“Ah, tapi sekarang perbedaan suku kan tidak masalah. Ikan parape Makassar toh juga pakai asam Jawa. Satu-satunya yang masih bermasalah hari ini adalah korupsi. Kita seakan tak saja memerlukan KPK, tetapi Real KPK.” Lewat kalimat di dalam buku berjudul Republik #Jancukers (Kompas, 2012) tersebut nampaknya Budayawan dan Dalang, Sujiwo Tejo bukan bertujuan bermain kata, namun ingin menyampaikan banyak hal dalam kehidupan bangsa ini. Dua hal penting adalah perihal kemajemukan dan tantangan dalam kehidupan di bangsa Indonesia ini, berupa korupsi.
Korupsi bukan masalah sepele. Ia sangat merusak banyak ruang dalam konsensus kehidupan berbangsa. Tak sedikit, sederet pejabat publik baik di tingkat nasional maupun daerah terseret dalam kasus tersebut. Belum lagi terkait situasi di belakangnya, kongkalikong dan lain-lainnya. Saking jengkelnya, beberapa orang dengan memiliki tujuan satire dan meledek sampai membuat kutipan berupa “budaya kita korupsi”, biasanya ditambahi embel-embel dengan perbandingan kebudayaan lain yang kerap melahirkan perdebatan di kalangan publik.
Hal tersebut kemudian membuncah, saat dimana berbagai kasus korupsi di negeri ini ditangani tanpa keseriusan. Ketidakseriusan itu sendiri terkadang lahir dari kalangan para pejabat publik. Oh, menjadi nestapa saat korupsi mengakar dalam berbagai lapisan, namun tidak dianggap sebagai perkara serius. Anak-anak sekolah mungkin sebatas hanya akan menerima bagaimana istilah korupsi dalam upaya sosialisasi untuk dihindari hanya menjadi slogan semata saat yang dilihatnya adalah kasus korupsi di negeri ini terus bertambah.
Lebih lagi, matematika harus diakui sebagai satu hal yang kerap dibawa-bawa pada perkara korupsi. Biasanya matematika tak pernah diabsenkan dalam persoalan hitungan, berapa jumlah uang yang dikorupsi, berapa pejabat yang terlibat, hingga berapa tahun hukuman laik sebagai ganjaran atas perbuatannya. Bisa jadi, dari sana terkadang muncul cara pandang sedemikian rupa, bahwa matematika tak lebih dari urusan hitung-hitungan. Ia menjadi konsensus bersama. Pergulatan tentangnya kemudian membawa pada mayoritas orang menyusun sebuah kebenaran tunggal.
Matematika dan Kemajemukan
Kita membaca sebuah buku berjudul Berpikir Majemuk dalam Matematika (Kompas, 2020) karya dua ahli matematika, Iwan Pranoto beserta Aditya F. Ihsan. Di buku tersebut dibahas bagaimana matematika sejatinya mengajarkan tentang pola berpikir majemuk. Dimana, pola tersebut berupa keberadaan matematika melatih tradisi bernalar dengan menyajikan berbagai solusi ketika menghadapi sebuah persoalan. Kenyataan itu tak mengindisikasikan sebuah solusi akan lebih unggul ketimbang solusi lainnya.
Hal itu kemudian ditekankan kedua penulis tersebut pada kontekstualisasi keberadaan aspek kemajemukan dalam bangsa ini. Kita memahami keberadaan Bhineka Tunggal Ika menjadi konsensus dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pengertiannya berupa berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Kendati demikian, ada hal yang digarisbawahi, yakni terkait frasa ”tetapi”. Bagi keduanya frasa itu mengandung tafsir bahwa perbedaaan itu sesuatu yang harus dimaklumi. Pernyataan tersebut membawa pada pendiskusian lebih mendalam tentu saja.
