Beberapa mingu yang lalu, saya kebetulan diminta oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) untuk mewawancarai seorang napi teroris (sebut saja si Fulan) di sebuah Lapas di Jombang. Tujuannya adalah mendalami sejauh mana sang napi ini masih teracuni oleh pikiran-pikiran radikal, mengingat beberapa bulan lagi akan bebas dan kembali ke rumahnya.
Proses wawancara berlangsung sangat santai, tidak ada kesan wawancara. Semua berjalan seperti bincang-bincang santai layaknya teman akrab yang lama tak pernah bersua.
“Bagaimana kondisi Anda, sehat?” saya mengawali perkenalan dengannya. Si Fulan menjawab dengan penuh senyum: “Alhamdulillah, sehat.” Saya pun melanjutkan obrolan, “Apa yang Anda rasakan selama di tempat ini?”. “Tidak ada masalah. Semua orang di sini baik-baik,” jawabnya enteng.
Saya melanjutkan obrolan santai, hingga si Fulan menceritakan kenapa ia harus mendekam dalam jeruji-jeruji besi penjara yang begitu kokoh. Dia sangat fasih, menceritakan semuanya, dari A sampai Z. Saya menyimaknya dengan penuh khidmat. Karena, siapa tahu dari penggalan-penggalan cerita itu saya bisa mengambil ibrah dari perjalanan sebuah kehidupan.
Sampailah obrolan pada masalah khilafah islamiyah. Menurut si Fulan, khilafah islamiyah harus ditegakkan karena dengannya kehidupan ini bisa menjadi tegak; tidak akan ada lagi kemunkaran; dan bahkan kemajuan islam akan dapat dicapai.
Di tengah serunya perbincangan mengenai khilafah islamiyah, saya menyelah si Fulan. “Adakah dalil al-Qur’an yang memerintahkan pendirian khilafah islamiyah?”, tanya saya.
Si Fulan yang usianya masih sangat muda, sekitar 25-an tahun, itu pun menyitir ayat 30 dari surat al-Baqarah: “Dan ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, sesungguhnya Aku menjadikan di muka bumi seorang khalifah.” Dia memahami kata “khalifah” dengan “khilafah”. Dan itu dia katakan dengan begitu sangat yakin.
Saya terus mengikuti alur penjelasan laki-laki ini, hingga dia mengakhiri penjelasannya. Saya pun bertanya dengan enteng, “Memang, kata “khalifah” itu artinya “khilafah”?”. “Iya”, jawabnya penuh keyakinan.
Saya semakin tertarik padanya. Maka, saya pun bertanya balik “Memang Anda tahu asal-usul kata “khilafah”? Dari akar kata apa?”. Si Fulan diam seribu bahasa. Dia menggelengkan kepala tanda kalau tidak tahu.
Saya terus mengajak si Fulan itu untuk menceritakan tentang darimana ia mendapat pemahaman bahwa kata “khalifah” memiliki arti “khilafah”. Menurutnya, ia mendapatkan pemahaman seperti itu dari ustad-ustad yang sering didatangi di masjid-masjid dan majlis-majlis. “Ooooohhh….”, saya bergumam dalam hati.
Sampai di sini, saya menyimpulkan bahwa si Fulan yang satu ini tidak memiliki basic keilmuan agama yang kuat; dia juga tidak paham bahasa Arab sebagai pondasi untuk memahami teks-teks agama Islam. Saya tidak menyalahkannya. Saya hanya memakluminya.
Saya pun akhirnya ikut nimbrung dalam obrolan ini dengan menjelaskan sedikit tentang makna kata “khalifah” yang terdapat dalam QS al-Baqarah: 30. Saya juga menjelaskannya dari aspek asal-usul kata itu dan berbagai bentuk derivatnya. Namun demikian, saya juga tidak berambisi kepadanya untuk mengakhiri pemahaman keagamaannya yang begitu radikal. Karena, memang kapasitas saya saat berbincang-bincang dengan si Fulan hanya sebatas menjajaki sejauhmana tingkat keradikalan pemahaman keislaman; apakah sudah berubah atau malah semakin mengeras? Lebih-lebih, sebelum saya bertemu dengannya, salah satu sumber di lokasi memberitahu bahwa si Fulan yang satu ini sangat bersikukuh dengan paham khilafah islamiyah.
Mengakhiri penjelasan saya tentang makna kata “khalifah” dan “khilafah”, saya pun mengatakan, “Mas, saya ini pernah nyantri beberapa tahun. Jadi, sedikit saya agak paham bahasa Arab. Saya tidak menemukan makna khalifah dan khilafah yang seperti Anda katakan. Dan itu bisa dicek di berbagari kitab tafsir.”
