Sedang Membaca
Sudah Waktunya Literasi Digital dan Pendidikan Seksual Hadir dalam Pendidikan Keluarga
Nabilah Munsyarihah
Penulis Kolom

Penulis Buku Kisah Ulama Pendiri Bangsa dan Founder Penerbit Semesta Kreatif Alala

Sudah Waktunya Literasi Digital dan Pendidikan Seksual Hadir dalam Pendidikan Keluarga

NU dan Anak-anak Kita

Banyaknya kasus terkait dengan pelecehan seksual yang melibatkan anak baik sebagai korban maupun pelaku mendesak kita untuk memikirkan strategi pencegahan dan mitigasi sejak dari akarnya. Salah satu faktornya adalah penetrasi teknologi digital yang tidak diimbangi dengan kompetensi literasi yang memadai khususnya dalam keluarga.

Ketika gerakan literasi nasional (baca dan numerasi) masih tumbuh dengan pelan untuk mendorong nalar kritis anak, kita sudah babak belur diterjang dampak negatif internet pada anak karena tidak ada ekosistem yang mendorong orang tua agar lebih berdaya dan cakap secara digital.

Darurat, tapi masih pasif

Kita tidak bisa hanya menunggu pemerintah melalui kurikulum sekolah untuk membereskan persoalan ini. Kompleksitas pengambilan kebijakan hingga kontroversi seputar kurikulum merdeka menambah keyakinan bahwa harus ada alternatif strategi di luar sekolah agar gerakan literasi maupun literasi digital ini sampai ke akar.

Setiap inisiatif kecil sangat berharga. Banyak keluarga milenial yang sudah bergerak sendiri dan memberdayakan diri sendiri menerapkan regulasi online di rumah. Sebagian dari mereka juga sudah mulai menerapkan pendidikan tentang tubuh pada anak sedari dini. Tetapi ini belum cukup. Karena masih lebih banyak keluarga yang belum melek digital dan pendidikan seksual.

Sebagai konteks, ada lebih dari 30 juta anak pengguna internet di Indonesia menurut data APJII 2023. Survei Disrupting Harm di Indonesia yang dilakukan oleh ECPAT Indonesia menunjukkan bahwa dua per tiga dari orang tua yang disurvei mengaku anak-anak mereka lebih cakap digital daripada mereka. Hal ini memengaruhi kurangnya kompetensi orang tua dalam mengelola penggunaan gawai anak.

Tidak saja mengatur atau membatasi, kurangnya kecakapan ini membuat orang tua tidak bisa menjadi sahabat terutama bagi anak pra remaja dan remaja yang lebih rentan terhadap risiko seksual online. Pada usia ini, strategi pembatasan bukan strategi yang efektif. Melainkan komunikasi yang terbuka dan nalar kritis yang lebih efektif membantu mereka dalam mencegah dan memitigasi dampak paparan konten seksual di internet.

Sementara itu, masih dari data Disrupting Harm di Indonesia, 72% anak yang disurvei tidak mendapat pendidikan seksual yang memadai. Padahal, kombinasi antara literasi digital keluarga dan pendidikan seksual merupakan materi yang dibutuhkan anak agar bisa mengidentifikasi risiko seksual online yang mengincar mereka dan menavigasi mereka bagaimana harus bertindak. Kealpaan literasi ini membuat anak Indonesia menjadi sasaran empuk konten maupun interaksi bernuansa seksual.

Paling tidak ada dua pola terkait ancaman seksualitas online dan anak. Pertama, menurut Unicef, paparan konten seksual dan pornografi bisa mengarah pada pemelahan mental, seksisme dan objektifikasi, kekerasan seksual, dan berbagai dampak negatif lain. Kedua, kekerasan dan eksploitasi anak online yang meliputi interaksi dan konten seksual yang melibatkan anak baik dalam unggahan maupun komentar, livestream, child grooming, memberi imbalan uang untuk foto atau video seksual anak atau disebut sextortion, dan lain sebagainya.

Di Indonesia, kategori pertama yaitu dampak negatif dari paparan konten seksual pada anak telah mengakibatkan banyak kejadian tragis dan pilu. Kasus pemerkosaan dan pembunuhan remaja perempuan di Palembang misalnya yang pelakunya adalah empat remaja laki-laki dan terbukti kecanduan video porno. Ada banyak kasus lain yang menunjukkan bahwa anak tidak saja menjadi korban, melainkan juga pelaku kejahatan seksual.

Baca juga:  Mengaji Al-Ghazali atau Refleksi Ulil Abshar Abdalla Sendiri?

Bagaimana itu bisa terjadi?

Dalam sejumlah forum, saya bertanya hal itu pada pada orang tua. Apa penyebab awal kasus seperti ini bisa terjadi? Ada yang menjawab, karena anak diberi hape. Apakah berarti anak-anak tidak boleh menggunakan gawai sama sekali? Apakah tidak ada kemanfaatan dan kesempatan yang lebih besar yang bisa kita ambil dari teknologi digital sehingga kita memilih untuk sepenuhnya menyalahkan keberadaan gawai?

