Sedang Membaca
Rindu Berbahasa Indonesia
Hairus Salim HS
Penulis Kolom

Esais. Bekerja di Yayasan LKiS dan Gading Publishing, Jogjakarta.

Rindu Berbahasa Indonesia

Hairussalim

Di dalam kunjungan saya ke luar negeri yang hanya sekali dua, pernah ada suatu pengalaman yang agak unik: berjumpa seorang yang mengaku rindu berbahasa Indonesia.

Waktu Itu tahun 2009, pada hari Minggu pagi, dengan langit cerah dan matahari menampakkan dirinya dengan gagah, saya pelesir ke Museum Amsterdam yang terletak di tengah kota dengan bangunan tempo dulunya yang amat mempesona.

Ketika sedang mengitari bagian dalam bangunan bekas biara dan panti asuhan yang didirikan abad 15 itu tiba-tiba seseorang menyapa Saya. “Dari Indonesia ya?” Saya mengiyakan. Kami pun berkenalan.

Yang bertanya itu seorang lelaki bertubuh cukup tinggi dan besar. Dari ciri fisiknya ia dari etnis Tionghoa. Ia mengaku lahir dan besar di Indonesia. Tetapi sekarang tinggal di Amerika Serikat. Kebetulan sekarang ia sedang ada pekerjaan dinas ke beberapa negara Eropa ini, termasuk Belanda, dan di sela pekerjaannya yang padat, ia menyempatkan untuk mengitari Kota Amsterdam.

Yang menarik ia mengajak saya minum kopi dan akan mentraktirnya untuk sekadar ngobrol. Waktunya tidak lama, hanya 10an menit. “Saya kangen bicara dalam bahasa Indonesia,” katanya.

Sebagai penggemar gratisan, apalagi di negeri orang, tentu saja tawarannya saya terima dengan tangan terbuka. Maka kami pun ngobrol.

Ia bercerita lahir dan besar di Jakarta, tepatnya di daerah Jatinegara. Tapi sejak pertengahan 1998, atau tepatnya tak lama setelah peristiwa Kerusuhan Mei 1998, ia pergi ke AS. Ia bilang keluarganya menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Rumahnya dibakar dan dijarah.

Baca juga:  Tradisi Megengan dan Filosofinya

Saya mendengarkan cerita sedihnya itu, dan tentu saja, ini bukan cerita pertama yang saya dengar (atau baca). Sebagaimana kita tahu, pada hari-hari di Bulan Mei sebelum Soeharto mundur, terjadi Kerusuhan yang melanda Jakarta. Pembakaran, penjarahan, pembunuhan dan pemerkosaan. Hingga sekarang tak ada yang bertanggung jawab atas peristiwa itu. Namun yang jelas, warga keturunan Tionghoa, bukan harta benda saja, tapi juga tubuh fisiknya, banyak menjadi sasaran dan korban. Tak terkecuali keluarga kenalan baru saya itu.

Namun bagian selanjutnya sangat mengharukan.

Sebenarnya saya, katanya, sangat mencintai Indonesia. Saya sangat ingin tetap tinggal di Indonesia. Bagaimana pun saya lahir dan besar di sana. Tapi mengingat Mei itu, saya selalu sedih dan khawatir peristiwa itu akan berulang lagi. Apalagi jika –menurutnya—melihat perkembangan politik di tanah air belakangan ini.

Harapan itu diucapkan dengan penuh tekanan dan berulang. Dan saya merasakan ketulusan di dalamnya.

Sekarang, menurutnya, ia bekerja di agen penerjemahan bahasa yang membantu kantor kepresidenan Amerika. Saat itu memang Presiden Barack Obama sedang melakukan kunjungan di Eropa. Ia diterima di agen itu, katanya, karena selain bisa berbahasa Mandarin dan Inggris, juga karena bisa bahasa Indonesia. Lha bahasa ibu saya ya bahasa Indonesia, tambahnya.

Baca juga:  Merasakan Alquran dengan Nyanyian

Waktu sepuluh menit cepat sekali berlalu. Ia lalu bergegas, karena katanya, ia harus segera kembali berkerja.

Kami bersalaman dan berpisah. Ia mengucapkan terima kasih karena mau menemani ngobrol dalam bahasa Indonesia. Saya kangen Indonesia, katanya.

Demikian sebersit pengalaman bertemu dengan orang yang kangen ngobrol dalam bahasa Indonesia. Waktu Itu sebenarnya museum sedang banyak pengunjung. Pasti saya bukan satu-satunya orang Indonesia. Tapi kenapa si teman itu memilih saya? Entahlah, mungkin karena saya secara fisik paling tampak Indonesianya: kecil, sawo matang, dan agak gumunan. Dan mungkin juga karena saya sendirian. Apapun juga tentang ada orang yang kangen berbahasa Indonesia ini merupakan suatu hal yang menarik. Barangkali itu suatu perasaan nasionalisme yang bersifat imajinatif, yang tidak nyata, tapi jelas adanya. Dan adanya itu terletak di ‘rasa’. Bait-bait lagu ‘Tanah Airku’ karya Ibu Sud: “Tanah airku tidak kulupakan/’Kan terkenang selama hidupku/Biarpun saya pergi jauh/Tidak ‘kan hilang dari kalbu/Tanahku yang kucintai/Engkau kuhargai/Tanahku tak kulupakan/Engkau kubanggakan…” Rasanya memang sangat relavan dan benar adanya.

Mungkin perasaan itu juga yang dialami banyak orang ketika misal menyaksikan lagu ‘Indonesia Raya’ dinyanyikan ketika Indonesia melalui Greysia Polli/Apriyanti Rahayu menerima anugerah emas Olympiade. Atau juga ketika menonton via video seorang anak di Timur Indonesia sana yang dengan gagah perkasa menaiki tiang yang tinggi di tengah tanah lapang yang panas untuk memancangkan Sang Merah Putih. Perasaan cinta, senang, bangga, dan sebagainya akan Indonesia itu menimbulkan rasa haru yang dalam.

Baca juga:  Nyadran Jelang Ramadan, Bukan Kemusyrikan

Jadi ini soal perasaan, keterlibatan yang intens dengan keindonesiaan itu, yang dipandang oleh orang luar atau diletakkan ‘di luar konteks’ mungkin akan dianggap cengeng, berlebihan, lebai, dan lain-lain. Rasa yang ajaib, yang meski dikecewakan dan dikhianati, tetap terus mencintai dan merindu.

Tentu saja sifat mendudukkan nasionalisme sebagai urusan ‘rasa’ ini rentan disalahgunakan dan dimanipulasi oleh negara. Karena bergerak ke level lain, nasionalisme juga menyangkut soal kesepakatan untuk hidup bersama. Karena itu atas dasar kesepakatan, orang-orang yang telah diikat rasa sebangsa itu membuat Negara. Tapi seperti telah banyak catatan hitam yang dibuat, di tangan para pengelola Negara yang tak becus dan tak bertanggung jawab, kesepakatan itu dilanggar, dihancurkan, dan ditabrak.

Dan celakanya itu terus berulang.

 

Yogyakarta, 17-08-2021

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top