Dalam satu kesempatan, di Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, Romo Mangun menyindir para frater yang (dikhawatirkan) hanya tahu tiga lokasi di Yogyakarta, yakni Kampus, Kapel dan RS Panti Rapih. Sedangkan di luaran sana masih banyak orang yang hidup dalam kesusahan, sementara para frater di dalam seminari hidup dalam kondisi serba berkecukupan. Lebih lanjut, Pastor yang 22 tahun lalu ini berpulang— menjelaskan keprihatinannya kepada para calon imam, beliau khawatir calon gembala umat tidak pernah dilatih untuk ajur-ajer, yakni melebur dengan masyarakat dan terlalu banyak dijejali teologi dan filsafat. (Y. Suyatno Hadiatmojo dalam Kotak Hitam Sang Burung Manyar: Kebijaksanaan dan Kisah Hidup, 2013)
***
Rabu, 10 februari 1999, Ruang Seminar Hotel Le Meridien, Jakarta—menjadi saksi bisu sesaat setelah Romo Mangun menjumpai Kang Sobary di sela istirahat siang seminar yang pada waktu itu membahas peran buku dalam membentuk masyarakat Indonesia yang dihelat oleh Yayasan Obor Indonesia. Belum sempat berbicara banyak, Romo Mangun tertidur di pundak sahabat karibnya, kang Sobary membiarkannya karena semula dia mengira Romo Mangun hanya beristirahat sebentar.
Namun, kian lama pundak Romo Mangun bertambah berat dan kang Sobary mencoba menahan Romo Mangun meski dihinggapi perasaan heran bercampur cemas. Suasana berganti tegang, setelah diketahui bahwa Romo Mangun terkena serangan jantung. Kang Sobary membayangkan oksigen dan dokter yang datang beberapa saat setelahnya ternyata tak berguna karena Romo Mangun sudah wafat beberapa saat sebelumnya. Tepat 22 tahun hari ini, semua karya Romo Mangun menuntut untuk diteruskan, yang terus memburu hingga saat ini, yang terus memberondong pertanyaan dan gugatan. “Apa kabar teologi hari ini?”, “Hendak kemana teologi kelak?”
Teologi Yang Menggugat
Jika Mahatma Gandhi mengatakan bahwa hidupnya adalah pesan, begitu juga dengan Romo Mangun. Pastor Katolik bernama lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya ini tidak sekadar adalah pesan, namun juga adalah gugatan. Hal ini senada dengan karya hidupnya sebagai seorang yang multi dimensional yang kerap menggugat keadaan yang oleh beberapa orang hanya diterima. Tidak asal bunyi gugatan Romo Mangun, seperti ceramahnya di hadapan para santri Katolik (frater) di Seminari Tinggi Kentungan, sebelum menggugat dalam ceramahnya, Romo Mangun telah hidup dan bergumul bersama kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan sudah sejak lama.
Gugatan-gugatan Romo Mangun begitu banyak, dimulai dari keluar dari militer lalu balik mengkritik militerisme, menggugat penguasa otoriter Orde Baru yang tidak memanusiakan dan masih banyak lagi yang digugat. Romo Mangun kerap kali mengulang gugatannya kepada banyak orang—bahwa sebelum menjadi guru, polisi, tentara, dokter, bahkan menjadi teolog atau profesi lainnya mestinya terlebih dahulu menyadari realitas kita sebagai manusia. Sehingga bisa menghargai manusia dan kemanusiaan. Sehingga teologi tidak hanya berakhir menjadi semacam obat penenang atau tempat pelarian saja.
Teologi Yang Terlibat
Dalam satu suratnya kepada Uskup Agung Mgr. J. Darmaatmadja, S.J, Romo Mangun memohon untuk kepada Uskup untuk memperpanjang masa tugasnya di Code. Dia merasa bahagia hidup di tengah orang miskin. Bukan sekadar kebahagiaan pribadi yang dia inginkan, namun juga sekaligus ingin mengaplikasikan hasil dari Konferensi Uskup se-Asia dan Indonesia mengenai relasi gereja dan kaum miskin.
