Sedang Membaca
Tunas GUSDURian (5): Gus Dur, Cadar, dan Cinta
Avatar
Penulis Kolom

Penggerak Komunitas GUSDURian Makassar.

Tunas GUSDURian (5): Gus Dur, Cadar, dan Cinta

Whatsapp Image 2020 12 16 At 01.13.16

Belum pernah terpikirkan bagi saya untuk bergabung dengan Komunitas GUSDURian. Apalagi di tengah kesibukan perkuliahan yang tiada habisnya. Sampai suatu hari, ajakan senior, sekaligus Koordinator GUSDURian Makassar saat itu, Kak Fadlan L. Nasurung memantik keinginan tersebut. Tak perlu pikir panjang, ajakan itu saya terima, hingga resmi mengikuti Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) pada 2-3 Desember 2020.

Selama KPG berlangsung, saya banyak menemukan pelajaran baru yang membuat saya lebih terbuka akan apa yang belum saya ketahui selama ini, salah satu ya sosok KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur yang penuh kharisma itu..

Keberadaan saya dalam kegiatan Komunitas GUSDURian Makassar saat ini sangat mempesona bagi diri saya pribadi. Bagaimana tidak, saya merasa diterima begitu baik, tanpa melihat perbedaan yang begitu mencolok: busana cadar yang saya kenakan. Saya sama sekali tidak mendapat pandangan aneh maupun diskriminasi, malahan yang saya dapati adalah apresiasi teman-teman penggerak yang tidak elergi dengan balutan cadar saya. Mereka, sekalipun ada yang berbeda mazhab dalam Islam dan berbeda agama, melihat saya bukan dari sisi luar, namun mau memandang dan menerima apa yang ada dalam pikiran saya dan merangkul bahwa saya ada.

Dalam pengalaman mengesankan ini, saya banyak belajar suatu hal yang baru dari luar diri saya. Saya memandang beragam hal melalui melalui kacamata Gus Dur.

Baca juga:  Inggit Ganarsih, Perempuan di Samping Soekarno

Sosok Gus Dur mencita-citakan umat Islam Indonesia yang berpandangan luas dan terbuka. Melalui kegiatan KPG, saya dan teman-teman bagai mendapat asupan vitamin cinta yang memberikan sensasi dopamin atau rasa Bahagia, kala mendengarkan berbagai gagasan beliau yang begitu membumi, ketika dibawakan oleh murid-muridnya. Saya tergagum akan beliau yang memuliakan sesama manusia.

Bagi saya, inti sari dari sosok Gus Dur adalah pengabdiannya kepada kemanusiaan, yang selalu memandang manusia semuanya sama tanpa membeda-bedakan dari sisi manapun. Walau tak mudah memahaminya secara gamblang nilai, pemikiran, dan keteladanan beliau. Namun itulah karisma yang ia miliki, selalu ada makna di balik sikapnya tersebut. Sepanjang perjalanan hidupnya ia menaburkan cinta pada alam semesta. Dalam kegiatan KPG juga, saya menyadari kenyataan bahwa arti dari sebuah cinta yaitu perbedaan yang menyatukan, Gus Dur mengkampanyekan nilai-nilai keberagaman secara damai dengan penuh cinta.

Barangkali Gus Dur terinspirasi dari syair seorang sufi besar, Muhyiddin Ibnu Arabi yang berkata “Aku mengikuti agama Cinta, kemanapun cinta membawaku di sanalah agama dan imanku.”

Belajar dari Gus dur saya teringat kutipan ayat suci Al-Qur’an: Surah Al- Maida 5: 48

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap, pemberian- Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”

Baca juga:  Bertoleransi, Mengingat Perjanjian Luhur "Pela Gandong" di Maluku

Ayat di atas sangat selaras dengan perkataan Gus Dur bahwa perbedaan itu fitrah dan ia harus di letakkan dalam prinsip kemanusiaan universal. Dan terus berbuat baik pada siapapun dan dimanapun.

Keteladanan Gusdur membuat saya mengingat kutipan perkataan orang-orang bijak “Kalau kita sering melihat sesuatu dari posisi sesuatu itu di depan kita maka sangat sempit hidup ini, Tapi kalau kita ingin melihat keindahan maka naik lah ke gunung yang tinggi maka akan terlihat keindahan kehidupan Karena kita melihatnya dari semua sisi.”

Berkat perkenalan dengan Gus Dur di GUSDURian, saya tak akan merasa minder dengan apa yang saya kenakan. Sebab bagaimanapun, pada akhirnya orang akan memandang akhlak, bukan tampilan. Hubungan baik saya dengan teman-teman lintas agama merupakan cara saya untuk menyampaikan bahwa Islam sejatinya agama yang ramah dan damai, serta tentu saja, cadar bukanlah simbol dari radikalisme ataupun terorisme. Meski cadar menutup wajah saya, pikiran saya akan selalu terbuka untuk menerima perbedaan.

Menutup tulisan ini, saya mengajak kita untuk merawat apa yang telah Gus Dur wariskan, saatnya kita melanjutkan.

Reski Amalia, Penggerak Komunitas GUSDURian Makassar

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top