Nihâyatus Sûl dan Al-Isnawî mungkin merupakan dua nama yang kurang begitu familiar pada sebagin kalangan santri. Ketenarannya, di Indonesia, tidak se-masyhur nama Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Syekh Zakaria al-Anshâri dan lainnya. Lantas, apa dan siapakah kedua nama tersebut?
Al-Imam Jamaluddin al-Isnawî merupakan ulama abad ke-delapan, wafat 772 H. Salah satu ulama produktif di masa itu. Ulama yang membidangi beberapa ilmu, Usûl fikih, Fikih, Takhrijil furu’ ala al-usûl, gramatika bahasa, telah melahirkan beberapa karya penting dalam masing-masing fan-nya. Salah satu karya besarnya adalah Nihâyatus Sûl.
Nihâyatus Sûl adalah satu kitab yang membahas tentang Usûl fikih. Ia merupakan kitab syarah (penjelasan) bagi kitab Minhâjul Usul, karya Qadhi al-Baidhawi (w. 685 H). Sebelumnya, Minhajul Usûl adalah kitab usûl ber-tarîqah mutakallimin. Ia adalah cucu kandung dari madrasah Ar-Râzî dari kitabnya Al-Mahsul. Al-Mahsul menelurkan kitab Al-Hasil dan kitab At-Tahsil, masing-masing karya Tajuddin al-Armawi (w. 653 H) dan Sirajuddin al-Armawi (w. 682 H). Dari kedua karya ini, serta Al-Mahsul, Imam Al-Baidowi meringkas hingga menjadi Minhâjul Usûl. Kemudian kitab ini di syarah oleh banyak ulama. Salah satunya adalah Al-Isnawî, dalam karyanya Nihâyatus Sûl.
Al-Isnawî, dalam kitabnya, Nihâyatus Sûl, sebagaimana matan-nya, Minhajul Usûl, membaginya menjadi Muqaddimât dan tujuh kitab. Muaqaddimât ini terdiri dari dua bab. Pertama, bab definisi hukum, pembagian hukum serta ahkâmul hukmi. Bab kedua membahas seputar hal-hal yang terkait dengan hukum. Hal-hal ini mencakup Hakim (Dzat yang memberi hukum), orang yang terkena hukum, serta pekerjaan yang memiliki hukum.
Adapun tujuh kitab tersebut adalah sebagai berikut: (I) Al-Kitab, ia membahas tentang hujjiyyah Al-kitab, pembahasan seputar bahasa dan lain-lain. (II) As-Sunnah, disini dibahas tentang hujjiyyah, serta macam-macam as-Sunnah. (III) Pembahasan tentang Al-Ijma’. (IV) Pembahasan seputar Al-Qias. (V) Al-Adillah al-muhtalaf fiha (dalil-dalil universal yang diperdebatkan). Dalam kitab kelima ini, Al-Isnawî membagi menjadi dua bagian, dalil yang bisa diterima dan dalil yang ditolak. (VI) Pertentangan dan cara memenangkannya. Dan terakhir (VII) seputar ijtihad.
Dari beberapa ulama masa kini, penulis mendapat keterangan bahwa Nihâyatus Sûl merupakan kitab syarah terbaik bagi Minhâjul Usûl. Lantas, apa yang mendasari pendapat tersebut?
Minhâjul Usûl, sebagai satu kitab matan, memiliki banyak sekali kitab penjelas. Keberadaannya yang sangat ringkas, menuntut untuk dibuatkan penjelasan, sebagai satu karya tersendiri. Bagi pelajar ilmu agama, ketika membaca buku ini tanpa kitab penjelas, maka dapat dipastikan tidak akan paham. Tidak mengherankan memang, melihat kitab ini, disamping sangat ringkas, ia juga sangat padat serta banyak sekali kata yang tersembunyi. Atas dasar ini maka banyak sekali ulama yang kemudian men-syarah kitab ini.
Beberapa nama kitab syarah terhadap Minhâjul Usûl antara lain adalah: Al-Ibhâj fi Syarhil Minhaj, karya Taqiyuddin as-Subki (w. 756 H), Mi’rajul Minhâj, karya Samsuddin al-Jazârî (w. 711 H), Mi’rajul Usûl, karya Ibnu Abi Bakar al-Îkî (w. 697 H), Nihâyatus Sûl serta masih sangat banyak kitab-kitab yang lain.
Dari nama-nama yang ada, Nihâyatus Sûl merupakan karya penjelas yang cukup lebar. Ia tercetak dalam dua jilid. Berbeda dengan sebagian nama-nama yang disebut, mereka hanya terdiri dari satu jilid. Disamping itu, Al-Isnawî, sebagai pengarang kitab penjelas (syarah), selain ia menjelaskan apa yang dimaksud oleh kitab matan, ia juga tak jarang mengkritiknya. Banyak pernyataan Al-Isnawî yang justru mempertanyakan argumentasi pengarang matan, Al-Baidhawi.
Bahkan tidak hanya sampai disitu, kerap kali pertanyaan itu justru tidak dijawab oleh Al-Isnawî. Kemungkinannya ada dua: Pertama, Al-Isnawî memang tidak sependapat dengan argumen Al-Baidowi, pengarang matan, sehingga dibiarkan begitu saja tanda tanya yang ada, tanpa sebuah jawaban. Kedua, Al-Isnawî sengaja meninggalkan tanda tanya tanpa jawaban agar pembaca merenungkannya.
Dari kedua kemungkinan yang ada, penulis lebih condong pada kemungkinan pertama. Hal itu dikarenakan ketika Al-Isnawî memiliki kemungkinan jawaban, ia tidak ragu untuk menyampaikannya. Penyampaian itu bahkan beberapa kali terkesan menyudutkan Al-Baidhawi. Beberapa kali juga Al-Isnawî mempertanyakan konsistensi pernyataan Al-Baidhawi.
Dari sini bisa disimpulkan sikap obyektif Al-Isnawî dalam memberikan penjelasan terhadap kitab Al-Baidhawi, Minhâjul Usûl. Ia tidak hanya taslim dan membenarkan apa yang disampaikan dalam matan. Justru, pandangan pribadi penulis, langkah kritik ini lah yang menjadi salah satu alasan kenapa Nihâyatus Sûl dikatakan sebagai karya terbaik dalam menjelaskan karya Al-Baidhawi.
Terkait kritikan Al-Isnawî terhadap Al-Baidhawi, sejauh ini telah ada yang mencoba menjawabnya. Salah satu kitab yang menjawab kritikan ini adalah Syeh Abu Nur Zuhair dalam karyanya Usûl al-Fikhi. Disana hampir semua kritikan yang terlontar kepada Al-Baidhawi dijawab. Maka, alangkah baiknya ketika membaca Minhâjul Usûl, pembaca juga membaca Nihâyat as-Sûl. Agar tidak kepalang tanggung, sediakan juga Usûl al-Fikhi karya Syeh Abu Nur Zuhair.