Sedang Membaca
Seabad PK Ojong: Tulisan dan Pergaulan
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Seabad PK Ojong: Tulisan dan Pergaulan

P.k. Ojong Dan Keluarga

Tahun demi tahun berlalu, Intisari dan Kompas tetap terbit. Wabah belum tamat, orang-orang masih terus membaca berita, artikel, cerita, dan iklan dalam terbitan rutin Kompas setiap hari dan Intisari setiap bulan. Kita pun mengingat nama penting untuk terbitan telah menemani jutaan orang selama puluhan tahun: PK Ojong dan Jakob Oetama. Sejarah dicipta dan bergerak di masa 1960-an. Mereka ingin Indonesia membaca dan mulia menempuhi tahun-tahun ingin maju, makmur, dan bahagia.

Kini, kita mengenang seabad PK Ojong (25 Juli 1920-25 Juli 2020). Ia pamitan duluan tapi memberi patokan dan kaidah berpengaruh dalam perkembangan Intisari dan Kompas. Warisan ide masih terbaca melalui tulisan-tulisan. Kesaksian para pelaku sejarah di Intisari dan Kompas menggenapi penghormatan kita atas kerja pers dan perbukuan. PK Ojong, nama penting dalam menilik sejarah dan kebermaknaan koran, majalah, dan buku di arus peradaban Indonesia.

Orang-orang sering mengenang PK Ojong dengan tulisan-tulisan dinamakan “Kompasiana”. Warisan mewujud menjadi buku tebal berjudul Kompasiana (1981), memuat sejenis dokumentasi dan tanggapan atas segala hal terjadi di Indonesia dan dunia. Ia menulis dengan keberagaman padangan, mahir berbahasa, dan berani memberi sindiran. Kebiasaan mungkin berlaku gara-gara mengisi rubrik “Gambang Kromong” saat masih menggerakkan Star Weekly. Di buku berjudul Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982, tim Tempo menjelaskan: “Rubrik ‘Kompasiana’ yang ditulisnya dengan populer pada tahun-tahun pertama Kompas, sebenarnya juga bicara soal-soal pokok – dan merupakan inspirasi di hari-hari pertama Orde Baru, ketika hampir semua orang tengah mencari tata bernegara yang lebih baik. Meskipun rubrik itu seakan-akan hanya bicara soal pohon di jalan, kembang, atau tukang air di pagi hari.”

Baca juga:  Djaduk Ferianto, Ngayogjazz, dan Ide Seorang Santri

Kepekaan atas pelbagai hal dan kemauan menuliskan untuk publik membuktikan PK Ojong serius menempuhi jalan keaksaraan. Sejak mula, ia memang memihak ke buku. Ketekunan membaca buku-buku dan berbagi buku memungkinkan percakapan dan dialog dengan pelbagai pihak. Ia menjadi manusia terbuka di pendalaman beragam tema. Sejarah tentu paling memikat. Kita mendingan memberi pengakuan ke pemihakan humaniora. Biografi sebagai pembaca buku memuncak dengan kegetolan menulis buku-buku. Orang-orang teringat dengan serial tulisan sejarah-perang.

Ikhtiar mendirikan dan mengembangkan Kompas bermisi besar. Orang-orang diajak membaca dan memuliakan Indonesia dalam suguhan jurnalistik berpatokan humaniora. Di buku berjudul Membuka Cakrawala: 25 Tahun Indonesia dan Dunia dalam Tajuk Kompas (1990), kita menemukan warisan dan pengaruh PK Ojong dalam tulisan-tulisan mendokumentasi zaman. Selama 25 tahun, Kompas terbit. PK Ojong telah tiada tapi halaman-halaman di Kompas masih melanjutkan filosofi disusun pada masa-masa awal lakon Kompas, 1960-an dan 1970-an. Pembaca merasakan kehadiran dan warisan PK Ojong. Buku besar dan tebal itu cuma sekali mencantumkan nama PK Ojong, terbaca di halaman x.

