Sedang Membaca
Tarawih di Masjid Hakim bi Amrillah: Takjub dengan Peradaban Fathimiyyah

Sedang menempuh studi di Kampus Al-Azhar-Kairo. Bisa disapa via instagram: yusmiridho dan twitter: YusmiRidho.

Tarawih di Masjid Hakim bi Amrillah: Takjub dengan Peradaban Fathimiyyah

Salat Tarawih

Setelah berbuka di salah satu “Maidah Rahman”-buka gratis- yang ada di kawasan gereja, sore ini saya berencana melaksanakan salat tarawih di salah satu masjid terkenal di Mesir. Sembari menikmati hidangan buka gratis, saya mengajak kawan kamar saya untuk pergi ke masjid tersebut yaitu Masjid Hakim Bi Amrillah.

Sore ini tanggal 21 Maret 2024 cuaca Kairo cukup sejuk, namun saat malam udaranya sering dingin hingga buat tubuh menggigil. Karenanya, malam ini saya mengenakan kemeja lengan panjang, pakaian yang cocok karena tidak membuat gerah dan upaya untuk jaga-jaga jika malam harinya udara mulai dingin. Kawan saya nampak antusias, ini pertama kalinya kami melaksanakan tarawih bersama selama bulan Ramadan ini. Meski sekamar, nampaknya kami memiliki jalannya sendiri untuk berkegiatan. Namun, di malam ini, kami memiliki semangat yang sama untuk melaksanakan tarawih di masjid megah bernama al-Hakim bi Amrillah.

Menurut Kementerian Pariwisata Mesir, Masjid al-Hakim bi-Amr Allah adalah masjid tertua keempat di Mesir, dan terbesar kedua setelah Masjid bin Thulun. Pembangunan masjid ini dimulai oleh ayah al-Hakim, Khalifah Fathimiyyah al-Aziz bi Allah pada tahun 380 H/990 M, namun beliau meninggal sebelum masjid itu rampung dibangun. Putranya melanjutkan pembangunan masjid tersebut dan menyelesaikannya pada tahun 403 H/1013 M.

Baca juga:  Sang Kakbah

Masjid ini terletak di ujung Jalan al-Muizz di distrik al-Gamaliya, dekat Bab al-Futuh. Awalnya, masjid ini dibangun di luar tembok kota atas perintah Wazir Fathimiyyah Jawhar al-Siqilli, kemudian dimasukkan ke dalam tembok yang dibangun oleh Badr al-Din al-Jamali (480 H/1078 M).

Akses ke masjid Hakim dari rumah saya cukup nyaman, sebelum memasuki kawasan masjid saya harus melewati jalanan di sekitar pasar Khan al-Khalili, sebuah pusat perbelanjaan bagi turis di Mesir. Lalu setelahnya, saya harus melewati jalanan Syari’ Muiz yang penuh dengan ratusan orang lokal Mesir. Tempat ini tak jauh beda dengan Malioboro, menurut saya. Jalanan yang cukup sempit, kanan dan kiri dipenuhi dengan dagangan yang beragam, mulai dari makanan, pakaian, café, barang-barang antik, dll.

Perjalanan yang seharusnya bisa kami tempuh 10 menit saja, sore ini kami tempuh dalam waktu 20 menit. Jalanan dipenuhi oleh orang lokal, tidak hanya sendiri, mereka datang bersama keluarga besar mereka. Nampak seorang bapak muda menuntun anaknya ditemani istrinya yang menggendong anak yang masih bayi. Ada seorang remaja berkumpul bersama teman-temannya dan sesekali menyapa kami yang mungkin menurut mereka adalah turis.

Sambil menyusuri jalan, saya membayangkan bagaimana suasana Kairo kala jalan ini dibuat oleh Muiz Li Dinillah,Khalifah ke empat Fathimiyyah. Konon, jalanan ini adalah pusat kota dan perekonomian dari dinasti Fathimiyyah, maka sepanjang jalan saya merasa ada di sebuah museum terbuka. Menengok ke kanan dan kiri, saya melihat bangunan antik dan masih tetap terawat. Sekitar 9 abad yang lalu jalan ini dibangun dan saat ini saya menapaki jalan yang sama dengan orang-orang itu, saya merasa takjub seolah-olah terbawa oleh mesin waktu.

Baca juga:  Kafe Sunyi, Kedai Kopi Penuh Empati

Saya sampai di masjid pukul 20.00, saat memasuki kawasan masjid suasananya hening dan damai, berbeda dengan suasana di luar masjid yang sangat ramai. Saat memasuki kawasan masjid, saya melihat interior masjid ini mirip dengan masjid Ibn Thulun. Tiang masjid yang kokoh dan megah, Kawasan “Shanun” sisi masjid tanpa atap yang sangat luas, serta megahnya masjid dari dalam.

Saat sampai, saya buru-buru mengisi shaf yang kosong. Jamaah tarawih di masjid ini tidak banyak, meski telat, saya bisa berdiri di shaf ke tiga. Saat saya menanyakan asal dari salah satu jamaah, dia mengatakan berasal dari Helwan sedang piknik ke daerah Syari’ Muiz lalu menyempatkan diri salat tarawih di Masjid ini. Artinya jamaah tarawih di masjid ini merupakan para pendatang dari berbagai macam tempat.

Pukul 20.30 salat tarawih+witir 11 rakaat selesai dilaksanakan. Berbeda dengan masjid pada umumnya, masjid ini diimami oleh seorang laki-laki paruh baya mengenakan jubah ala Mesir Namanya “Jalabiyyah”, biasanya masjid-masjid diimami oleh para delegasi Wizarah Awqaf atau Kemenang-nya Mesir yang berpakaian ala al-Azhar dengan jubah dan imamahnya

Tarawih malam ini cukup singkat, karena saya datang saat tarawih telah dilaksanakan sekitar empat rakaat. Meski begitu, saya  melengkapi tarawih sendiri di masjid yang sama hingga 11 rakaat plus witir, setelah rampung saya pun keluar dari area masjid dan mengabadikan momen indah malam ini, sambil jalan menuju pintu keluar saya merasa takjub tentang keindahan kawasan ini.

Baca juga:  Kuliner Taiwan: Yang Halal dan Lezat di Restoran Hui

Saya berfikir tentang keberhasilan umat muslim yang ada di peradaban Fathimiyyah hingga bisa membangun masjid dan jalan ini sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan. Betapa hebatnya, di era yang jauh dari teknologi mutakhir seperti sekarang, mereka mampu membangun peradaban yang megah dan indah ini. Berbeda dengan sekarang yang umatnya masih dalam kondisi pesakitan, jumlahnya banyak namun seperti buih di lautan.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Scroll To Top