Sedang Membaca
Mengenal Kitab Pesantren (78): Membaca Mambaus Sa’adah Menyelami Telaga Kebahagiaan

Pelajar di Islamic Home Schooling Fatanugraha Wonosobo, sedang mengaji Tari Topeng Lengger yang ada di Wonosobo.

Mengenal Kitab Pesantren (78): Membaca Mambaus Sa’adah Menyelami Telaga Kebahagiaan

Img 20220421 234819

Membaca Kitab Manbaus Sa’adah (Telaga Kebahagiaan untuk Relasi Pernikahan) karya KH. Faqihuddin Abdul Qodir adalah salah satu keberkahan tersendiri dan menambah insight baru. Meski baru tahapan membaca dengan semampunya dan mengkaji secara bandongan di bulan ramadlan kali ini menjadi mengisi bulan puasa merasa produktif. Dimana kitab ini merupakan salah satu kitab kuning yang memiliki landasan Islam dalam membangun rumah tangga yang adil. Pasalnya, budaya patriarki dalam rumah tangga muslim masih sangat kuat di masyarakat.

Banyak sekali nilai yang bisa diambil dari kitab Manbaus Sa’adah ini, terutama tentang landasan Islam dalam membangun kehidupan rumah tangga. Salah satunya mendorong relasi yang adil di dalam pernikahan sehingga menjadi keluarga yang mawaddah warohmah wa maslahah dan pada puncaknya menjadi keluarga yang sakinah.

Terkadang seringkali salah memahami kodrat dan peran yang merupakan bentukan masyarakat. Bahkan wacana gender sering disalahartikan sebagai ide yang berasal dari luar. Selain itu, ada relasi kuasa yang tidak seimbang. Kebanyakan istri dalam berumah tangga hubungan suami-istri dalam posisi lebih rendah dan itu seolah-olah dilegitimasi oleh agama. Pemahaman yang keliru atau kurang tepat ini kerap perempuan menjadi rugi. Contoh nyatanya adalah terhalang hak perempuan untuk berproses mengembangkan dirinya.

Lain lagi, alasan perempuan masih memiliki pemahaman keliru semacam itu, menurutnya karena masih ada lembaga-lembaga sosial yang berkontribusi dalam pelanggengan pemahaman yang bias gender. Seperti keluarga, lembaga pendidikan, bahkan agama dengan dimaknai atau melalui interpretasi teks secara timpang.

Dalam beragama untuk saling menghargai, menghormati, atau menyelamatkan, adalah hal yang penting dan harus. Sesungguhnya Islam menekankan kesetaraan. Islam menjelaskan laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama, yang membedakan hanya iman dan ketakwaannya. Sebagaimana digambarkan oleh lama atau para Wali dahulu ketika membangun masjid, masjid di desain dalam hal itu seorang perempuan dan laki-laki sama posisinya tidak ada batas mendahulukan laki-laki baru perempuan tetapi sama-sama setara dengan posisi tempat yang berdampingan, pawestren atau tempat untuk perempuan.

Baca juga:  Dalam 10 Judul Karyanya, Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy'ari Menuliskan Alasannya Menulis

Dengan hadirnya kitab ini memberikan penjelasan tentang landasan keadilan gender yang sumbernya tidak lain tidak bukan adalah dari Islam itu sendiri. Kitab Mambaussa`adah hadir untuk itu dengan referensi (mashaadir) dari kajian-kajian terdahulu maupun kekinian. Kupasannya tidak terbatas sisi keperempuan secara naluristik, tapi juga dari sisi etika, tuntunan muasyarah suami-istri, kesehatan reproduksi (kespro) dan tentu saja konsep-konsep membangun rumah tangga.

Kitab Manba’us Sa’adah ini yang jika diartikan secara harfiah, judul kitab ini bermakna telaga kebahagiaan, yang berupa panduan dan tuntunan untuk menciptakan relasi yang membahagiakan, Jadi sangat beruntung bila kita membacanya terlebih tabarukan untuk ngangsu atau nyicipi dari luasnya telaga kebahagiaan dengan mengambil hikmah dan ilmunya, terkhusus pada hubungan perkawinan.

Jika ditilik lebih lanjut, yang membedakan kitab pernikahan ini dengan beberapa kitab nikah yang dibahas di pesantren atau kitab kuning sebelumnya adalah terkait pembahasannya yang tidak terfokus pada hukum nikah, tetapi pada daur kehidupan manusia, terkhusus pada perempuan yang memiliki sistem reproduksi yang lebih kompleks. Kemudian kajian atau pembahasan khitan laki-laki dan perempuan. Puncak dari laku kasih sayang dan keadilan adalah kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.