Kawasan pinggir kali Code, Terban, Yogyakarta dahulu adalah kawasan kumuh dan tidak diakui sebagai pemukiman oleh pemerintah Yogyakarta. pada 1981, Romo Mangun masuk ke Code dan mengagas pembangunan rumah di bantaran yang layak huni. Kampung Code ini akhirnya dikenang sebagai karya gemilang Romo Mangun sebagai arsitek. Walhasil, pada 1992, karya di Code itu dia dianugerahi Aga Khan Award, sebuah penghargaan bagi konsep arsitektur yang ramah lingkungan dan mewadahi aspirasi masyarakat. Selain itu, pada 1995, dia juga menerima The Ruth and Ralph Erskine Fellowship karena dedikasinya untuk marginal di Code.
Di tangan Romo Mangun, teologi yang diyakini dari sisi Ilahi tidak tinggal dan tergantung di atas langit sana, teologi lalu terlibat dan bergumul dalam persolan konkret sehari-hari. Terlibat dalam kegembiraan, harapan, suka, duka, serta kecemasan orang-orang zaman sekarang, terlebih mereka yang miskin, tertindas dan menderita.
Setali tiga uang, Romo Bernhard Kieser S.J mengajukan ‘teologi berkotor tangan’, yakni teologi yang harus menjumpai orang lain di tengah kehidupan nyata, atau dengan kata lain, menjadi ‘sarung tangan Allah’. Manusia tidak sekadar menjadi penyambung lidah, namun juga menjadi perpanjangan tangan. Selanjutnya, Romo Kieser juga mengajukan ‘teologi angkat pantat’, yakni teologi yang tidak hanya di ruang kerja, di tempat yang nyaman dengan AC yang dingin, tapi harus bangun dan pergi menjumpai mereka yang miskin, tertindas dan menderita serta berteologi dan membangun teologi bersama-sama.
Teologi Yang Menunjukkan Jalan Bertindak
Tak hanya mengangkat kawasan Code dari kawasan kumuh menjadi kawasan layak huni bagi manusia dengan sekelumit persoalannya. Pada 1986, Romo Mangun juga turut membela warga korban penggusuran Waduk Kedung Ombo, Boyolali, bahkan harus kucing-kucingan dengan aparat keamanan demi menemui warga di sana.
Secara eksistensial, sebagai seorang teolog yang menghidupi ajaran-ajaran pembebasan Yesus, Romo Mangun tidak bisa membiarkan kenyataan ketika melihat Hak Asasi Manusia (HAM) dirampas atau diganggu dengan dalih pembangunan rezim Orde Baru pada waktu itu. Dia tidak membiarkan teologi terkunci di kitab suci atau dokumen-dokumen gereja, namun justru keluar menjadi tindakan konkret.
Tindakan serta keberpihakan Romo Mangun menegaskan bahwa teologi tidak sekadar (dan jangan hanya) berwacana mengenai Allah, merayakan kemewahan nama-nama-Nya, melainkan mewujudnyatakan atau membuat Allah berbicara serta mengungkapkan diri-Nya kepada manusia dengan wujud pembelaannya kepada manusia lainnya. Hal ini membawa juga membawa teologi tidak sekadar menjadi watchdog serta merumuskan keadaan, namun juga memberi keberanian dan jalan untuk bertindak.
Hidup dan karya Sang Burung Manyar adalah teologi yang mengangkat manusia, memuliakan Allah—yang tampak pada keperbihakannya melalui karyanya dalam puluhan karangan sastra serta bentuk bangunan yang dibangunnya. Tidak hanya membawa teologi sebagai alat untuk menggugat, terlibat serta menujukkan jalan untuk bertindak, namun juga menggerakkan teologi itu sendiri untuk membebaskan mereka yang miskin, tertindas dan terpinggirkan.
Tidak berbeda jauh dengan sosok Gus Dur jika menilik kesembilan ekstraksi pemikiran serta nilainya. Kedua sahabat karib yang kerap melempar guyonan ini, sekarang mungkin tengah bersua di rumah-Nya di alam sana. Menertawakan kita yang masih hidup di dunia yang rajin tawuran, minim srawung dan tertawa bersama. Romo Mangun dan Gus Dur telah menggerakkan teologi untuk mengangkat manusia, siapkah kita para santri, para frater atau yang mengaku pengikutnya untuk meneruskannya? Ad Maiorem, Dei Gloriam. Wallahu ‘alam.