Secara tauhid dan tasawuf, i’timad itu manunggal soko yaitu hanya pada Allah, bukan pada amal atau benda.
Nabi Musa punya satu keistimewaan yang hanya dia yang punya. Terjuluk kalimullah sebab ia langsung disabda Allah tanpa perantara Jibril. Konon, sebagaimana dinukil oleh Syekh Nawawi al-Jawi dalam Nuruzh Zhalam dalam syarah bait kesembilan, setelah
Kalimullah itu usai munajat di gunung Sinai, ia menyumpal telinganya supaya tak mendengar suara sumbang makhluk di persada ini. Setelah ia disabda Allah mendengarkan kalamNya itu, suara makhluk menjadi amat sumbang di telinganya. Bahkan redaksi di nukilah Syekh Nawawi “ka aqbahi ma yakuun min ashwatil bahaim/seperti suara-suara hewan yang paling buruk,”. Ia tak lagi kuat mendengar buruknya suara-suara makhluk setelah mencecap kelezatan kalam Allah.
Setelah peristiwa tersebut, ia bisa mendengar suara bagian terkecil dari bumi ini. Dalam redaksinya dikatakan “ia bisa mendengar suara gerak semut hitam di malam pekat sejauh perjalanan sepuluh farsakh!”
Suatu hari saudara Nabi Harun itu sakit gigi, mengadu pada Allah langsung. Karena ia kalimullah, jawaban Allah tak perlu lewat Jibril. Isinya ia diperintahkan mengambil daun yang telah disebut dan diletakkan di gigi. Mendapati arahan itu, ia bergegas mencari daun dari pohon yang dimaksud, lalu meletakkan di gigi, dan berkat Allah, saat itu juga, sembuh.
Beberapa hari kemudian sakitnya kambuh lagi. Kali ini, ia tak lagi mengaduh pada Allah, tapi ia langsung bergegas mencari daun dari pohon yang kapan hari dipakai. Kali ini tak sembuh. Tapi malah tambah sakit tak karuan. Barulah salah satu nabi Bani Israil itu mengaduh pada Allah dan meminta pertolongan. “Ya Allah, bukankah Engkau yang telah memerintahkan juga menunjukkanku soal obat itu?”
“Musa, Akulah Yang Maha Menyembuhkan, Aku Maha Memberi Sakit, Aku Maha Memberi Manfaat. Di kejadian pertama engkau i’timad padaku, sedang di kali kedua engkau tak bergantung padaku, justru malah bergantung pada daun!”