Jika pada masa akhir abad II H ajaran sufi berupa sebuah aliran kezuhudan, maka menginjak pada aba III H orang sudah ramai membicarakan berbagai makna dan istilah yang belum dikenal di era sebelumnya.
Mereka berbicara tentang moralitas, kejiwaan, etika suluk untuk menuju Allah dengan berbagai jenjang yang harus ditempuh para salik. Jengjang ini dikenal dengan al-Maqamat. Saat menempuh jenjang tersebut, hati seorang salik akan mengalami perasaan-perasaan tertentu yang dikenal dengan al-Ahwal.
Selain itu, dibicarakan pula tentang apa itu makrifat beserta metode dalam menempuhnya, tauhid, lenyap dalam kecintaan (fana’), ittihad dan hulul, serta membicarakan tentang masalah-masalah teoritis lainnya. Dalam semua pembahasan-pembahasan tentang teoritis tersebut mereka mulai meletakkan kaidah-kaidah pengkajian secara ilmiyah. Sejak itulah, muncul tradisi pengodifikasian tentang disiplin ilmu tasawuf dengan berbagai buah karya dari para sufi pada masa itu.
Pada abad III dan abad IV H, istilah sudah mulai dikenal. Bahkan, sudah menjadi disiplin ilmu untuk jalan menuju makrifat billah yang sebelumnya hanya diposisikan sebagai jalan dalam beribadah. Dalam kedua kurun ini pula, bermunculan karya tasawuf yang terkait dengan maqalah (perkataan) para sufi. Antara lain, kitab al-Luma’ karya Abi Nasr as-Sarraj ath-Thausiy, at-Ta’aruf karya Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Thabaqat karya as-Sulami, dan masih banyak lagi yang lainya.
Di fase ini, orang yang pertama kali membicarakan tentang makrifat adala Ma’ruf al-Karkhi. Beliau salah satu dari imam atau syaikh sufi dan sekaligus orang yang pertama kali mendefinisikan tasawuf itu sendiri. Perjalana menuju ma’rifat menurut konsep baliau bisa diperoleh langsung dari Allah SWT. yang diberikan kepada hamba-Nya, tidak melalui akal seperti yang diungkapkan oleh sebagian ahli teologi (mutakallimin) dan para filosof.
Ketika Dzun al-Misriy (w. 245 H) ditanya, “Dengan apa kamu mengetahui (Makrifat) Tuhanmu?”
Beliau menjawab, “Aku mengetahui Tuhanku dengan pertolongan Tuhanku. Ketika tidak ada pertolongan dari Tuhan, maka aku tidak akan mengetahui Tuhanku.”
Sedangkan ciri khas dari orang yang makrifat adalah mendapatkan ilmu laduni, yaitu sebuah pengatahuan yang datang langsung dari Allah. Pada abad ini, juga tampil Dzun Nun al-Mishriy dengan konsep lain mengenai metodologi spiritual menuju Tuhan, yaitu teori al-Maqomat dan al-Ahwal. Sebenarnya pakar sejarah tasawuf berbeda pendapat mengenai siapa yang pertama kali mengungkapkan teori ini. Diantara sekian nama yang menjadi perselisihan pendapat tersebut adalah Dzun Nun al-Mishriy.
Sejak diterimanya doktrin al-Maqamat dan al-Ahwal ini, perkembangan tasawuf telah sampai pada tingkatan kejelasan perbedaannya dengan kesalehan asketisme, baik dalam tujuan maupun ajarannya. Selain itu, juga berbeda dengan ilmu-ilmu yang lainnya seperti ilmu fiqh.
Pada periode akhir dari abad III H dan permulaan abad IV H, tampil seorang tokoh yang oleh para sejarawan di anggap sebagai tokoh kontroversial, yaitu Abu al-Mughits ibn Muhammad al-Baidlawiy (w. 304 H) yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Hallaj dengan teori Hulul-nya. Menurut Al-Hallaj, hulul adalah mengambilnya Tuhan pada sebuah tempat dalam tubuh manusia yang telah mampu melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana’. Semasa hidup, ia banyak mengalami rintangan yang harus dihadapi dengan penuh kesabaran.
Di antara cobaan itu adalah beliau dipenjara oleh penguasa saat itu atas fatwa dari ulama fikih, yaitu Imam Abu Daud ad-Dhahiriy pada tahun 297 H dan tahun 301 H oleh Qodli Abu ‘Umar atas tuduhan sudah dianggap keluar dari agama islma serta membahayakan aqidah masyarakat awam dengan teorinya tersebut. Pada akhirnya beliau disalib dan dipotong kedua tangan dan kakinya, dipotong kepalanya, dan dibuang ke sungai Dajlah. Kejadian ini disinyalir merupakan salah satu faktor awal pertentangan antara ulama syari’at dan para sufi atas sikap mereka pada keadaan Al-Hallaj tersebut.
Kenyataannya, apa yang menjadi paham Al-Hallaj ini tidak jauh berbeda dari pendahulunya, yaitu Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H). Dalam satu keadaan tertentu, mereka sering mengucapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh kebanyakan orang terutama masyarakat awam. Dalam teori kesufian, keadaan ini dikenal dengan istilah syathahat (eksentrik).
Hanya saja apa yang dilakukan oleh Al-Hallaj ini termasuk cara penyampaian yang terlalu mendalam dan lebih sulit untuk dipahami daripada apa yang telah diungkapkan oleh Abu Yazid. Namun dari kebanyakan pendapat yang ada, paham Al-Hulul yang dikemukakan oleh Al-Hallaj ini sebenarnya merupakan ungkapan yang bersifat majaz. Bahkan secara hakikat, beliau masih membedakan antara derajat kehambaan dan derajat Ketuhanan.
Pada abad ini juga, hidup seorang sufi besar yang bernama Al-Junaidi Al-Bagdady (w. 297 H). beliau memiliki peran yang sangat berarti untuk fase selanjutnya dengan upayanya dalam meletakkan dasar-dasar ajaran tasawuf, tarikat, cara mengajar tasawuf, syekh, mursyid, murid, dan murad. Sehingga beliau mendapatkan sebutan Syaikh ath-Tha’ifah.
Selain itu, beliau pulalah orang yang pertama mampu untuk mengompromikan antara syariat dan hakikat. Keilmuannya sangat mendalam. Beliau bukan termasuk golongan sufi pengikut syathahat. Beliau lebih mengedepankan aspek shahwu (keadaan sadar) daripada sakr (keadaan ketiadaan sadar karena Allah), dan aspek baqa’ (ketetapan diri seseorang sesuai jati dirinya) daripada fana’ (merasa leburnya diri seseorang dalam zat Allah).
Karakter dari doktrin tasawuf di fase ini adal lima aspek menonjol. Antara lain adalah ajaran moralitas, suluk (perjalanan spiritual menuju Tuhan), ma’rifat billah, fana’ (musnah atau lenyap bersama dengan Allah), serta hakikat thuma’ninah (ketenangan jiwa), dan Sa’adah (kebahagiaan hati) bersama Allah. Namun, yang ditekankan dari kelimanya adalah karakter kejiwaan, moralitas, dan suluk.
Rujukan
At-Taftazani, Abu Nasr Al-Wafa Al-Ghanamiy, Madkhal ilat Tasawuf Al-Islam, H. 99, 100, 116, 126, 315, dan 140