Abad ke-19 merupakan pergolakan politik berkebabasan yang luar biasa kuat bagi neger-negeri dalam kungkungan penjajahan bangsa Eropa. Ruh zaman kebangkitan nasionalisme yang melanda benua Asia tidak hanya di Indonesia pada awal abad ke-20, akan tetapi juga menjangkiti negeri “Vrindapan” (julukan India dari generasi milenial Indonesia) yang dijajah oleh Inggris semenjak abad ke-17 hingga abad ke-20.
Saat Kesultanan Mughal memasuki situasi lemah pada 1761, perusahaan Inggris EIC (East India Company) memiliki kekuatan angkatan bersenjata melawan pemerintah Kesultanan Mughal. Peperangan terjadi cukup lama, sampai akhirnya Syah Alam membuat perjanjian damai berupa penyerahan wilayah Oudh, Bengal, dan Orisa kepada Inggris. Kemudian pada tahun 1806 di masa Sultan Akbar II, berkonsolidasi dengan perusahaan Inggris (EIC).(Yatim, 2011, pp. 161–162).
Perubahan besar pada politik kolonial Inggris ketika Lord Wellesley (1798-1805) menjadi gubernur jendral EIC di India. Dengan mencanangkan kebijakan subsidiary Alliances (raja-raja India bersekutu dengan Inggris harus menyerahkan urusan politik luar negerinya kepada Inggris, membayar upeti dan mengusir perwira-perwira Eropa selain Inggris).
Melalui kebijakannya itu, Wellesley berhasil menjadikan EIC bagian kekuatan terbesar di India dengan menguasai Bengala, Bihar, Orissa, Mysore, Oudh, dan Maratha. Tetapi kekuasaan kolonial benar-benar kokoh pada pertengahan abad ke-19, setelah berhasil menganeksasi Punjab dan mengalahkan Kerajaan Sikh (Hindu). Panikkar menyebutkan tahun 1848 sebagai tahun dipersatukannnya kawasan anak benua India oleh Inggris.(Suwarno, 2012, p. 107)
Kekuasaan Politik dan Ekonomi Inggris
Berlanjut pada masa Lord Ripon (1880-1884), memiliki pencapaian terbesarnya yakni perluasan wilayah kekuasaan dan mengurusi pemerintahan lokal mereka masing-masing di kota-kota madya yang mana dibawah naungan Kolonial Inggris. Lord Ripon memberikan kuasa kepada setiap kota madya tersebut untuk mengurusi distrik masing-masing. (Musidi, 2012, p. 123).
Inggris di India telah membuat perekonomian India mengalami perkembangan. Terbukti adanya pembuatan jalur kereta api, saluran irigasi di Sungai Indus dan Gangga, UU Perburuhan, dan sebagainya.(Suwarno, 2012, p. 111). Perkebunan teh dimulai oleh Inggris di Assam dan konsesi-konsesi diberikan kepada para pengusaha perkebunan Inggris untuk menanam kopi di pegunungan Nilgiri di Selatan. (Musidi, 2012, p. 118).
Biarpun begitu, adanya kebijakan yang demikian tidaklah baik memang bagi masyarakatnya. Yang mana hasil sumber daya alam mereka dieksploitasi oleh Inggris, dan kemudian akibat itu pula, terjadi wabah kelaparan selama abad ke-19 yang tercatat lebih dari 32,5 juta orang mati secara mengenaskan. (Suwarno, 2012, p. 114).
Keuntungan dari industri tersebut pastinya sangat besar. Namun, penduduk pribumi hanya memperoleh sedikit dari keuntungan industri tersebut. Pada satu sisi Inggris juga membangun sebuah jaringan jalan kereta api, yang menghubungkan wilayah satu dengan wilayah lainnya. Akan tetapi, jalan tersebut diperuntukkan kepentingan transportasi hasil produksi Inggris saja, bukan untuk kepentingan rakyat India.