Bhineka Tunggal Ika tidak lain adalah wujud keberadaan keberagaman yang berpangkal pada lahirnya persatuan. Adanya perbedaan harusnya tidak semata-mata diakui secara pasrah, “ya memang, kita berbeda” maupun “dari lahir kita berbeda”. Sebab, pendakuan semacam itu justru kurang tepat. Pada realitas luas menimbulkan lahirnya apa yang disebut dengan kebenaran tunggal. Kebenaran tunggal inilah yang pada gilirannya melahirkan berbagai masalah. Itu menyulut munculnya dikotomi. Misalkan ada kelompok tertentu merasa paling Pancasila, paling Bhineka, hingga paling NKRI.
Kebenaran Tunggal
Pada situasi tersebut, keberadaan Bhineka Tunggal Ika hilang dari makna sejatinya. Tak ayal, sering terjadi perkara tentang kebhinekaan, berhubungan dengan Pancasila, dan terkait NKRI kerap hanya menjadi sebuah gerakan penuh slogan. Harus diakui bahwa ruang publik tak terlepas dari kondisi itu. Bagaimana orang maupun sekelompok tertentu memasang baliho, pamflet, maupun poster dengan dalih membangun semangat kebhinekaan, justru terjadi adalah pemaksaan tafsir tunggal akan sebuah hal yang ia kemukakan.
Bahaya terkait kebenaran tunggal salah satunya pernah dikemukakan oleh seorang novelis Amerika Serikat berdarah Nigeria, Chimamanda Ngozy Adichie. Ia menyampaikannya dalam tulisan berjudul The Danger of Single Story pada konferensi yang diselenggarakan oleh Technology, Entertainment, Design (TED) tahun 2009. Menurutnya, cerita tunggal melahirkan stereotip dan prasangka. Apa yang menjadi masalah dalam stereotip bukan karena itu benar, tetapi karena itu tidak lengkap. Penyataan itu tentu memiliki konteks pada hegemoni relasi kuasa yang kerap melahirkan cerita tunggal. Di Indonesia sangatlah banyak terkait pola itu. Salah satu hal mencolok berupa narasi terkait peristiwa 1965.
Apakah matematika berperan dalam membangkitkan kesadaran akan kemajemukan? Kalau menilik gagasan Iwan Pranoto dan Aditya F. Ihsan kita mendapat kesimpulan bahwa benar bisa melakukannya. Hanya saja, ada masalah diketengahkan keduanya. Salah satunya adalah terkait mengenai sistem pembelajaran matematika dalam kerangka pendidikan. Di pendidikan matematika kerapkali membangun paradigma berupa kebenaran tunggal. Ketika seorang anak menggunakan rumus yang berbeda dari lainnya, tidak dibenarkan, dan justru di salahkan.
Padahal, ketika menelusur lebih jauh lagi, matematika menjadi salah satu faktor penting dalam menggagas visi kebangsaan. Misalkan saat Thomas Jefferson menuliskan Declaration of Independence, terpengaruh pemikiran geometri Euclid lewat buku berjudul Elements. Tentu ini menjadi satu hal perlu dijadikan renungan bersama akan pemaknaan terhadap matematika. Barangkali, matematika menjadi salah satu fondasi kehidupan berbangsa ketika dalam berbagai aspek dijalankan sebagaimana mestinya. Tidak sempit dalam pemaknaan sebagaimana kecenderungan dominan di antara kita karena faktor hegemoni yang berangsur-angsur.
Mungkin pemikiran itu akan dapat membawa pada renungan di lubuk hati mendalam di berbagai kalangan baik itu anak-anak, pejabat maupun tokoh publik, hingga para pendidik dalam menjaga tradisi bernalar. Toh, sebenarnya kita punya kemauan untuk membongkar mengapa yang kerap terjadi budaya sloganistik dalam pidato-pidato atas nama bangsa Indonesia, atas nama Bhineka Tunggal Ika, maupun atas nama NKRI, namun di balik itu terjadi banyak masalah. Dimana masalah tersebut membuat bangsa Indonesia rapuh, lemah, dan tak berdaya. Kita butuh kebhinekaan sebagaimana mestinya. Begitu.[]