Lembaga pendidikan tertua yang mengajarkan keilmuan di bumi Nusantara dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren atau yang lebih familiar dengan sebutan Lembaga Islam Tradisional. Sebutan tradisional mengandung arti bahwa lembaga ini sudah hidup sejak ratusan tahun yang lalu dan telah menjadi bagian dari kehidupan umat, serta telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan kerajaan atau kekuasaan.
Bagi Marx Woodward penerimaan masyarakat Nusantara terhadap Islam tidak terlepas dari peran keraton dan raja. Sehingga praktik Islam yang ada di Nusantara bukanlah hasil dari pengaruh kebudayaan Hindu-Budha, tetapi murni intrepretasi umat muslim terhadap pokok ajaran Islam sesuai konteks kebudayaan Nusantara yang memiliki identitas yang khas (Marx Woodward, 2006:4). Dengan begitu proses islamisasi yang dilakukan oleh para ulama dan lembaga formalnya disokong oleh penguasa setempat dalam hal ini raja yang langsung turun tangan untuk menyebarkan ajaran agama Islam.
Raden Mas Jatmika atau yang populer dikenal sebagai Sultan Agung (1613-1645), seorang raja besar yang berperan dalam proses pelestarian pendidikan dan penguatan nilai-nilai Islam dengan mengakulturasikan dengan kebudayaan setempat. Dalam panggung sejarah pendidikan pesantren, raden Mas Jatmika termaksud salah seorang pelopor pendidikan model pesantren. Ajaran Islam kemudian disebarkan dengan mengakulturasikan kebudayaan lama dan peninggalan tradisi Hindu-Budha dengan berbagai saranan dan fasilitas dari istana.
Kita lihat misalnya, Grebeg (garebeg) disesuaikan dengan hari raya Idhul Fitri dan Mualid Nabi, Gamelan Sekaten yang dibunyikan pada Garebeg Maulud, atas perintah Sultan Agung kemudian dipukul setiap menjelang shalat lima waktu, dan yang paling mutakhir dalam ilmu Astrologi adalah penanggalan Jawa yang memadukan antara penggalan Saka (Hindu) dengan pengaggalan Islam (Hijriyah). Tahun baru ini disusun berdasarkan perhitungan bulan sesuai dengan pranata mangsa atau musim panen tanam masyarakat setempat.
Tidak hanya itu, Sultan Agung juga memerintahkan bawahnya untuk membangun masjid gehde di setiap ibukota kabupaten sebagai induk dari semua masjid yang ada di kampung-kampung, dan disetiap ibukota distrik didirkan sebuah masjid kawedanan (kecamatan), dan disetiap desa dibangun mushola atau masjid desa yang dikepalai oleh modin (kaum) dengan 4 orag pembantunya. Dari tingkat kaum ini, sultan memerintahkan untuk mendirikan pesantren yang disertai pendopo di setiap kampung, sebagai tempat bertemunya modin dan pembantunya dengan rakyat kapan saja agar lebih leluasa termaksud mengajarkan al-Quran dan semua ajaran agama Islam.
Perlu diketahui bersama, berawal dari pendidikan lokal model pesantren ini kemudian warga mengenal dan memeluk Islam secara massal, serta dipraktikan dalam kehidupan masyarakat secara luas. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Sultan Agung pasca runtuhnya Majapaht akbiat Perang Paregreg (1404-1406) jauh hari sudah diterapkan oleh penyebar Islam awal di Nusantara yang kemudian dilegal formalkan oleh Walisanga.
Era Mataram Islam wali dan ulama memiliki pengaruh yang begitu kuat terhadap jalannya pemerintahan dan keputusan raja, sebagaimana pengaruh agamawan Hindu-Budha pada masa pra-Islam. Aguk Irawan menandaskan bahwa pada masa pra-Islam seluruh etika sosial-politik masyarakat Nusantara berada di bawah pengaruh agamawan Hindu-Budha, maka pada masa Islam seluruh etika sosial-politik berada di bawah pengaruh pesantren (ulama dan wali) (Aguk Irawan, 2020:137). Ini menandakan bahwa pesantern mempunyai pengarauh yang begitu besar baik di luar tembok keraton maupun di dalam tembok keraton.
Bahkan, karya sastra keraton sangat bercorak islami, kita lihat misalnya Serat Tajuh Salatin (Mahkota Para Sultan) berisi niali-nilai etika Islam, seperti keadilan, kasih sayang, dan pedoman dalam penerinatahan. Kemudian Serat Surya Raja, yang mengisahkan kedudukan Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga sebagai guru rohani dari pendiri Dinasti Mataram, yang juga menyinggung tentang keutamaan ilmu dan lembaga pendidikan atau pesantren diungkapkan dengan kiasan-kiasaan ngelmu. Masih banyak karya sastra yang lain seperti Serat babad Giri, Suluk Wringin Sungsang, Serat Babad Tembayat yang itu dipelajari di dalam tembok keraton.
Perlu kita pahami bersama bahwa pesantren dan keraton adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Adanya keraton Mataram Islam merupakan amanah para wali terutama Suan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam. Untuk itu keraton dan pesantren dalam sisi nasab dan peran dalam membentuk watak dan karakter Islam-lokal tidak terpisahkan. Sebab itu, keraton tidak pernah meninggalkan pesantren, bahkan pada saat keraton tidak mampu melawan kaum kolonial misalnya justru pesantern dengan keberaniannya mengambil alih peran tersebut.
Keharmonisan pesantren dan keraton mencapai puncaknya pasca Perang Diponegoro (1825-1830). Para ulama memilih menjauh dari istana karena tidak puas dengan dominasi penjajah yang merangsek terlalu dalam ke jantung keraton dalam urusan pemerintahan raja-raja di Jawa. Menjauhnya para ulama dari keraton kemudian berdampak dengan munculnya pesantren-pesantren di pulau Jawa dan Madura. Walaupun demikian, kedua elemen ini tidak bisa terpisahkan dalam proses akulturasi ajaran Islam yang di bawah naungan pesantren dengan kearifan lokal yang dikembangkan oleh keraton.