Selama ini, narasi mengenai umat Islam di Indonesia—dan di tempat lainnya—sering digambarkan dalam bingkai perseteruan internal. Dulu antara kelompok modernis vs. tradisionalis, kemudian belakangan antara kaum moderat vs. konservatif. Perseteruan internal ini biasanya semakin mengemuka menjelang momen elektoral, seperti pilpres dan pilkada.
Asumsinya, masing-masing dari kalangan itu memilih calon pemimpin politik yang berbeda. Secara akademik hal ini dikuatkan dengan hegemoni pendekatan kultural yang esensialistik tentang Islam. Seolah-olah akar-akar perbedaan di antara masyarakat Muslim terletak pada kuatnya pengaruh teks keagamaan yang dipahami secara literal terhadap aktivitas keseharian mereka, termasuk dalam politik.
Akan tetapi, ketika menyaksikan kompaknya respons para tokoh dan organisasi masyarakat Islam terhadap relokasi paksa warga Pulau Rempang di Kepulauan Riau, suatu yang agak baru muncul ke permukaan. Bagaimana bisa tokoh dan ormas Islam yang kerap berseberangan sama-sama menolak tindakan brutal aparat terhadap warga Pulau Rempang? Apa dasar yang menyatukan mereka sedemikian rupa sehingga bisa mengatasi “politik identitas”?
Persoalan di Pulau Rempang terjadi karena adanya pembangungan Rempang Eco-City. Di kawasan ini konon akan dibangun sejumlah pabrik milik Otoritas Zona Bebas Indonesia (BP Batam) dan PT. Makmur Elok Graha yang telah bekerjasama dengan Xinyi Grup dari Cina. Masalahnya tanah untuk pembangunan pabrik tersebut sekarang dihuni oleh ribuan warga yang–meski telah menempatinya sejak lama–tidak memiliki sertifikat kepemilikan. Melalui proses hukum tertentu pemerintah mengakuisisi lahan warga tersebut dan meminta mereka untuk segera mengosongkannya. Karena komunikasi yang belum tuntas, demikian Presiden Jokowi menjelaskan, terjadilah relokasi paksa yang disiarkan secara dramatis oleh media.
Tidak lama setelah itu, media memberitakan reaksi sejumlah tokoh dan organisasi masyarakat Islam di berbagai daerah, termasuk di Jakarta tentu saja, yang bersikap hampir serentak dan seragam. Mulai dari pengurus NU dan Muhammadiyah hingga eks-FPI dan Persatuan Alumni 212, juga tokoh-tokoh seperti Ustadz Abdul Somad dan Ustadz Adi Hidayat. Semuanya bersuara menentang brutalitas aparat keamanan dan meminta pemerintah untuk memusyawarahkan ulang apa yang sebaiknya dilakukan. Secara normatif, mereka bersepakat bahwa Islam menolak pengambilalihan tanah dan lahan rakyat secara sewenang-wenang. Dalam hal ini jelas perkaranya lebih dari sekadar hukum (karena secara hukum formal posisi warga justru lemah), tetapi keadilan sosial!
Apa yang dipertontonkan oleh tokoh-tokoh dan ormas Islam itu seperti menampar pihak yang membesar-besarkan bahaya politik identitas. Alih-alih dipahami semata-mata negatif, identitas Islam yang diartikulasikan sebagai alat kritik terhadap kekuasaan ekonomi-politik ternyata bisa menciptakan semacam solidaritas. Cara menafsirkan teks keagamaan boleh saja berlainan, entah literalis atau entah kontekstualis, tetapi melihat kenyataan yang sangat keras seperti terjadi di Pulau Rempang mereka bisa satu suara—tanpa agenda setting tertentu.
Oleh karena itu, belakangan saya cukup getol mempertanyakan gerakan moderasi beragama. Tentu saja saya tidak bisa tidak menyetujui tujuan-tujuan luhurnya, tetapi mengulik terus menerus seakan-akan masalah keagamaan terletak hanya pada soal tafsir terhadap teks-teks sakral akan mengaburkan kita pada perkara yang lebih krusial: ketidakadilan sosial. Hal terakhir ini teramat realis, sehingga baik yang merasa moderat maupun yang dituduh konservatif akan mencapai konsensus dengan relatif mudah. Kiranya tidak perlu hermeneutika dan fenomenologi yang ketat untuk menyimpulkan bahwa saat ini di Pulang Rempang sedang terjadi praktik ketidakadilan sosial yang harus dihentikan.
Pekerjaan rumah bagi kelompok Muslim moderat dan konservatif adalah merumuskan apa keadilan sosial itu. Tawaran paradigmatis dari Nancy Fraser dalam Recognition or Redistribution (2003) untuk mengintegrasikan politik rekognisi dan redistribusi menarik diperhatikan. Selama dekade-dekade terakhir, kita terlalu menekakan politik rekognisi tentang bagaimana identitas-identitas yang minor diakui, tetapi mengabaikan politik redistribusi tentang bagaimana sumber daya ekonomi-politik di antara warga dibagi. Dalam politik rekognisi umat Islam berseteru, tetapi dalam politik redistribusi mereka bisa bersatu.
Masalahnya, wawasan politik redistribusi berada di musim gugur. Perbincangan di kalangan tokoh-tokoh dan ormas Islam jarang sekali menyentuh kapitalisme—bagaimana ia berdampak bagi umat. Bahkan jika pun ada kekompakan seperti sikap mereka terhadap brutalitas kekuasaan ekonomi-politik di Pulang Rempang, pendasaran analisisnya masih samar-samar.
Saya kira apa yang oleh para ulama fikih disebut maqashid syariah merupakan fondasi intelektual yang kokoh untuk mengembangkan wawasan politik redistribusi itu. Gus Dur pernah mengatakan bahwa umat Islam bisa memperjuangkan keadilan sosial tanpa harus melewati jalan Marxisme.