Kebangkitan Nasional India, Penanda Akhir Imperium Inggris
Berdasarkan atas penderitaan moral dan materil yang diberikan oleh Inggris terhadap rakyat India sehingga membuat semarak perjuangan terjadi melalui strategi diplomatik untuk kemerdekaan di anak benua India. Fenomena penting ini terjadi di India saat menjelang berakhirnya abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, ialah bangkitnya nasionalisme dengan berdirinya organisasi All India National Congress (Partai Kongres) pada tahun 1885 dan All Indian Muslim League (Liga Muslim) tahun 1906.
Majumdar mencatat bahwa fenomena tersebut disebabkan oleh liberalisme melanda Inggris selama abad ke-19 dan telah mempengaruhi kaum pelajar India (mayoritas Hindu) dengan gebrakan semangat demokrasi dan patriotisme nasional. Kaum terpelajar tersebut ingin menyaksikan India bersatu secara bulat dan rakyat mendapatkan hak untuk memerintah diri mereka sendiri. (Suwarno, 2012, p. 116).
Pemimpin Partai Kongres yakni Mahatma Gandhi memiliki dasar perjuangan sebagai berikut: Ahimsa (dilarang membunuh), gerakan anti-perang. Hartal, yaitu gerakan rakyat India dalam bentuk aksi tiada berbuat sesuatu. Mereka tetap masuk bekerja ke kantor, pabrik dan sebagainya. Satyagraha, yaitu gerakan rakyat India untuk tidak kerjasama dengan kolonial inggris. Swadesi, yaitu gerakan rakyat india untuk memproduksi bahan-bahan buatan negeri sendiri.
Kemudian kontribusi perjuangan dari Liga Muslim yang didirikan pada Desember 1906 oleh Viqarul Mulk dan Nawab di Dacca yang bertujuan untuk: 1) untuk memperbesar rasa kesetiaan kaum muslim terhadap pemerintahan kolonial Inggris dan menghilangkan kesalah pahaman yang mungkin timbul; 2) untuk menjaga dan memajukan hak-hak dan kepentingan-kepentingan politik orang Islam; 3) untuk mencegah timbulnya rasa permusuhan dari kaum muslimin kepada golongan masyarakat lain. (Suwarno, 2012, p. 121).
Pada 1928, Kongres dan Liga Muslim bekerja sama menyelanggarakan All India Confrence. Konferensi ini memilih Pandit Motilal Nehrru sebagai ketua panitia, yang mana utama dari tujuan dibuat adalah untuk menuntut dominion bagi benua India atas kolonial Inggris. Namun hal tersebut tidaklah berjalan baik karena ada pertikaian antara kongres dan Liga Muslim, walaupun Inggris sudah beri’tikad baik dengan membuat Government of India Act (1935) yang tetap dibawah naungan Britania Inggris seusai Perang Dunia I.
Perang Dunia II dan Kekuasaan Jepang di Burma adalah titik awal mulainya memudar kekuasaan Inggris di India, sejak saat itu Kongres mengeluarkan resolusi agar Inggris segera keluar dari benua India dan Kongres menuntut kemerdekaan penuh atas Inggris. Kemelut politik terjadi diantara Imperium Inggris, Liga Muslim dan Kongres. Tiada tampak adanya kerja sama antara mereka. Inggris pun tidak dapat menyelesaikan konflik antara kedua organisasi pergerakan tersebut.
Setelah beberapa tahun berjalan, tepat Februari 1947 pada akhirnya Inggris membuat keputusan bulat akan meninggalkan India sebelum bulan Juni 1948. Menjelang kemerdekaan India, pemerintah Inggris memerintahkan Lord Mountbatten untuk menjabat Raja Muda (Viceroy) di India, atas kesepakatan bersama antara kongres diwakili Gandhi dan Liga Muslim diwakili Ali Jinnah mendirikan dua negara yakni Pakistan dan India.yang mana India merdeka tahun 15 Agustus 1947 dan Pakistan merdeka 14 Agustus 1947. (Lapidus, 1999, p. 298).