Selepas Jum’at, pukul satu siang, kami (rombongan mahasantri Mahad Aly Situbondo) beruntung bisa ikut pembukaan Ngaji Tafsir Jailani bersama Syekh Prof. Dr. Muhammad Fadhil al-Jailani, cicit sekaligus pentahqiq karya Syekh Abdul Qadir Jailani. Kemegahan Masjid Akbar Surabaya siang hari lalu membuat kantuk akibat belum tidur semalaman saya hilang.
Gubernur Jawa Timur, Khafifah Indar Parawansa, saat memberikan sambutan, sedikit bercerita ihwal kajian tafsir yang ia inisiasi dan, insya Allah, akan rutin terselenggara satu bulan dua kali. Pembukaan luring, ke depan secara daring. Inisiasi ini bermula pada Februari 2022 silam, ketika Bu Khafifah bersama Kiai Fahrur Razi mengunjungi Syekh Fadhil. Dalam kesempatan itu, Bu Khafifah menerima hadiah enam jilid buku terjemahan kitab Tafsir al-Jailani dari Syekh Fadhil.
Setelah membaca beberapa kali buku tersebut, Bu Khafifah takjub walaupun kelimpungan memahami uraian tafsir sufistik ala Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Hal ini mendorong Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU ini googling, penasaran bagaimana sejarah kitab Tafsir al-Jailani. Cerita Bu Khafifah dalam sambutan sepuluhan menitnya itu membikin kawan saya, Arif, takjub dan merinding mengetahui kisah Tafsir a-Jailani.
Sejak tahun 1977 sampai tahun 2002, Syekh Fadhil memulai perjalan panjang “memburu” 14 manuskrip karangan Syekh Abdul Qadir yang hilang. Perburuan panjang ini akhirnya mengantarkan Syekh Fadhil bertandang ke Italia, Vatikan, diantar salah seorang kolega di sana.
Sesampainya di sana, di tengah pemeriksaan, petugas imigrasi menanyakan tujuan Syekh Fadhil mengunjungi Vatikan. Dengan terus terang beliau menjawab, “Saya hendak mencari naskah-naskah karangan kakek buyut saya di Perpustakaan Vatikan.”
Dalam bayangan saya, petugas imigrasi itu tentu saja bukan beragama Islam. Katholik, dugaan saya. Meski begitu, tanpa disangka-sangka, petugas imigran itu lalu berdiri, menunjukkan gestur penghormatan tulus. “Ya! Ya! Sang Filosof Islam! Syekh Abdul Qadir al-Jailani!”
Perpustakaan Vatikan, yang berdiri sejak tahun 1475, menampung lebih dari 1,6 juta buku, 75.000 manuskrip, dan 8600 incunabula (buku yang dicetak sebelum tahun 1501). Di antara itu semuanya, ternyata salah satunya adalah manuskrip Tafsir al-Jailaniy.
Mengetahui ini, perasaan saya sedikit tidak terima sekaligus berterima kasih. Tidak terima sebab ternyata alih-alih generasi muslim yang menjaga dan memelihara naskah-naskah ulama malah “orang lain” yang mengerjakan tugas mulia tersebut. Duh, andai pada 1258 Baghdad tidak dihancurkan Mongol atau minimal tidak ada bibliosida terhadap perpustakaan Baitul Hikmah, tentu saja karangan-karangan Syekh Abdul al-Jailaniy (w. 1166) masih terawat dengan baik. Saya benci semua bibliosida, termasuk yang pernah dilakukan Orba, atau terhadap Ohara. Tapi bagaimanapun, saya berterima kasih kepada Vatikan.
Kembali ke awal. Tidak hanya menerima sambutan baik, Syekh Fadhil bahkan mendapati manusrip kakek buyutnya itu didokumentasikan dan diarsip dengan baik. Di Perpustakaan Vatikan, ia jumpai kategorisasi manuskrip Syekh Abdul Qadir al-Jailani seara khusus. Diberi katalog tersendiri dengan nama, dalam bahasa Itali, Filosof Interdisipliner Muslim yang menguasai 13 Ilmu. Tidak heran jika gelar Sulthan al-Auliya’ disematkan pada sosok Syekh Abdul Qadir al-Jailani: jadi raja para wali berarti tanda puncak keilmuan seorang manusia.
Tafsir Jailani: Mahakarya Tafsir Sufistik
Seusai mentahqiq naskah kitab Tafsir Jailani, Syekh Fadhil yakin dan percaya diri untuk memperkenalkan kitab kakek buyutnya itu sebagai tafsir sufistik yang tidak ada tandingannya di dunia. Beberapa ulama sempat meragukan statemen ini, termasuk Syekh Ahmad Thayyib dan Syekh ‘Ali Jum’ah. Namun, setelah disuruh membuktikannya sendiri dengan membaca langsung kitab Tafsir al-Jailani, dua pembesar ulama Islam kontemporer ini akhirnya setuju dengan penilaian Syekh Fadhil. Secara singkat, berikut saya rangkum alasan mengapa Tafsir al-Jailani begitu bernilai:
Pertama, pada tiap-tiap basmalah di awal surat, dari surat pertama al-Fatihah hingga surat terakhir al-Nas, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menguraikan tafsir yang berbeda bagi arti di balik basmalah masing-masing. Tampaknya, dugaan saya, Syekh Abdul Qadir termasuk ulama yang berpendapat bahwa basmalah pada setiap awal surat adalah termasuk surat tersebut. Jika tidak demikian, bagaimana bisa kata basmalah punya tafsir di baliknya sementara fungsinya hanya sebagai “pembatas” antara surat-surat di dalam al-Quran? (Koreksi saya jika asumsi ini salah)
Kedua, Syekh Abdul Qadir al-Jailani sebelum mulai menafsirkan sebuah surat al-Quran, selalu menuliskan pula pengantar untuk surat tersebut. Mukadimah ini penting demi mengetahui benang merah dari kandungan isi sebuah surat.
Ketiga, dan ini yang paling keren menurut saya, Syekh Abdul Qadir mengelaborasi tafsir sufistiknya dengan perangkat usul fikih. Tafsir al-Jailani bukan hanya berpedoman pada metode penafsiran klasik; tafsir al-Qur’an bi al-Quran aw bi al-Hadits, melainkan mengikutkan pula kaidah-kaidah Usul Fikih.
Misalnya, seperti dikatakan Syekh Fadhil, ketika tafsir mainstream mengatakan bahwa yang dimaksud surat al-Fatihah dalam frasa ayat al-maghdub ‘alaihim adalah (oknum) Yahudi dan bahwa al-dlallin adalah (oknum) Nasrani, Tafsir al-Jailani menyebut bahwa kedua frasa tersebut mesti tetap dimaknai secara umum (general). Tiap-tiap akidah yang batil, tidak hanya agama Yahudi tapi juga agama-agama lain seperti agama Majusi bahkan kelompok sempalan Islam, adalah termuat pula dalam frasa al-maghdlub bi ‘alaihim. Demikian juga, seluruh penghayatan agama yang sesat dan hilang arah adalah terkandung dalam frasa al-dlallin. Penafsiran semacam ini selaras dengan kaidah usul fikih,
العَامُ يَبْقَي عَلَى عُمُوْمِهِ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَخْصِيْصِهِ
“Kalimat yang general harus tetap diartikan umum selagi belum ada dalil spesifik yang mengkhususkannya.”
Pengajian Tafsir Jailani dapat ditonton ulang melalui pranala berikut:
Kajian Tafsir Al Jailani – Syeikh Prof. Dr. Muhammad Fadhil Al Jailani | 19 Juli 2024