Pergaulan di kalangan intelektual dan seniman memungkinkan PK Ojong bergairah menerbitkan Intisari dan Kompas. Ia seperti memastikan bakal bisa mengajak para pemikir turut memberi tulisan demi mengundang pembaca ke renungan dan aksi. Terbitan Intisari perdana memuat tulisan dari Nugroho Notosusanto, So Hok Djin (Arief Budiman) dan So Hok Gie (Helen Iswara, PK Ojong: Hidup Sederhana, Berpikir Mulia, 2001). Pada suatu masa, pembaca mulai menemukan tulisan-tulisan berselera sejarah di halaman-halaman Intisari. Sejarah memang bukan menu utama tapi pembaca merasakan ada dampak dari ketekunan PK Ojong membaca sejarah dan menularkan ke publik.

Baca juga:  Gus Dur dan Makanan

Kita membuka lagi majalah Intisari edisi September 2013, edisi khusus 500 halaman dalam peringatan 50 tahun Intisari. Majalah terus bergerak dan bersemi. Jakob Oetama dalam artikel berjudul “Untaian Rasa Syukur” mengenang kebersamaan dengan PK Ojong. Pertemuan dan perbincangan di Yogyakarta dan Jakarta membuahkan sejarah: “Karena sering bertemu dan bertukar pikiran, antara PK Ojong dan saya sudah tercapai saling pengertian. Oleh karena sudah seirama, dengan mudah kami membangun kerja sama. Pertama membuat Intisari (1963) dan dua tahun kemudian, harian Kompas (1965).” Dua tokoh itu seirama dan kuat. Intisari dan Kompas terus terbit di abad XXI. Bukti tak terbantahkan! PK Ojong (205 Juli 1920-31 Mei 1980) pamit duluan, Jakob Oetama terus bergerak sampai sekarang.

PK Ojong tak cuma milik Kompas-Gramedia. Ia pun milik publik sastra. Di buku berjudul Horison Esai Indonesia (2004), kita membaca esai PK Ojong: “Menyaingi Orang Asing dengan Jujur.” Buku dua jilid susunan tim Horison itu dimaksudkan menjadi dokumentasi dan referensi belajar penulisan esai. PK Ojong memiliki dan dimiliki Horison, majalah sastra bergerak sejak 1966. PK Ojong berteman dengan Mochtar Lubis dan Arief Budiman berani mendirikan majalah sastra tanpa kepastian bisa terbit reguler dan awet. PK Ojong di situ turut menentukan jaminan terus terbit, tersuguhkan sebagai bacaan bermutu ke publik.

Baca juga:  Inilah Kemiripan Gus Dur dengan Abu Nawas

Mochtar Lubis (1980) mengenang: “Didorong oleh cita-cita yang sama dan berbagai sikap yang sama pula menghadapi perkembangan di tanah air, saya atau Ojong, saling menemukan diri kami dalam berbagai usaha bersama untuk kemajuan bangsa. Kami bersama-sama terlibat dengan kawan-kawan lain dalam usaha menerbitkan majalah sastra Horison.” Kini, orang-orang sastra mungkin tak mengetahui atau lupa bahwa kerja sastra di Indonesia pun bertokoh PK Ojong meski bukan berperan sebagai penulis puisi, cerita pendek, atau novel.

Kita perlu juga mengenang PK Ojong dan Arief Budiman, sekian bulan lalu juga pamitan dari dunia. Sejak di SMA, Arief Budiman rajin membaca Star Weekly, mengenali dan membaca tulisan-tulisan PK Ojong. Pada suatu hari, Arief Budiman menerjemahkan cerita Albert Camus dikirimkan ke Star Weekly. Hari demi hari, ia menanti pemuatan. Arief Budiman justru diundang bertemu PK Ojong. Pertemuan gara-gara terjemahan. PK Ojong mengatakan cerita Albert Camus terlalu berat bagi pembaca Star Weekly. PK Ojong justru tertarik dengan keberanian murid SMA menerjemahkan Albert Camus.

Sejak pertemuan dan percakapan singkat, Arief Budiman dan PK Ojong pun berteman. Kita membuktikan PK Ojong memang milik Indonesia melalui terbitan koran, majalah, buku. Ia milik siapa saja. PK Ojong milik Indonesia melalui pergaulan dan persahabatan. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top