Teknologi dibuat untuk memecahkan masalah dan memudahkan aktivitas manusia. Sama seperti era baru televisi atau penemuan teknologi lainnya, selalu ada fase manusia kerepotan menanggulangi dampak dari teknologi yang diharapkan membawa kemajuan. Di pabrik-pabrik yang proses produksinya menimbulkan limbah misalnya, bukan teknologinya yang dihilangkan, tetapi dicari cara untuk menanggulangi limbah agar tidak membahayakan. Dengan demikian, kemanfaatan lebih banyak didapat daripada kerugiannya.

Apa yang tidak bisa diambil semua, bukan dibuang semua, demikian redaksi sebuah kaidah fikih. Dalam menghadapi dampak negatif internet, bukan internetnya yang dihindari atau dihilangkan, melainkan mengelola risikonya yang sebaiknya kita lakukan.

Ada banyak kemanfaatan  yang bisa diambil dari internet untuk perkembangan dan pembelajaran anak. Sayangnya, minimnya literasi membuat imajinasi dan wawasan kita terbatas dan tidak terpikir untuk mengakses hal-hal di luar pikiran kita. Hampir semua pengetahuan dan keterampilan tersedia informasinya di internet. Imajinasi kita yang menuntun ibu jari kita untuk mencarinya di internet.

Sayang seribu sayang, keingintahuan dan umpan imajinasi tentang seksualitas yang tersebar di internet memandu anak dan remaja untuk mencari konten semacam itu. Menurut data Disrupting Harm di Indonesia, sekitar 24% anak yang disurvei sudah terpapar gambar dan video seksual di internet baik mencari sendiri maupun tidak. Anak laki-laki cenderung lebih aktif mencari daripada anak perempuan.

Sementara itu, di kategori kedua, data Disrupting Harm di Indonesia menunjukkan bahwa 2% anak yang disurvei menjadi sasaran eksploitasi dan pelecehan secara daring. Angkanya tampak tidak besar. Tapi yang tidak besar ini jika muncul dalam bentuk kasus di media kesan yang kita terima akan berbeda.

Misalnya, kasus seorang ibu yang viral mengambil video anaknya sendiri demi menerima imbalan dari kenalan di media sosial. Awalnya ia diminta mengirim fotonya sendiri tanpa busana. Ia bersedia agar bisa mendapat uang. Tetapi setelah itu ia malah diminta membuat video sesuai skenario yang dibuat orang anonim ini yang melibatkan anaknya yang masih berusia 5 tahun dalam tindakan asusila. Angka 2% sungguh tidak bisa mewakili efek rusak yang menimpa korban anak ini. Belum lagi berbagai kasus lain yang beruntun seperti tanpa henti muncul di pemberitaan.

Baca juga:  Wikulokika, Ulama Su' dalam Sastra Sunda Kuna

Ada banyak faktor mengapa kasus-kasus seperti ini banyak terjadi. Ada sumbangsih dari kemiskinan struktural dan relasi kuasa yang timpang. Tetapi yang ingin saya sorot adalah kita bisa memulai pencegahan ini dengan memberdayakan diri dengan sebagai orang tua untuk meningkatkan literasi digital dan membekali diri dengan pengetahuan pendidikan seksual.

Bagaimanapun, usulan ini memang bias kelas. Meski demikian, bagi kita yang mampu secara literasi, dua kombinasi ini perlu kita bekalkan pada anak-anak kita untuk bisa mengidentifikasi dan menghindari konten dan interaksi yang bernuansa seksual.

Memulai langkah dari rumah

Kita memang memerlukan gerakan literasi digital keluarga yang lebih terstruktur dan masif agar bisa memberikan dampak yang signifikan. Tapi kita bisa memulainya dari keluarga sendiri dulu.

Pertama, dalam literasi digital keluarga, kita bisa membekali diri dengan wawasan bahwa banyak oportuniti yang bisa kita dapat di internet termasuk juga untuk anak-anak kita. Wawasan ini bisa menavigasi kita untuk lebih efektif dan intens memperkenalkan pada anak bahwa fungsi internet yang mereka ketahui adalah untuk belajar dan mengembangkan diri alih-alih didominasi oleh konsumsi hiburan saja.

Orang tua yang memiliki wawasan ini secara alami cenderung bisa memandang internet secara positif dan lebih bisa menanggulangi saat ada risiko yang menghampiri. Misalnya, orang tua jenis ini mendorong anak untuk belajar coding atau desain sesuai minat anak.

Tetapi ada lebih banyak orang tua yang cenderung ingin membuat batasan dan mendorong keseimbangan aktivitas online dan offline anak. Biasanya orang tua membolehkan anaknya mengakses internet, tapi dengan seperangkat aturan, misalnya durasi yang dibatasi, aplikasi yang boleh dan tidak boleh, pilihan smarttv atau smartphone, tidak ada internet di malam hari, tidak mengakses internet di kamar tertutup, dan sebagainya. Strategi seperti ini banyak dipilih oleh orang tua yang melek internet juga mampu berpikir kritis.

