Sebagai pembuka, mari kira mengutip perkataan Kahlil Gibran di dalam bukunya yang berjudul “Sand and Foam”, ia menuturkan bahwa “hanya orang bodoh atau jenius yang berani melanggar hukum-hukum buatan manusia, dan mereka adalah yang paling dekat dengan Tuhan,” maksud dari perkataan tersebut adalah untuk menyoroti kompleksitas moralitas dan keberanian para insan untuk menantang otoritas manusia dalam upaya mencari kebenaran atau keadilan yang lebih tinggi.
Pernyataan itu berkaitan erat dengan esai kita kali ini yang mengkaji hubungan unik antara dua sastrawan dan pemikir besar – Khalil Gibran dan May Ziadeh – yang mempertanyakan norma-norma sosial melalui cinta dan kecerdasan. Mereka adalah sahabat yang meskipun terpisah oleh ribuan mil, tetap bersatu secara intelektual dan spiritual.
Kahlil Gibran adalah nama yang tidak asing lagi di Dunia Arab, dia merupakan salah satu penulis terbesar abad ke-20 yang menjadi abadi setelah menulis karya The Prophet. Lahir di Bsharri, Lebanon pada tahun 1883, dia pindah bersama keluarganya ke Amerika Serikat ketika usianya baru dua belas tahun.
Saat masih sekolah, dia mulai tertarik pada sastra dan seni. Pada usia dua puluh dua tahun, seorang fotografer terkenal dari Boston, Fred Holland Day, mengadakan pameran lukisan Gibran. Tahun 1905 melihat terbitnya buku pertamanya, Al-Musiqah (Musik), dan pada akhir tahun 1908, dia sudah terkenal sebagai pemberontak setelah bukunya yang berjudul Al-Arwah al-Mutamarridah (Roh yang Pemberontak) diterbitkan.
Pada tahun 1912, bukunya yang sangat terkenal, The Broken Wings, diterbitkan, dan itulah saat dia mulai berhubungan dengan Ziyadah. Namun, karya paling terkenalnya, The Prophet, menjadi karya yang mengungguli banyak karya sebelumnya, dan orang-orang mulai menganggapnya sebagai penyair terlaris ketiga sepanjang masa, setelah Shakespeare dan Laozi. Acocella menuturkan bahwa buku The Prophet sudah terjual lebih dari 9 juta kopi hanya dalam edisi Amerikanya sendiri, dan tak terhitung jumlahnya telah dibacakan di pernikahan dan pemakaman.
Namun, sedikit yang diketahui tentang hubungan sastra yang tidak biasa dan tidak konvensional, namun platonik, antara Gibran dan Ziadeh. Seringkali, masyarakat mengikuti hukum-hukumnya sendiri dalam masalah cinta yang sedikit berani ditantang. Gibran, dalam menggambarkan keberanian yang diperlukan untuk mematahkan belenggu konvensi, mengatakan “Hukum apa yang harus kamu takuti jika kamu menari tetapi tersandung tidak ada rantai besi manusia” (Gibran, 2019, hlm. 594). Dia memiliki ikatan khusus dengan May Ziadeh selama lebih dari sembilan belas tahun, meskipun mereka tidak pernah bertemu, mereka tetap menjaga persahabatan mereka melalui pertukaran surat.
Hubungan antara May Ziadeh dan Kahlil Gibran bak kisah-kisah di negeri dongeng. Dalam terjemahan Inggris dari karya Gibran yang berjudul “A Self Portrait”, Anthony R. Ferris mengutip Dr. Jamil Jabre yang menulis tentang hubungan Ziadeh dengan Gibran: sulit untuk membayangkan seorang pria dan seorang wanita jatuh cinta tanpa pernah mengenal atau bertemu satu sama lain, dan hanya terkoneksi melalui korespondensi. Tetapi seniman memiliki cara hidup mereka sendiri yang tidak biasa, dan hanya mereka sendiri yang dapat memahaminya.
