Sedang Membaca
Mengenal Kitab Pesantren (18): Kitab Jihad Syekh Abdus Shamad al-Palimbani Jadi Inspirasi Perang Aceh
M. Bagus Irawan
Penulis Kolom

Editor buku "Menolak Wahabi (Sahifa, 2015) dan "Kritik Salafai Wahabi" (Sahifa, 2017)

Mengenal Kitab Pesantren (18): Kitab Jihad Syekh Abdus Shamad al-Palimbani Jadi Inspirasi Perang Aceh

Whatsapp Image 2020 05 14 At 5.20.30 Pm

Saya beruntung hidup di dunia digital macam hari ini, saya bisa ngaji kitab apa saja ke para ulama besar bermodalkan kuota internet dan smartphone. Di kesempatan wabah Covid-19, saya memiliki aktivitas sore ngaji di Channel YouTube Ponpes Gasek TV, yakni rekaman digital yang dikelola para pengurus Pesantren Sabilur Rosyad, Gasek, Malang yang diasuh KH. Marzuqi Mustamar.

Salah satu kitab yang saya khatamkan dari Kiai Marzuqi adalah kitab “Nashihatul Muslimin wa Tadzkiratul Mu’minin fi Fadhail al-Jihad fi Sabilillah wa Karamatil Mujahidin fi Sabilillah”. Kiai Marzuqi menyampaikan pengajian kitab ini secara apik dan lugas dengan bahasa Indonesia dan Jawa. Kitab ini ditulis oleh ulama Nusantara, Syekh Abdus Shamad al-Palimbani.

Kitab yang selesai ditulis di Haramain pada tahun 1772 M ini khusus membahas tentang keutamaan jihad mengangkat senjata dan kemuliaan para pejuang yang gugur syahid di jalan Allah.

Kesempatan belajar ini menjadi bekal mengarungi puasa yang istimewa di tengah kabar-kabar tak sedap seputar Covid-19 di tanah air. Syekh Abdus Shamad al-Palimbani membuka wawasan penulis tentang semangat berkobar melawan penjajah di tempo dulu.

Beliau adalah ulama produktif dan sangat vokal, sekaligus orator yang ulung—oleh para pakar sejarah—namanya disebut sebagai ulama penabuh genderang perang melawan penjajahan di Asia Tenggara. Meskipun domisilinya di Haramain, ia tetap memikirkan kondisi tanah airnya.

Ia menyisihkan waktu menulis banyak surat yang dikirimkan ke para raja di Nusantara. Isi-isi suratnya sangat simpel ajakan jihad fi sabilillah. Ia menyarikan berbagai dalil agama yang dapat dijadikan rujukan umat Islam dalam menghadapi masa penjajahan, kolonialisme Barat.

Di sini penulis tidak banyak membahas manaqib beliau karena sudah banyak buku dan tulisan terkait itu. Tetapi di akhir kitab Nashihatul Muslimin ini, dituliskan bahwa ia adalah murid dari Waliyullah al-Kutub az-Zaman Syekh Muhammad As-Samman pendiri tarekat Sammaniyah. Tak heran jika ia juga dikenal sebagai mursyid berbagai aliran tarekat, atau penghulu ulama sufi di Nusantara—sekaligus yang pertama kali membawa ajaran tarekat Sammaniyah ke Nusantara.

Di akhir hayatnya, beliau juga meninggal sebagai syuhada, saat ikut andil bertempur melawan penjajah di Tanah Pattani. Makam beliau kini berada di Thailand Selatan dan selalu ramai oleh para peziarah terutama dari Indonesia dan Malaysia.

Kembali lagi ke ngaji kitab jihad Nashihatul Muslimin ini. Kitab ini terdiri dari 8 bagian:

  1. Berisi fadhilah dan dalil-dalil al-Qur’an pensyariatan Jihad Fi Sabilillah;
  2. Berisi hadits-hadits motivasi dan kemuliaan Jihad Fi Sabilillah;
  3. Berisi fadhilah persiapan-persiapan sebelum Jihad Fi Sabilillah;
  4. Berisi hadis-hadis tentang kemuliaan Infak dan pembelanjaan harta sebagai bekal untuk persiapan Jihad Fi Sabilillah;
  5. Berisi fadhilah mempersiapkan persenjataan untuk Jihad Fi Sabilillah;
  6. Berisi kemuliaan menjadi Syuhada di medan perang;
  7. Berisi syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi saat Jihad Fi Sabilillah;
  8. Berisi waktu yang tepat untuk melaksanakan jihad Fi Sabilillah.
Baca juga:  Menelisik Hubungan Sunan Ampel dengan Wali-Wali Lain di Jawa

Secara garis besar format penulisan kitab ini terdiri dari kutipan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi saw tentang fadhilah (keutamaan) jihad. Dalil-dalil ini khusus dipilih dan disusun oleh Syekh Abdus Shamad, berdasarkan keterangan para ulama salafus shaleh, untuk menegaskan bahwa jihad fi sabilillah menjadi sebuah keharusan yang mesti ditegakkan oleh kaum muslimin pada saat itu.

