Setelah tak lagi sanggup menghadapi krisis keuangan yang berat beberapa waktu lalu, Debenhams, perusahaan ritel fesyen asal Inggris, mengumumkan akan menutup seluruh toko fisiknya yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Salah satu pelopor bisnis tata busana yang berusia 242 tahun itu menyatakan mereka tak sanggup lagi mengendalikan permasalahan keuangan, dan kini telah menyepakati kontrak pembelian oleh ritel fesyen berbasis online bernama Boohoo dengan nilai 55 juta poundsterling atau sekitar 1 trilyun rupiah.
Yang menarik, pihak yang mengakuisisi Debenhams, yakni Boohoo Group plc sendiri baru berusia 15 tahun. Salah satu pendirinya adalah Mahmud Kamani, pengusaha berdarah imigran yang menggandeng Carol Kane untuk bahu membahu merintis bisnis ini.
Berbeda dengan Carol Kane yang lahir dan besar di negeri Ratu Elizabeth, Mahmud Abdullah Kamani lahir di Kenya pada bulan Agustus tahun 1964. Pada tahun 1960an, ayahnya, Abdullah Kamani melarikan diri dari perang sipil di sana, dan memutuskan untuk mengadu nasib di Inggris dengan membawa keempat anaknya.
Di awal kedatangan mereka, Abdullah sehari-hari menjajakan tas di pasar untuk mencari sesuap nasi. Sang putra, Kamani kecil tumbuh besar dengan membantu orangtuanya melayani pembeli, dan mengirimkan barang dengan van milik ayahnya. Lambat laun usaha mereka berkembang, Abdullah lalu melirik usaha tekstil secara grosir dengan memasok banyak kain serta busana dari India. Melalui jejaring yang luas dan strategi pemasaran handal, ia mampu menjadi pemasok utama perusahaan retail seperti New Look dan Primark.
Di tahun 2006, ketika era internet datang, Kamani melihat peluang untuk memanfaatkan gaya hidup baru konsumen dalam mengembangkan usahanya. Menggandeng desainer Carol Kane yang telah menjadi karyawan ayahnya selama 25 tahun, mereka bersama-sama mendirikan Boohoo yang berusaha menjual produk garmennya langsung ke konsumen tanpa melalui perantara pihak ketiga.
Sejak awal meluncurkan produknya, model bisnis Boohoo berusaha menawarkan tren busana yang sempurna, tapi murah dan up to date. Bahkan untuk mengejar standar ini, mereka selalu menambahkan 3.000 gaya baru tiap minggu, atau yang dikenal dengan istilah fast fashion.
Dengan menjual gaun hanya seharga 5 poundsterling dan celana jeans kurang dari 10 poundsterling, yang terhitung sangat murah dari standar hidup the Black Country, Boohoo mampu mendobrak peta bisnis retail Inggris. Tak tanggung-tanggung, kurang dari 15 tahun berdiri, Boohoo yang awalnya hanya memiliki 3 orang karyawan, kini telah menjadi raksasa retail baru yang mempekerjakan 5.000 tenaga kerja, dan mencetak angka penjualan lebih dari 1,2 milyar poundsterling atau sekitar 23 trilyun rupiah. Ditaksir, nilai perusahaan bahkan sudah menyentuh angka 3,5 milyar poundsterling.
Sebagai gambaran, pada April 2017 lalu saja penjualan Boohoo meningkat drastis dengan meraup keuntungan lebih dari 31 juta poundsterling. Pun ketika baru muncul di pasar saham tahun 2014, nilainya mencapai angka 560 juta poundsterling, sangat fantastis untuk ukuran pendatang baru.
Atas beberapa rekor yang ia cetak, ia dianugerahi ‘Entrepreneur of the Year’ pada ajang English Asian Business Awards, selain juga diganjar ‘the Legends of Industry Awards’.
Meski dipuja-puja banyak pihak atas pencapaiannya, Boohoo sendiri diduga mengorbankan hak-hak pekerja demi memenuhi ambisi perusahaan. Penyelidikan kantor media Sunday Times mengklaim mereka menemukan bukti bahwa pegawai di sana hanya dibayar 3,5 poundsterling per jam atau hanya separuh dari upah minimum standar. Atas laporan ini, Boohoo pun dituntut oleh serikat pekerja hingga anggota parlemen yang meminta mereka untuk melakukan perubahan besar pada praktik bisnisnya.
Menghadapi teguran tersebut, Kamani tak bergeming. Ia diam seribu bahasa dan malah menunjukkan jiwa filantropinya di ranah yang lain dengan tak melupakan kampung halamannya di Kenya, Afrika. Dengan menyisihkan sebagian keuntungannya, ia berdonasi dan mendukung penuh aktivitas Kibera Kids, sebuah organisasi nirlaba yang membantu warga disana mengatasi berbagai permasalahan sosial, dari kemiskinan ekstrem hingga tingkat HIV AIDS tinggi.
Bahkan ketika pandemi corona meluluhlantakkan banyak usaha kecil, ia tak segan-segan mendonasikan seluruh gajinya dalam satu bulan untuk membantu unit ekonomi yang terpuruk, “I am going to donate my salary in March to small businesses who need a bit of help to get through. I recognise the importance of coming together at this time and helping other businesses.”
Ia dan keluarganya menyadari mereka juga dulu mengalami hal yang sama ketika memulai bisnis mereka: tertempa permasalahan finansial hingga harus bekerja keras tak mengenal waktu. Kini dengan keuntungan bisnis yang terus meroket, ia berharap bahwa sedikit uangnya dapat membantu mereka yang terkena dampak wabah agar dapat bangkit kembali.