Kitab yang diawali kata pengantar KH. Said Aqil Siradj dan KH. Husein Muhammad ini terdiri dari 3 bab dan 20 sub bab pembahasan. Kebahagiaan di akhirat adalah tentu saja dengan memperoleh keridlaan dari Allah Swt, sebagai pahala dari ibadah, keimanan kita, dan akhlak baik kita kepada sesama manusia. Sementara kebahagiaan di dunia adalah masing-masing kita bisa saling ridla satu sama lain, memperoleh keridlaan dari orang lain dan melakukan hal-hal yang membuat orang lain ridla pada kita. Paling  tidak dalam skala terkecil masyarakat, yaitu keluarga.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (41): Nihâyatus Sûl dan Sikap Obyektif Al-Isnawî

Tidak hanya itu saja, juga berisi tentang cara pandang yang mubadalah, atau kesalingan dalam hal kebahagiaan seluruh anggota keluarga. Tepatnya, cara pandang untuk bahagia dan membahagiakan, melalui perilaku saling berbuat baik, saling mencintai, saling menolong, saling menguatkan, dan bekerjasama. Semua laku ini, dijelaskan dalam kitab tersebut sejak seseorang menjadi individu yang jomlo, lalu melamar atau dilamar seseorang, melangsungkan akad nikah, hidup berumah tangga sebagai suami dan istri, hamil dan melahirkan, mengasuh anak, mengelola perbedaan, dan kemudian menua bersama dengan laku bahagia dan membahagiakan. Penjelasan dalam kitab ini tentu saja merujuk pada ayat al-Qur’an, teks Hadits, aqwal ulama baik salaf maupun khalaf.

Dijelaskan pula bahwa rumah tangga, pengurusan dan pendidikan anak, termasuk pengelolaan urusan publik harus memperhatikan kerjasama dan kebahagiaan bersama antara suami dan istri. Atau ada istilah mitsaqan ghalida. Dengan menyebut pernikahan sebagai mitsaqan ghalida, artinya pernikahan adalah janji suci dan bukan perjanjian yang bisa dimain-mainkan. Dalam perspektif mubadalah bahagia itu adalah ibadah, dan berhak untuk dirasakan serta didapatkan oleh perempuan juga laki-laki.

Oleh karenanya, hal apapun di dunia ini yang sifatnya membahagiakan harus dirasakan oleh keduanya. Tidak bisa, hanya oleh salah satunya saja, karena hidup itu perlu kesalingan. Menurut penulis prinsip dasar ini juga penting untuk kita yakini bersama, supaya laki-laki dan perempuan dapat hidup dengan saling memberi dan menerima kebaikan bahwa pernikahan memiliki prinsip-prinsip yang menyeluruh yang harus dipahami secara bersama oleh kedua pasangan, yaitu calon suami dan istri ketika nantinya melaksanakan ke jenjang pernikahan. Dalam hal ini, pernikahan bisa disebut sebagai akad kerja sama dan kesalingan.

Baca juga:  Dalail Khairat: Citarasa Prosa Lirik dalam Shalawat

Tujuannya, agar kebahagiaan dalam berumah tangga dapat dirasakan bersama oleh suami dan istri, bukan salah satu dari keduanya. Prinsip dari kesalingan ini bisa mengajak pada relasi yang baik, yaitu saling memahami, saling menghormati, saling bertukar peran, saling membahagiakan, saling tolong-menolong dan saling menguatkan, sehingga terciptanya hubungan keluarga yang mawaddah (suka, mencintai), rahmah (kasih sayang) dan mencapai sakinah (ketentraman, ketenangan).

Dimana bentuk nilai-nilai Manba’ussa’adah dalam kehidupan sehari-hari seperti kesalingan dalam menciptakan kehidupan yang bahagia dan membahagiakan, saling melindungi tanpa diksriminasi satu atas lainnya, tidak saling menzalimi, sehingga mencerminkan sosok hamba Allah yang mulia, dan senantiasa saling menyayangi satu sama lainnya.

Karena menurut kitab ini, suami dan istri adalah mitra yang senantiasa bekerja sama dalam mewujudkan kebaikan-kebaikan dalam pernikahan. Maka, demi mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan itu, suami dan istri akan banyak melakukan kesalingan dalam menghormati, menghargai, menyayangi, melindungi, dan tolong menolong. Sehingga konsep keluarga yang sakinah, mawaddah, rahmah, barakah, dan maslahah bukan lagi sebuah keniscayaan, melainkan sebuah pencapaian yang nyata.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top