Suatu hari, entah lupa tahunnya, Gus Abdul Ghafur Maemun ketika mengisi Halaqah Ahlussunnah wal Jama’ah di sebuah masjid di desa saya sedikit kaget karena peserta Halaqah bandel merokok di dalam masjid.
Tapi dengan bercanda Gus Ghafur dawuh, “Merokok di masjid bagian dari upaya deradikalisasi agama”. Sontak para hadirin tertawa.
Ya, soal rokok mungkin memang orang Madura yang paling “toleran”. Di Madura, Anda bisa menyaksikan tua, muda, hingga anak-anak biasa merokok. Tempatnya bisa dimana saja. Sejak tempat yang paling profan seperti warung makan atau kopi hingga tempat yang sakral seperti di emper masjid atau mushalla.
Sebagai pulau penghasil tembakau yang diperkenalkan sejak abad 1861, wajar jika rokok menelusup hingga ke ruang beranda kebudayaan orang Madura.
Kuntowijoyo dalam buku “Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura” mencatat, pertama kali yang memulai penanaman tembakau adalah tiga usahawan Belanda di kabupaten Pamekasan.
Jika Anda bertamu ke rumah orang Madura, pertama yang dijamukan adalah rokok. Baru kemudian menyusul kopi. Hatta di rumah orang yang tidak merokok sekalipun, jamuan ini wajib ada. Dua saudara kembar ini seakan jamuan wajib. Salah satunya tiada, dunia seakan hambar. Hingga ada kearifan lokal, “bhede songkok bhede kalambhi, bhede rokok bhede kopi” (ada songkok ada “kalambhi” (baju), ada rokok ada kopi).
Bahkan dalam taraf tertentu ada “spriritualisasi” soal rokok ini. Diyakini bahwa rokok ada rizkinya sendiri. Berhenti merokok tidak kemudian rizki Anda bertambah. Sebaliknya, merokok tidak akan menjadikan rizki Anda berkurang. Boleh Anda setuju atau tidak. Tapi poinnya, menghitung rizki itu tak bisa menggunakan matematika.
Nah, bagaimana perokok menyambut lebaran? Lebaran dimana segenap muslim bersilaturrahim dan bermaaf-maafan serta segenap muslim ingin menjamu yang terbaik bagi tamunya, rokok juga harus naik pangkat. Maka orang Madura pada hari raya akan menjamu rokok yang beda dari hari biasa. Lebih ekslusif dan mahal. Jika hari biasa rokok yang dihisap merk “Oe*et” (rokok kretek kesukaan orang Madura dan harganya terjangkau), hari lebaran ganti G**ang Ga**m Su**a, Dj*e S*m S*e atau rokok sejenis yang harganya lebih mahal.
Dulu, ketika saya masih remaja, seminggu sebelum Lebaran sudah membeli rokok mahal di pasar tradisional. Rokok itu disimpan di lemari dan baru dibuka ketika lebaran. Teman-teman saya juga begitu. Pantang bagi kami membukanya sebelum Lebaran.
Maka, ketika tiba hari raya, di meja setiap rumah tertata rapi; kue kering, kopi, dan tak lupa rokok ekslusif. Tak cuma tuan rumah, para tamu juga akan mengeluarkan rokok ekslusif dari kantong bajunya. Tuan rumah dan tamu bercengkrama di hari raya dengan penuh keceriaan dalam kepulan asap rokok dan pekatnya kopi hitam.
Saat ini memang ada pergeseran. Bukan pada ekslusifnya rokok, tapi pada jamuan minuman. Di beberapa daerah terkadang tak lagi ada jamuan kopi, tergantikan oleh minuman kemasan yang praktis dan instan. Kadang cukup segelas air kemasan. Seiring pergeseran ini, tatap muka dan percakapan tamu dan tuan rumah juga praktis dan instan. Relasi makin singkat. Keintiman dan keguyuban makin berkurang.
Fakta ini sebenarnya menyalahi etika. Menyalahi budaya. Rokok dan kopi yang hakikatnya “saudara kembar” dan mampu merekat relasi dan keintiman antar orang untuk berlama-lama, dipaksa berpisah. Minuman kemasan, sebagai gantinya, ternyata belum bersenyawa dengan rokok. Setidaknya itulah yang saya lihat di Madura. Entah, di daerah Anda?