Ambon, 10-12 November 2023, Rumah Moderasi Beragama IAIN Ambon baru selesai mengadakan kegiatan moderasi beragama bagi kalangan mahasiswa. Kegiatan tersebut mengangkat tema, “Akomodasi Nilai-nilai Budaya Maritim dalam Penguatan Moderasi Beragama”. Tema ini senafas dengan salah satu indikator dari program moderasi beragama yang dirumuskan Kementerian Agama RI yakni akomodasi budaya, ialah kemampuan seseorang mengakomodir nilai-nilai budaya setempat ke dalam perilaku beragamanya sehari-hari. Di Maluku misalnya ada budaya pela dan gandong, ain ni ain, kalwedo, masohi, serta masih ada banyak budaya lainnya yang justru memperkuat ajaran pokok agama.
Itu semua merupakan budaya maritim di Maluku yang patut diapresiasi dan terus dilestarikan kedepannya. Maluku dan Indonesia secara luas merupakan bangsa maritim terbesar di dunia. Sebaran pulau-pulau di Indonesia hampir 90% dikelilingi lautan. Itulah mengapa Indonesia disebut sebagai negara “kepulauan”. Kata “kepulauan” memiliki makna tersendiri, yakni sebaran pulau-pulau kecil dan besar dengan corak budaya lokalitas berbeda-beda yang disatukan oleh lautan. Dalam kata lain, “kepulauan” bermakna Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda namun tetap satu saja). Lautan (maritim) dalam konteks “kepulauan” bermakna bukanlah pemisah melainkan penyatu di antara beragam budaya yang ada di Indonesia.
Hal menarik dari kegiatan tersebut adalah setelah para mahasiswa mendapat materi moderasi beragama selama sehari penuh di dalam ruangan, para mahasiswa kemudian diajak keluar ruangan untuk bertemu dengan mantan raja Negeri Passo yakni bapak Marthin Sarmanella. Passo merupakan salah satu Negeri (baca: desa) adat yang mayoritasnya beragama Kristen. Dalam kunjungan ini, para mahasiswa yang terdiri dari ketua-ketua Himpunan Program Studi (Himapro) di IAIN Ambon melakukan sharing session dengan bapak Marthin terkait budaya gandong di Maluku. Gandong merupakan istilah budaya maritim yang menunjukkan relasi kekerabatan antar dua atau lebih Negeri di Maluku.
Dalam sejarah, Negeri Passo (yang beragama Kristen) memiliki tali persaudaraan secara geneologis dengan Negeri Mamala (yang beragama Islam) di pulau Ambon. Hal ini berangkat dari dua marga yakni Sarmanella (dari Passo) dan Mony (dari Mamala) berasal dari satu nenek moyang yang sama. Bapak Marthin menceritakan secara lugas bahwa relasi persaudaraan itu sudah berlangsung sejak lama mulai dari masa lampau hingga sekarang. Menurut bapak Marthin, Negeri Passo dan Negeri Mamala merupakan dua saudara kandung yang terpisah karena proses Kristenisasi pada masa penjajahan di Maluku. Menariknya, meskipun kedua saudara kandung itu kini sudah memeluk agama yang berbeda (Islam dan Kristen), tapi relasi diantara keduanya masih terjalin hingga detik ini.
Relasi harmonis tersebut mewujud dalam praktik ritual adat tertentu, misalnya pada saat prosesi “pukul manyapu” yang dilakukan masyarakat Negeri Mamala. Bapak Marthin menjelaskan bahwa sebelum prosesi “pukul manyapu” ini dilakukan, masyarakat Mamala kadang mengambil batang-batang lidi dari pohon Mayang (baca: Sageru) yang berada di Negeri Passo. Batang-batang lidi itu kemudian dikumpulkan lalu dibuat dalam satu ikatan sapu lidi yang nantinya digunakan selama prosesi “pukul manyapu”. Relasi harmonis antar dua Negeri tersebut juga tertuang dalam komunikasi sosial sehari-hari, baik itu di pasar, di setiap pertemuan tertentu, maupun di tempat-tempat lainnya.
Menariknya dari kunjungan tersebut, ada beberapa mahasiswa bertanya ke bapak Marthin terkait keluarga mereka yang juga bermarga Mony, apakah marga ini punya tali persaudaraan dengan Negeri Passo yang bermarga Sarmanella? Uniknya, marga Mony yang ditanyakan mahasiswa tersebut bukan berasal dari Negeri Mamala melainkan dari Negeri Oki Lama yang berada di seberang pulau Ambon yakni pulau Buru. Sementara Negeri Passo dan Mamala berada di pulau Ambon. Bahkan, ada juga marga Mony yang berasal dari Werinama, Negeri ini pun berada di seberang pulau Ambon yakni pulau Seram.
Banyak mahasiswa tertarik menanyakan ke bapak Marthin, apakah marga-marga Mony yang tersebar di beberapa pulau itu juga bersaudara dengan yang ada di Negeri Mamala dan Passo? Bapak Marthin menjelaskan bahwa, “Iya, kita semua itu bersaudara”. Jawaban ini sungguh luar biasa, bahwa relasi kekerabatan itu secara tidak langsung telah mengikat dua masyarakat yang berlainan agama yakni Kristen dan Islam di Maluku dalam satu istilah kebudayaan maritim yakni “gandong”. Hingga sekarang, baik masyarakat Passo maupun Mamala masih tetap memegang kuat keyakinan agamanya masing-masing dengan saling menghargai dan menghormati karena masih saudara sekandung.
Itulah praktik budaya maritim di Maluku. Praktik ini tentu memperkuat ajaran pokok agama yakni saling menghargai harkat dan martabat kemanusiaan. Terlepas dari perbedaan agama, kita terikat dalam satu kesatuan yakni persaudaraan kemanusiaan sebagaimana disampaikan oleh Prof. Zainal Abidin Rahawarin selaku rektor IAIN Ambon yang juga adalah pemateri dalam kegiatan moderasi beragama tersebut. Dalam kata lain, mempraktikkan istilah “gandong” adalah senafas dengan mempraktikkan substansi ajaran agama, praktik semacam inilah yang disebut sebagai “Beragama ala Budaya Maritim” di Maluku.
Dalam kegiatan tersebut juga, pemateri Dr. Abidin Wakano yang juga dosen IAIN Ambon sekaligus provokator damai di Maluku menyampaikan bahwa praktik-praktik budaya maritim tersebut muncul dari proses sejarah yang panjang. Pertemuan beragam asal-usul dari berbagai bangsa di Maluku telah melahirkan budaya inklusif yang mewujud dalam istilah gandong, pela, kalwedo, ain ni ain, masohi dan masih banyak budaya lainnya. Meskipun budaya-budaya tersebut memperkuat ajaran pokok agama, namun belum pernah terumuskan dalam satu bentuk Fiqh Maritim.
Mungkin di masa mendatang perlu dirumuskan Fiqh Maritim sebagai bentuk penegasan bahwa budaya-budaya maritim juga turut memperkuat ajaran pokok agama (baca: Islam) di Maluku. Beragama ala budaya maritim ini merupakan salah satu bentuk ekspresi dari sikap beragama moderat di Maluku, mahasiswa merasa tertarik mendalaminya. Para mahasiswa merasa terkesima dengan adanya budaya ini, dan banyak yang ingin melestarikannya karena tampaknya budaya tersebut mulai pudar akibat gempuran teknologi informasi di era sekarang ini.