Sedang Membaca
Filosofi Qing Ming, Nyadran dalam Tradisi Tionghoa
Khalimatu Nisa
Penulis Kolom

Alumni Center of Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gajah Mada.

Filosofi Qing Ming, Nyadran dalam Tradisi Tionghoa

Qing Ming (3)

Tidak hanya kelompok Islam tradisional, etnis Tionghoa juga memiliki ritual nyadran. Nyadran dalam tradisi Tionghoa mengacu pada ritual Qing Ming atau Cheng Beng dalam dialek Hokkian. Mirip dengan nyadran ala umat Islam tradisional, dalam Qing Ming komunitas Tionghoa melakukan ziarah ke makam leluhur bersama-sama. Jika nyadran biasanya dilakukan pada akhir bulan Ruwah atau Sya’ban menjelang datangnya bulan Ramadan menurut kalender hijriah, Qing Ming dilakukan secara serentak setiap tahun pada hari pertama masa matahari kelima dalam kalender Cina atau saat dimulainya musim semi. Tahun ini, Qing Ming jatuh pada 5 April.

Qing Ming menjadi salah satu ritual penting bahkan hari libur nasional di beberapa negara seperti Tiongkok, Taiwan, Hongkong, dan Makau. Selain berziarah dan membersihkan makam, saat Qing Ming, komunitas Tionghoa juga mendoakan leluhur mereka dan memberikan persembahan. Persembahan biasanya mencakup hidangan makanan tradisional, pembakaran dupa dan kertas sembahyang .

Menurut Scott (2007), untuk makanan, keluarga biasanya menyiapkan daging babi panggang, ayam, kue, tiga cangkir teh, dan tiga cangkir anggur. Di makam, makanan-makanan tersebut dipersembahkan terlebih dahulu kepada leluhur baru kemudian dikonsumsi oleh keluarga di tempat. Selain itu, pihak keluarga juga menyediakan uang tiruan dan replika benda-benda seperti rumah, furnitur, kendaraan, bahkan pembantu dan lain-lain.

Baca juga:  Ngalap Berkah Sosial di Bulan Ramadan

Uang tiruan dan replika tersebut akan yang dikirim kepada arwah dengan cara dibakar. Hal ini sejalan dengan konsep persembahan dalam Qing Ming yaitu pemindahan makanan, uang, dan barang, dari yang hidup ke yang mati. Sebagai sebuah ritual Qing Ming mengandung semesta filosofi dari tradisi Tionghoa yang menarik untuk dicermati.

Jiwa dan Penghormatan kepada Roh

Jiwa (soul) menjadi filosofi penting yang mendasari tradisi Qing Ming. Sebagaimana ditulis Berling (1992), sejak zaman kuno orang Tionghoa memiliki gagasan tentang dua jiwa: (1) hun (hun soul), yang bersemayam di papan nama leluhur (ancestral tablet) untuk menerima penghormatan dari keturunan, namun sesungguhnya berada atau dikembalikan ke surga; dan (2) p’o (p’o soul), yang seiring dengan kematian dan pembusukan jasadnya dikembalikan ke bumi. Jiwa yang kedua ini bersemayam di makam, dan apabila dibuat marah, diganggu, atau dianiaya, bisa menjadi hantu, setan, atau wujud yang lain.

Mayoritas orang Tionghoa merasa memiliki kewajiban moral dan agama yang kuat untuk menjaga kontak pribadi dengan leluhur. Tidak saja melalui papan nama leluhur, tetapi juga dengan menjaga kehadiran di kuburan atau menziarahi jiwa p’o. Banyak di antara mereka yang percaya bahwa kepuasan dan kebahagiaan jiwa-jiwa leluhur di dalam makam sangat penting untuk keberhasilan keluarga: kesuburan tanah mereka, kelahiran anak yang sehat, kesejahteraan ternak mereka, keberhasilan usaha besar, dan lain lain. Sehingga, Qing Ming diyakini tidak saja berfungsi memberi penghormatan kepada leluhur tetapi juga dapat memberi timbal balik secara tidak langsung kepada keluarga yang masih hidup.

Baca juga:  Lukisan Imam Bonjol, Koleksi Istana yang Retak

Surga dan Neraka

Filosofi penting berikutnya adalah tentang surga dan neraka. Menurut Scott (2007), dalam tradisi Tionghoa, batas antara kehidupan dan kematian relatif tipis. Kehidupan setelah kematian diartikan tak ubahnya bagai kehidupan di dunia. Oleh karena itu, isu terpenting dalam kehidupan baik di dunia maupun di akhirat pada dasarnya sama: kesehatan dan kesejahteraan. Bagaimana mereka memastikan dan mempertahankan vitalitas dalam kehidupan ini dan seterusnya.

Berling (1992) menyebutkan bahwa setelah akulturasi Buddha dengan Tao dan agama rakyat (folk religion) dalam tradisi Tiongkok, surga dan neraka dipandang sebagai dunia nyata di alam roh. Surga dibayangkan sebagai birokrasi yang mirip dengan birokrasi kekaisaran di bumi. Surga, seperti istana kekaisaran, mengawasi aktivitas manusia di bumi, dan bertanggung jawab untuk menjaga ketertiban. Doa manusia memohon bantuan seringkali dalam bentuk permohonan resmi kepada para tentara surga.

Ketika seseorang meninggal, ia akan menghadapi awal perjalanan yang akan menentukan perannya di dunia akhir. Oleh karena itu para kerabat yang hidup menyediakan semua fasilitas untuk menyokong kebutuhan di dunia yang lain itu: makanan, uang, rumah, kendaraan dalam bentuk replika dari kertas yang dikirimkan dengan cara dibakar. Meski terbuat dari kertas replika namun benda-benda tersebut dipercaya punya arti penting di akhirat.

Baca juga:  Tradisi Rasulan di Gunungkidul

Menurut catatan sejarah, pada zaman dahulu beberapa penguasa Tiongkok bahkan dimakamkan bersama kuda, pembantu, dan harta bendanya. Penggunaan replika kertas mulai muncul pada masa Dinasti Song (960-1279).

Penjaga Tatanan Sosial

Tatanan sosial atau li, adalah konsep inti yang ditekankan oleh Konfusius. Untuk menjalin hubungan yang baik antar manusia, setiap orang memiliki peran masing-masing yang telah diatur.

Jika setiap orang dapat mematuhi li atau aturan perilaku tersebut dan melaksanakan kewajiban sesuai dengan statusnya, maka akan tercipta harmoni dalam masyarakat. Konfusius, sebagaimana disitir Liu (2004) berkata, “Jika ayah adalah ayah, anak laki-laki adalah anak laki-laki, kakak laki-laki adalah kakak laki-laki, suami adalah suami, dan istri adalah istri, maka keluarga dalam keadaan yang benar. Saat semua keluarga berada dalam urutan yang benar, semua akan baik-baik saja dengan dunia.” Qing Ming menjadi ritual penting sebagai bagian dari li, untuk menciptakan tatanan sosial yang harmonis termasuk dalam keluarga atau garis keturunan.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top