“Mas, apakah Anda pernah menelusuri makna kata-kata itu dalam kitab-kitab berbahasa Arab?” Tanya saya kepada si Fulan itu. Dia tidak menjawab, hanya mengeleng-gelengkan kepala.
Seorang petugas Lapas mendekat dan mempersilahkan saya dan si Fulan untuk menikmati makanan ringan yang sudah disiapkan di atas meja. Kami berdua sama-sama mencicipi potongan roti lapis. Tak lama kemudian, kami berdua meneguk air mineral yang dari tadi diam menyimak manis obrolan.
“Apa yang menyebabkan Mas menjadi enjoy di lapas ini? Bukankah Mas tadi mengatakan begitu?”, tanya saya setelah menyantap sepotong roti. “Saya merasa enjoy di sini karena semua orang baik-baik saja. Tidak ada yang mengganggu antara satu sama lain. Semua berjalan dengan baik,” jelasnya.
Kemudian saya mencoba untuk menghubungkan keadaan enjoy yang dijalani si Fulan selama di Lapas dengan pikiran Imam al-Mawardi. “Mas, tahu Imam al-Mawardi? Pernah baca kitab-kitabnya?” Tanya saya kepadanya. “Tidak”, jawabnya singkat.
Saya ceritakan kepadanya bahwa Imam al-Mawardi dalam kitabnya Adab al-Dunya wa al-Din menjelaskan, ada tiga hal yang bisa menjadikan kehidupan ini berjalan dengan baik. Yaitu, jiwa-jiwa yang taat (nafs muthi’ah), rasa cinta-kasih yang lahir dari lubuk hati, dan meteri yang cukup.
“Bahwa untuk menjaga keberlangsungan hidup ini, kita tidak bisa mengandalkan pada ajaran agama saja. Tetapi, butuh pada orang-orang yang bisa menjalankan tatanan nilai agama. Tidak cukup hanya itu. Pribadi-pribadi yang taat juga harus didukung dengan lahirnya rasa saling mengasihi-mencintai antar sesama. Bisa saja orang itu memiliki jiwa yang patuh, tetapi dalam dirinya tidak tumbuh rasa saling mencintai. Orang seperti ini akan tumbuh menjadi orang-orang yang individualis. Nah, ada lagi hal ketiga yang juga penting, yaitu materi atau harta yang cukup. Orang bisa hidup taat dan dipenuhi cinta-kasih, tetapi jika tidak ditopang dengan harta secukupnya maka kehidupannya tidak akan bisa stabil. Jadi, tiga hal ini menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan,” saya menjelaskan kepada si Fulan itu. Dan dia pun hanya diam saja.
“Mas, coba Anda rasakan apa yang dikatakan Imam al-Mawardi ini dengan kehidupan yang Anda rasakan di sini. Bukankah Anda merasakan di sini semuanya enjoy-enjoy saja? Anda bisa bayangkan bagaimana seandainya di lingkungan kehidupan Anda ada sosok-sosok yang tidak taat, yang tidak ada rasa cinta-kasih, dan yang tidak memiliki materi sama sekali. Pasti, satu sama lain akan terganggu. Bagaimana kehidupan di sekeliling kita bisa berjalan dengan baik?” saya menambahi penjelasan.
Si Fulan tampak seperti orang gelisah. Sorot matanya setengah kosong tetapi ia tampak sedang menyimpan sesuatu dalam pikirannya. Kedua tangannya meremas-remas rambut kepalanya. “Pak, berarti pemahaman saya selama ini bengkok?” tanya si Fulan dengan nada rendah dan penuh ragu.
Sontak saya kaget atas pertanyaan itu. Saya tidak percaya jika si Fulan ini begitu secara tiba-tiba menyadari “kebengkokan” pemahaman keagamaannya. Saya masih ingat betul penjelasan salah satu petugas Lapas kalau si Fulan yang satu ini masih sangat kekeh dengan keyakinan dan pemahaman keagamaannya yang radikal. Ucapan yang bernada pertanyaan itu bagaikan gunung es yang secara tiba-tiba runtuh tanpa sebab.
Sebenarnya, dalam hati saya merasa senang bahwa si Fulan ini sudah mulai menyadari kesalahannya. Dan saya berharap dia bisa kembali menerima pemahaman keagamaan yang biasa-biasa saja, yang ramah dengan orang lain, tanpa menuduh orang lain kafir jika berbeda pandangan keagamaan dengannya.
Saya berharap semoga kebesaran sosok Imam al-Mawardi menjadi moment perjumpaan imajiner dengan si Fulan ini, yang membuat si Fulan benar-benar menyadari kesalahan pemahaman keagamaannya yang radikal. Semua itu karena berkah dari perjumpaan imajiner dengan Imam al-Mawardi.