Mark Woodward telah mengarungi perjalanannya untuk menyusuri budaya jawa dan Islam di Indonesia. sejak awal masuknya Islam di pulau Jawa yang disebarkan oleh para ulama, mendapatkan keadaan masyarakatnya masih terkontaminasi dengan ajaran Hindu Budha. Untuk mendapatkan satu kajian yang utuh mengenai Islam Jawa di Indonesia Mark Woodward menggali lewat Yogyakarta dengan melihat Kesultanan Yogyakarta sebagai sumber penelitian yang dilakukannya. Walaupun di daerah lain Mark juga mencoba melihat fenomena yang sama dengan Islam Jawa di Yogyakarta.
Mark Woodward mengemukakan satu tesis yang berkaitan dengan Islam Jawa yaitu konsepsi atas keagamaan yang mentransformasi budaya Jawa menjadi budaya yang berbalutkan nilai-nilai Islam. Buku yang ditulis oleh Mark ini ialah hasil dari penelitiannya yang dimulai sejak awal tahun 1970an dengan studi terhadap Islam lokal yang berada pada Kraton Yogyakarta. Bukan hanya di Yogyakarta, data-data yang kemudian dikumpulkan oleh Mark ini juga banyak diambil di daerah lain di pulau Jawa bahkan sampai ke Singapura, Malaysia, Burma dan sebagainya.
Di dalam perjalanan penelitiananya, ia menemukan bagaimana hubungan yang begitu erat antara Islam Jawa dan Indonesia sebagai negara dan kerajaan waktu itu. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Sultan Hamengkubuwono sebagai Raja dari kerajaan Ngayogyakarta yang memiliki wewenang masing-masing. Inilah yang kemudian menjadikan Mark semakin tertarik dengan Islam yang ada di Indonesia khususnya di Jawa. Bagaimana agama, budaya, dan kebangsaan menjadi satu yang tidak bisa terpisahkan.
Mark Woodward menyebutnya sebagai tiga serangkain (agama, budaya. Nasionalisme/kebangsaan) merupakan konsep yang saling berinteraksi satu sama lain dalam mewujudkan masyarakat yang beragama, berbudaya dan cinta akan tanah air. Di Yogyakarta menurutnya bukan hanya keterkaitan antara budaya Jawa dan agama saja, namun ada nasionalisme yang terpatri di tubuh masyarakat Yogyakarta yang juga berkaitan dengan nasionalisme Indonesia secara umum. Ketiga hal tersebut dibangun berdasarkan sosial politik, namun pada faktanya, agama dan budaya dianggap lebih kompleks dalam menyamakan persepsi pada masyarakat yang berkaitan dengan hubungan manusia dan manusia serta dengan Tuhan.
Dalam buku ini, Mark menjelaskan bagaimana pada awal 1970an Ketika ia memulai penelitiaannya, banyak pertanyaan tentang apa itu Islam.? Apa itu budaya.? Bahkan dalam buku ini banyak dikatakan agama jawa. Hal itu karena Mark melihat bagaimana agama dan budaya itu menyatu dengan berbagai ritual dalam pelaksanaannya. Itulah yang menyebabkan Islam Jawa banyak yang mengatakan puritan karena agama dan budaya Jawa itu tidak bisa dipisahkan keberadaannya.
Islam yang hadir dalam konteks lokal, mampu berkontribusi terhadap karakter yang khas Islam lokal karena merupakan bagian dari interpretasi terhadap ajaran lokal yang ada. Islam lokal yang ada di Jawa dipengaruhi oleh ajaran sufi yang telah memberikan perkembangan terhadap Islam Jawa di Indonesia. bahkan pada masa kolonialisme, ajaran agama Islam yang begtu kental pada masyarakat Jawa (Kraton) diremehkan oleh sarajan Kolonial. Kata Mark Woodward Peran Islam pada kehidupan Keraton Jawa telah meruntuhkan paradigma yang dibangun kolonialisme, bahwa Keraton Jawa merupakan benteng ajaran Hindu Budha.
Islam Lokal yang Terus Tumbuh
Islam yang terus tumbuh di kalangan masyarakat Indonesia memiliki ciri khas tersendiri. Perpaduan budaya dan Islam tidak bisa dipisahkan antara keduanya. Hal demikianlah dalam buku ini menjadikan unik atas penyajiannya. Dalam Islam lokal, setiap masalah hidup atau penyakit yang menimpa masyarakat memiliki cara penyembuhan dengan menggunakan keyakinal Islam lokal. Itulah Mark menyebutnya dengan komponen integral dalam Islam lokal yang berkembang di Jawa. Dalam metode penyembuhan, sering digunakan bacaan Al-Qur’an dan keyakinan kepada seorang wali yang memiliki berkah dan dipercaya mampu menyembuhkan berbagai penyakit.
Islam Jawa memiliki karakteristik tersendiri, Islam Jawa yang menekankan sisi teologis yang begitu kuat, misalnya dalam pengamalan ajaran Islam di Keraton Yogyakarta yang masih menganut mistisme yang menjadi bagian dari perayaan agama. Semua itu tidak terlepas dari budaya-budaya lokal yang senantiasa menjadi jati diri dari perkembangan Islam di Jawa. Misalnya yang tadi dijelaskan mengenai pengobatan dengan menggunakan bantuan yang disebut dukun, merupakan sistem medis Islam Jawa yang mempuyai simbol, peran dan pola interaksi yang beda. Keyakinan tersebut sangat unik dimana konsep kepribadian, kosmologi dan kekuasan pengetahuan dilebur menjadi satu teori yang mampu menjelaskan asal usul suatu penyakit.
Selain ritual-ritual yang berbau mistik, Islam Jawa juga melakukan latihan jasmani dan rohani sebagai bagian dari pembangunan fisik untuk memainkan peran utama dalam keagamaan Jawa. Itu juga berkaitan dengan jalan mistik dan syarat untuk mencapai tingkatan spiritual, sehingga mampu dijadikan sebagai wadah bagi sifat-sifat spiritual. Mistik yang dimaksud dalam buku Mark ini ialah perasaan kebatinan yang dirasakan oleh penganut agama, atau seseorang yang memiliki otoritas keagamaan yang mampu memberikan satu fatwa berkaitan dengan ritualistik dalam beragama. Dalam hal ini, Mark memberikan satu pemahaman bahwa ada dua kubu yang coba ia satukan ialah syariat dan mistik. Sultan Yogyakarta yang selalu menegakkan syariat dan orang yang tidak mengindahkan syariat.
Kebatinan dalam Islam Jawa inilah yang sering menjadi pertentangan antara kelompok yang mengerjakan ajaran tasawuf dan orang yang melakukan kebatinan tanpa harus mengikut syariat. Dalam buku ini Mark Woodward membagi pembahasan bukunya ke delapan bagian. Yang pertama, berbicara mengenai Yogyakarta: agama, budaya dan Kebangsaan. Kedua membahas tentang Dukun Jawa: Kesembuhan dan Ambigiusitas Moral. Ketiga, Slametan: Pengetahuan Tekstual dan Pertunjukan Ritual di Jogjakarta. Keempat, tatanan dan makna di Kraton Yogyakarta. Kelima, Gerebeg Maulud: Pemujaan Nabi Sebagai Kaisar. Keenam, Puasa Ramadan di Yogyakarta. Ketujuh, revolusi Kraton: Agama, Budaya, perubahan rezim demokrasi di Yogyakarta. Dan kedelapan, kesimpulan nasionalisme dan pascakolonialisme.