Meskipun nama Ziadeh sangat dihormati dalam lingkaran sastra, dia tidak terlalu dikenal oleh banyak pembaca luas. Dia adalah seorang penulis dan penyair Lebanon-Palestina yang menjadi salah satu tokoh utama dalam gerakan pembaharuan Arab pada awal abad ke 20, dan mendapatkan gelar “pioneer of oriental feminism”. Dia lahir di Nazareth namun kemudian pindah ke Kairo pada usia dua puluh dua tahun untuk belajar Sastra Arab Klasik di Universitas Mesir. Pada tahun 1911, dia menerbitkan kumpulan puisi pertamanya dengan judul “Fleurs de reve”, menggunakan nama samaran Isis Copia.
Selama karir sastranya, dia selalu berbicara terbuka tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan perempuan, seperti status mereka dalam masyarakat dan gerakan perempuan di Mesir dan dunia Arab secara umum.
Dia tetap tegas dalam menyatakan bagaimana perempuan dipaksa oleh keluarga mereka untuk menikah dengan pria yang tidak mereka cintai. Dia juga vokal dalam menjelaskan dengan panjang lebar tentang kesulitan seorang wanita yang menjadi korban norma-norma sosial patriarki, gosip, dan fitnah masyarakat.
Selain menulis puisi, novel, dan esai, May juga menulis biografi tiga penulis wanita ulung: Warda al-Yaziji, Aisha Taimur, dan Bahithat al-Badiyya (nama samaran Malak Hifni Nasif). Biografi Ziadeh tentang Malak Hifni Nasif, cukup mencolok karena merupakan buku pertama yang ditulis oleh seorang wanita Arab tentang wanita Arab lainnya.
Nasif sendiri mengalami perjalanan pernikahan yang sulit, setelah pernikahannya dia mengetahui bahwa suaminya memiliki istri lain, karena poligami adalah praktik umum pada saat itu. Sebagai konsekuensi dari itu, dia bertekad untuk menulis tentang masalah perempuan melalui tulisannya dan terus mengangkat isu hak-hak perempuan sepanjang kariernya. Ziadeh menjadikan penderitaan Nasif sebagai pemantik bagi dirinya dan memotivasinya untuk bekerja menuju kepentingan perempuan.
Meskipun memiliki banyak identitas sastra yang berbeda, apa yang membuat kisahnya menarik adalah hubungannya dengan Kahlil Gibran. Korespondensi mereka dimulai setelah Ziadeh membaca “The Broken Wings” karya Gibran pada tahun 1912. Dia dengan jujur mengungkapkan pendapatnya tentang buku tersebut dalam surat yang ditujukan padanya. Meskipun dia mengagumi gaya penulisannya, dia tidak bisa merasakan empati dengan si protagonis dalam cerita tersebut:
“Gibran, Saya sepenuhnya setuju dengan Anda tentang prinsip dasar yang menganjurkan kebebasan wanita. Wanita harus bebas, seperti pria, untuk memilih pasangan hidupnya sendiri, yang tidak didikte oleh saran atau bantuan tetangga dan kenalan tetapi oleh kecenderungan pribadinya sendiri. Setelah memilih pasangan hidupnya, seorang wanita harus mengikat dirinya sepenuhnya pada tugas-tugas yang telah dibebankan padanya.
Itulah mengapa seorang wanita yang sudah menikah tidak boleh bertemu secara diam-diam dengan pria yang dicintainya? Karena dengan begitu dia akan mengkhianati suaminya dan mencemarkan nama baiknya, dan akan menurunkan martabatnya di mata masyarakat. Sebagai permisalan, mari kita jadikan Selma Karamy, tokoh utama novel Anda, atau wanita manapun yang memiliki kepribadian dan kecerdasan seperti dirinya, bertemu secara rahasia dengan seorang pria jujur dan berkarakter mulia. Apakah dengan kasus seperti ini, akan memaafkan setiap wanita yang memilih teman, selain suaminya, untuk bertemu secara diam-diam?”