Namun di lapangan, saya lebih banyak bertemu dengan orang tua yang memberikan gawai di usia dini agar anaknya anteng, tetapi tidak terpikir dan tidak siap akan konsekuensi seperti kecanduan, sikap agresif, dan lain sebagainya yang muncul kemudian. Orang tua sendiri yang mengenalkan gawai ke anak, tetapi tidak punya wawasan untuk antisipasi dampak yang muncul.

Dari orang tua yang tampaknya menyambut-teknologi-namun-abai inilah yang secara teknis bisa muncul kemungkinan anak menyalahgunakan gawai yang ada dalam genggaman. Orang tua yang menyambut-teknologi-namun-abai tidak menerapkan regulasi internet di rumah dan tidak tahu cara melakukannya. Apalagi diharapkan bisa menjadi sahabat anak digital natives, jauh bara dari api.

Menurut survei, anak-anak menggunakan gawai 100% di rumah. Karena itu pendampingan orang tua yang cakap digital sangat dibutuhkan anak-anak agar mereka tidak menemui bahaya dan tersesat dalam rimba raya algoritma maupun interaksi di dalam internet.

Kedua, dalam pendidikan seksual, kita bisa belajar bahwa pendidikan tubuh ini dapat dilakukan secara bertahap sejak usia dini. Awalnya, anak-anak usia dini diajak untuk mengenali tubuhnya sendiri dan mengidentifikasi area pribadi yang tidak boleh disentuh orang lain sembarangan. Anak diajari cara merespon jika ada sentuhan terlarang. Di usia sekolah, anak-anak harus sudah bisa mandiri buang air, mandi, ganti baju, dan tidak membuka area pribadi sembarangan. Termasuk orang tua juga tidak boleh permisif dengan berkata pada anak, “masih anak-anak gakpapa ganti baju di sini aja,” ketika berada di ruang publik seperti kolam renang, mall, atau stasiun dan terminal.

Baca juga:  Menakar Pengaruh Militerisme pada Kesadaran Masyarakat dalam Pemilu 2024

Ini membuat anak-anak berasumsi bahwa boleh membuka baju di ruang terbuka saat tidak ada orang tuanya. Saat anak menjelang baligh atau puber, orang tua menjadi sumber informasi pertama dan utama tentang perubahan dan perkembangan tubuh yang secara pengalaman itu kompleks bagi anak. Di usia ini anak juga sudah mengenal fungsi reproduksi dan bagaimana perilaku yang sehat bagi kesehatan reproduksi mereka. Pengetahuan ini tentu tidak bisa didapat begitu saja. Orang tua harus pro aktif mencari informasi yang kredibel untuk bisa disampaikan kepada anak-anaknya.

Dengan pendidikan seksual, anak-anak diharapkan bisa memiliki agensi seksual yang positif di masa depan dan tidak mengambil risiko perilaku seksual yang membahayakan diri sendiri. Selain itu, anak juga bisa mengenali gelagat kejahatan seksual baik online maupun offline. Anak tahu ketika ada orang yang ia curigai akan berbuat jahat, ia bisa menolak, teriak, lari, dan lapor. Ini dengan asumsi yang berbuat jahat bukan orang tua atau pengasuhnya sendiri. Kasus-kasus yang melibatkan orang tua, pengasuh, guru, pengasuh pesantren atau panti sebagai pelaku membuat anak tidak ada tujuan ke mana ia bisa berlindung. Sungguh memilukan.

Menurut saya, integrasi literasi digital dan pendidikan seksual dalam keluarga merupakan kebutuhan yang niscaya dalam era ini. Keluarga jangan sampai menjadi sumber kejahatan bagi anak. Keluarga harus menjadi pelindung utama anak-anak.

***

Tulisan ini bertujuan agar semakin muncul inisiatif di rumah masing-masing. Dengan demikian, orang tua akan lebih peduli dan mengambil langkah efektif melindungi anak secara online dan offline dari berbagai dampak konten dan interaksi bernuansa seksual di internet. Agar anak-anak kita bermental sehat, jauh dari candu internet, jauh dari eksplotasi seks, dan menjadi insan digital yang tahu bagaimana menggunakan internet untuk hal yang produktif dan bermanfaat.

Tetapi lebih jauh, saya menyimpan cita-cita untuk bisa bertemu dengan orang-orang yang peduli dan mau bergerak bersama untuk memberdayakan secara digital tidak hanya keluarganya sendiri, melainkan juga keluarga lain di sekitarnya. Inisiatif literasi digital dari masyarakat masih minim di Indonesia, kebanyakan dari pemerintah dan perguruan tinggi. Jika inisiatif tumbuh dari bawah dan bisa mengenali kebutuhan di sekitarnya, upayanya bisa lebih mengakar dan berdampak.

Masyarakat digital Indonesia yang berdaya saing bisa terwujud dengan mengantisipasi hambatan-hambatan terutama bagi generasi masa depan Indonesia yang berharga.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top