Definisi jihad menurut Syekh Abdus Shamad al-Palimbani di sini lebih fokus pada makna perjuangan di medan perang melawan musuh kafir. Syekh Abdus Shamad banyak mengaitkan term jihad, infaq, qital, menjadi satu bekal besar yang mesti diteguhkan sebagai bentuk perlawanan keras melawan musuh.

Konteks penulisan kitab ini pada abad 18 M—di mana rakyat Nusantara sedang ditindas kolonialisme Barat, sehingga kehidupan rakyat menderita. Dalil-dalil tersebut menjadi landasan agama dan moral penggugah spirit perjuangan kaum Muslimin melawan penjajahan.

Pada bagian pertama di antara dalil Al-Qur’an yang dipaparkan Syekh Abdus Shamad sebagai dasar pensyariatan jihad adalah:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 15).

Begitupun masih banyak ayat lainnya yang dipaparkan adalah ayat-ayat tentang jihad fisik, atau ayat penegasan berperang melawan kaum kafir penindas.

Sedangkan hadis keutamaan jihad adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Abdullah Bin Mas’ud ra., beliau berkata:

“Aku bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah perbuatan apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.” Lalu Aku bertanya lagi, kemudian apa lagi ya Rasul?” Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua”, lalu Aku bertanya lagi, “Kemudian apa ya Rasul?” Beliau menjawab, “Jihad Fi Sabilillah”. (HR. Bukhari). Adapun terkait dalil keutamaan berinfak di jalan Allah untuk mempersiapkan peralatan perang. Syekh Abdus Shamad menukil hadits dari dari Tsauban bahwa Rasulullah bersabda, “Termasuk  harta yang paling mulia yang dinafkahkan seseorang adalah; Harta yang dinafkahkan untuk kepentingan keluarganya, lalu Harta yang dinafkahkan untuk kuda (kendaraan) yang digunakan untuk kepentingan Jihad di jalan Allah, dan harta  yang dinafkahkan untuk sahabatnya yang berjuang di jalan Allah.” (HR. Ibnu Majah).

Syekh Abdus Shamad juga memaparkan hadis sahih terkait posisi mulia syuhada yang gugur di medan pertempuran fi sabilillah. Rasulullah bersabda:

Baca juga:  Soekarno dan Problematika Kemunduran Umat Islam

“Para syuhada adalah mereka yang gugur di jalan Allah pada barisan pertama, mereka berjihad dengan teguh serta tidak memalingkan wajah sedikitpun sehingga mereka terbunuh. Maka bagi mereka kelak akan bertemu kembali di barisan pasukan yang mulia yaitu di surga. Allah menyambut mereka dengan senyuman yang mulia. Sungguh Allah Maha Mulia atas kekuasaan-Nya. Jika Allah tersenyum kepada hamba-Nya maka tidak ada hisab bagi mereka.” (HR. Bukhari)

Uniknya, di antara hadis yang dikutip Syekh Abdus Shamad berisi tentang keutamaan “jihad di lautan” atau “jihad maritim”. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan:

“Keutamaan jihad pertempuran di jalur lautan dibanding jihad di daratan, sebagaimana keutamaan jihad di daratan dibandingkan orang yang tidak ikut berperang dan tidak menginfakkan hartanya untuk perang.” Sedangkan pada hadits lainnya disebutkan: “Keutamaan sekali berperang di lautan itu bagaikan sepuluh kali perang di daratan.” (HR. Thabrani).

Kutipan hadis tersebut menunjukkan bahwa Syekh Abdus Shamad paham betul bagaimana wilayah teritorial Nusantara yang kebanyakan berupa lautan. Sehingga strategi jihad di lautan juga patut dipertimbangkan oleh umat.