Surat tersebut menandai awal dari hubungan mereka selama sembilan belas tahun yang berlanjut sampai kematian Gibran pada tahun 1931. Hubungan yang berkembang atas kebersamaan intelektual dan koneksi spiritual yang melampaui aspek fisik apa pun. Mereka tidak pernah ditakdirkan untuk bertemu, namun surat-surat mereka adalah bukti kedekatan emosional mereka. Dalam salah satu suratnya, Gibran menulis, “Semoga Tuhan mengampunimu, kamu telah merampas ketenangan hatiku dan jika bukan karena kemantapan hati dan keteguhanku, kamu akan merampas imanku”.
Suatu kali, ketika Gibran meminta May untuk mengunjunginya di New York, dia menolak dengan alasan bahwa dia tidak diizinkan melalui bea cukai. Namun, Gibran tetap setia di sisinya melalui semua liku-liku kehidupan. Sampai ketika ayah May meninggal, Gibran menulis padanya, “Saya belajar hari ini bahwa ayahmu telah melakukan perjalanan melampaui cakrawala emas dan telah mencapai tujuan yang kita semua tuju.
Apa yang harus saya katakan padamu? May, pikiran dan tutur katamu terlalu agung. Saat ini mungkin kamu ingin mendengar kalimat-kalimat penghiburan yang menenangkan, tetapi jauh di dalam hatiku ada keinginan yang kuat untuk berdiri di depanmu, dan kerinduan untuk memegang tanganmu dalam diam, merasakan semua yang mengisi jiwamu. Aku, orang yang dekat denganmu dan juga seorang yang asing bagimu, tapi mampu berbagi dengan apa yang kamu rasakan”
Surat-surat yang ditulis Gibran kepada Ziadeh dikumpulkan dan diberi bentuk buku berjudul “Blue Flames”, yang disunting oleh Salma Haffar al-Kuzbari dan Suheil Badi Bushrui. Korespondensi mereka mencerminkan pesan-pesan cinta, persahabatan, dan pentingnya terhubung dengan seseorang pada tingkat yang lebih dalam, karena ketika kita melakukannya, kita memulai perjalanan penemuan jati diri, dan sampai pada “the search for God in the heart of the other“ atau mencari tuhan di hati orang lain, mengutip perkataan Aslani tentang kisah mereka.
Pada tahun 1931, bertepatan dengan kematian Gibran. May pergi ke Lebanon dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dituduh menderita penyakit mental dan depresi yang parah. Setelah keluar dari rumah sakit, dia kembali ke Kairo hanya untuk meninggal pada tahun 1941, disinyalir karena patah hati, setelah kepergian Gibran.
May Ziadeh meninggalkan sebuah harapan dalam diarinya:
Setelah kematianku, saya berharap bahwa seseorang akan memberikan keadilan kepada saya dan menemukan ketulusan dan kejujuran yang terkandung dalam goresan pena saya.
Dalam kesimpulannya, kisah cinta yang unik dan platonik seperti mereka adalah salah satu inspirasi yang tak pernah habis untuk dieksplorasi. Kisah mereka mengilustrasikan bahwa terkadang manusia harus berani untuk menantang norma-norma sosial yang menghambat kebebasan individu. Keduanya secara terbuka mengeksplorasi tema-tema kontroversial dalam korespondensi mereka, termasuk pandangan tentang pernikahan, cinta, dan kebebasan perempuan. Seperti yang kita kutip di awal esai, bahwa hanya orang bodoh dan jenius yang berani melanggar norma dan hukum yang digariskan oleh manusia. Maka, apakah kita tidak cukup bodoh atau kurang jenius untuk bisa ikut melewati batas-batas tersebut?.