafe hasil program pemberdayaan, yang juga dikelola oleh BUMDes setempat. Kegiatan diisi dengan diskusi santai, menghadirkan narasumber dari pemuka agama desa setempat, yaitu Bapak Mustajirin (Islam) dan Bapak Taswono (Hindu).
Kedua tokoh itu, meski tidak seiman, tetapi bekerja dalam ruangan yang sama, menjadi perangkat desa di Desa Linggoasri. Pak Taswono merupakan sekretaris desa. Sementara, Pak Mustajirin, sebagai lebe.
Sekitar 200-an mahasiswa FUAD, serta beberapa dosen yang ikut serta, mengikuti sesi dialog tersebut dengan seksama, menjadi pendegar yang baik ketika narasumber berbicara, lalu berdiskusi, tanya-jawab, tentang moderasi beragama yang dipraktikkan dalam lelaku keseharian masyarakat Desa Linggoasri.
Mahasiswa Menjadi Agen Moderasi Beragama
Kegiatan tersebut dikonsep sedemikian rupa. Narasumber tidak banyak bicara, mereka hanya sebagai pemantik saja. Porsi penyampaian materi lebih sedikit daripada diskusi-nya. Hal ini supaya mahasiswa lebih banyak bertanya, sebab di ruang-ruang kelas teori tentang moderasi beragama sudah mereka pelajari, sehingga untuk menemukan ‘ruh’ pada materi tersebut, mereka perlu mengetahui praktik moderasi beragama secara langsung.
Best Practice menjadi contoh konkrit dari mata kuliah moderasi beragama di UIN Gus Dur. Pihak kampus berharap para mahasiswa nantinya menjadi agen moderasi beragama di tempat tinggalnya masing-masing. Baik lewat perilaku di dunia nyata, maupun melalui pembuatan konten di dunia maya.
“Kita siapkan para mahasiswa ini supaya menjadi agen moderasi beragama melalui praktik sehari-hari, menerapkan sikap toleransi ketika berteman dengan yang berbeda agama, misalnya, atau menghargai perbedaan antar umat beragama,” kata Pak Ula.
Menjadi agen moderasi beragama, baik secara luring atau daring, sama dengan mengimplementasikan dakwah baik via digital maupun di kehidupan sehari-hari. Ini juga sekaligus menerapkan apa yang pernah dijalankan Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW mencontohkan dakwah kepada umatnya dengan berbagai cara melalui lisan, tulisan dan perbuatan.
Metode dakwah dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni Bil Lisan, Bil Qalam, dan Bil Hal. Bil Lisan yaitu berdakwah dengan perkataan, sementara bil Qalam yaitu dakwah melalui tulisan yang dilakukan dengan keahlian menulis. Bil hal, disisi lain, lebih menekankan pada perbuatan atau perilaku.
Desa Linggoasri: Wajah Indonesia Sesungguhnya
Desa Linggoasri, dalam pandangan Pak Ula, merupakan gambaran sesungguhnya negara Indonesia, sebagai sebuah negara yang plural, beragam, namun tetap bisa menyatu. Desa Linggoasri disebutnya sebagai representasi Indonesia, karena antar masyarakatnya, meski berlainan agama, bisa hidup rukun, dekat satu sama lain, mencair, tidak terjadi ketegangan yang bisa menyulut kekerasan dan sebagainya.
“Jadi tipe Indonesia seperti itu dan kebetulan memang betul-betul cair dalam arti kalau kita kan misalnya di Pekalongan ada Hindu, Kristen, kan jauh, biasanya mereka mengelompok sendiri-sendiri sesuai agamanya. Nah di Linggoasri itu tidak, mereka ya berhadap-hadapan, bahkan pura itu bersebelahan dengan mushola, itu tidak dibuat buat, alami banget natural,”kata Kiai Ula.
Kehidupan masyarakat Desa Linggoasri yang harmonis, teduh, adem ayem, betul-betul menjaga dan merawat toleransi, juga diakui oleh Miftahul Fikri. Fikri merupakan ketua Ikatan Remaja Masjid dan anggota Karangtaruna desa setempat. Hubungan umat beragama di Desa Linggoasri sangatlah proporsional, berkesinambungan satu sama lain, tidak membeda-bedakan, tidak saling memecah belah, dan saling mencintai sesama makhluk tuhan.
Sebagai aktivis pemuda Desa Linggoasri, Fikri seringkali melakukan aktivitas bareng pemuda dari agama lain, seperti misalnya gotong royong setiap ada acara hari besar atau kegiatan di tempat ibadah masing-masing.
Tidak hanya itu, kegiatan yang panitianya berasal dari para aktivis berbagai agama juga pernah dilakukan, yaitu kegiatan Kemah Moderasi Beragama. Fikri berujar, bahwa menghargai satu sama lain tanpa diskriminatif, dan selalu menjalin tali silaturahim dengan baik, merupakan wujud nyata toleransi antar umat beragama.
“Ketika agama lain merayakan hari raya, misalnya, kami juga ikut merasa senang. Terkadang mereka juga memberikan bingkisan kepada kami,”ujar Fikri.
Hubungan baik umat beragama di Linggoasri memang tidak hanya diaktualisasikan oleh orang tua, tetapi juga golongan anak muda yang ada di sana. Praktik baik moderasi beragama di Desa Linggoasri sudah diejawantahkan secara turun temurun, bahkan jauh sebelum digemakan program moderasi beragama.
“Terbiasa dengan kondisi lingkungan yang majemuk terlebih kaitannya dengan perbedaan agama, mungkin tidak begitu sulit bagi pada pemuda untuk bersikap toleran, bahkan sebelum digaungkannya program moderasi agama masyarakat Desa Linggoasri terutama para pemuda sudah saling menghormati satu sama lain,”kata Rani Winasih, pemuda desa yang menjabat Sekretaris Pemuda Hindu (PERADAH Kabupaten Pekalongan).
Mahasiswa UIN Gus Dur, diakui oleh Rani, sering berkunjung ke desa nya. Namun, karena para pemuda banyak yang bekerja, entah merantau, bekerja di kebun, dan atau bersekolah, sehingga tidak semua bisa hadir untuk bertatap muka dan menghadiri acara mahasiswa. Walau demikian, pemuda Desa Linggoasri sangat terbuka jika ada mahasiswa yang ingin berkunjung dan melalukan kegiatan di Desa Linggoasri.