Surat Ajakan Jihad kepada Raja Jawa

Tak berselang lama setelah publikasi kitab Nashihatul Muslimin itu, Syekh Abdus Shamad merangkumnya menjadi sepucuk surat yang dikirimkan kepada raja-raja di pulau Jawa. Ikhtiarnya adalah mengajak para raja dan rakyat Nusantara bersatu untuk mengangkat senjata melawan kaum penjajah.

Kendati demikian, upaya ini tak sesuai harapan karena surat-suratnya ditahan oleh Belanda di tengah jalan. Kendati pun demikian maksud tujuan surat pastilah sudah disampaikan oleh para jamaah haji yang dititipinya. Di antara surat Abdus Shamad yang kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Belanda, sebagaimana diambil dari catatan G.W.J Drewes adalah sebagai berikut:

“Segala puji bagi Allah dan shalawat kita curahkan kepada baginda Muhammad Saw. Surat ini hadir dari rahmat Allah yang telah menggerakan hati penulis untuk mengirimkan sepucuk surat dari Mekkah. Sebab Rahmat Tuhan yang begitu agung, laksana cahaya bintang-bintang yang menghiasi cakrawala, semuanya membentuk kerlap-kerlip cahaya yang indah menerangi angkasa yang gelap gulita, sebagai cahaya di atas taman surga, taman yang tak terkira. Tuhan telah menjanjikan bahwa para raja/sultan akan mendapatkan surga, karena keluhuran budi, kebajikan, dan keberanian mereka yang tiada tara melawan musuh kafir penjajah. Termasuk di antaranya adalah para raja Jawa, yang berpegang teguh agama Islam dan menegakkan keadilan dalam setiap kebijakan serta tak gentar berperang melawan para musuh itu. Allah menegaskan hal ini daam firman-Nya:”

“Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya..” (QS. Al-Baqarah: 154). Nabi Muhammad bersabda: “Aku diperintahkan memerangi setiap orang kecuali mereka yang mengenal Tuhan dan diriku, Nabi-Nya”. Orang-orang yang terbunuh dalam perang sabil dihiasi dengan keharuman surgawi; jadi ini merupakan peringatan untuk seluruh pengikut Nabi Muhammad. Allah berfirman, “Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Al-Baqarah: 269) Rahmat Allah menyertai seluruh kaum Muslimin yang berjalan di atas kebernaran. Perang melawan penjajah adalah misi suci untuk meraih kehidupan di jalan Allah, bagi kaum Muslimin tidak ada yang ditakuti kecuali hanya takut tidak mendapatkan rahmat Allah Yang Mulia.”

Baca juga:  Syekh Yasin al-Fadani dan Nasionalisme Indonesia

Inspirator Perang Aceh

Kitab ini dicatat oleh Snouck Hurgronje, sebagai rujukan utama buku Hikayat Perang Sabil, suatu karya prosa tentang jihad yang diterbitkan oleh kerajaan Islam Aceh untuk membakar semangat rakyat dalam perang Aceh yang berlangsung hingga 40 tahun lamanya, (1873- 1912 M).

Kitab Hikayat Perang Sabil bukan hikayat biasa, karena tidak berisi kisah kepahlawanan rakyat Aceh melawan Belanda. Tetapi hikayat ini ditulis khusus oleh para sastrawan Aceh dan berisi kumpulan prosa yang berisi motivasi dan syair yang membangkitkan gairah umat Islam di Aceh untuk mengobarkan api jihad melawan penjajah Belanda yang kafir.

Di antara bait-bait syair dalam Hikayat Perang Sabil sebagai berikut:

Dengarlah berita zaman dahulu # Seorang laki-laki datang kepada Nabi # Dia bertanya tentang pahala berperang # Lalu Rasulullah menjawab # Surga yang luas Allah akan memberi # Tambah lagi dengan bidadari # Demi orang itu mendengar sabda # Timbullah semangat gelora di hati # Di tangannya ada enam biji kurma # Belum selesai dimakan segera dibuang # Tak sempat selesai kurma dimakan # Langsung terjun ke medan perang.

 

Referensi:

  • Abdus Shamad al-Palimbani, Nashihatul Muslimin wa Tadzkiratul Mukminin, Jakarta: Maktabah Turmusy Turats, 2018.
  • Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana, 2009.
  • G.W.J. Drewes, Further data concerning Abd al-Samad al-Palimbani, In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 132, no: 2/3, Leiden, 1976.
  • Suryana Sudrajat, Harta Itu Manis, Jakarta: Erlangga, 2006.
  • Zubair,  Jihad dan Kemerdekaan: Studi atas Naskah Nasihatul Muslimin wa Tazkiratul Mukminin Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011.
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top