Pernah terjadi kasus pencurian di asrama santri di Latee (nama salah satu komplek/blok tanah di lingkungan Annuqayah, tempat kediaman Kiai Ahmad Basyir Abdullah Sajjad) yang akhirnya justru melibatkan banyak orang luar. Seorang santri diduga mencuri barang milik temannya.
Pengurus menginterogasi dan mengajukan bukti-bukti hingga akhirnya sangkaan berubah menjadi dakwaan.
Entah mengapa, pihak keluarga santri tertuduh tidak terima. Boleh jadi karena perlakuan pengurus terhadap si santri atau karena pelencengan laporan si santri kepada sanak kerabatnya, atau boleh jadi karena ada unsur yang lain.
Singkat cerita, keluarga besar dan sanak kerabat santri tersebut ‘ngelurug’ pesantren, tepatnya ngelurug kiai. Mereka datang berbondong-bondong. Di Madura, cara ini disebut ‘nompo’ (kadang dibaca “nompoh” karena pelafalan aksentuatif).
Di zaman sekarang, ia disebut demo. Namun, ‘nompo’ berbeda dengan demo. Untuk ‘nompo’, seseorang tidak akan datang hanya dengan modal tangan kosong atau hanya sekadar membawa batu dan pentungan. ‘Nompo’ identik dengan rencana penyerbuan dengan persiapan senjata tajam, seperti celurit dan pisau.
Di masa itu, mungkin masa awal-awal tahun 1980-an, orang yang kesehariannya membawa ‘sikep’ (senjata tajam yang diselipkan di balik pakaian, biasanya berupa golok dan pisau) merupakan pemandangan yang lazim ditemukan di Madura, lebih-lebih jika mereka berjalan di malam hari atau pergi ke tempat yang jauh. Saat ini pun hal itu masih berlangsung, namun sudah tidak sebanyak dulu. Apalagi karena mereka memang hendak ‘nompo’, maka sudah jelas orang-orang yang akan menghadap Kiai Basyir ini telah siap lahir dan batin.
Sementara yang lain menunggu di luar, seorang perwakilan mereka masuk ke dalam. Akan tetapi, tak lama kemudian, yang terdengar bukanlah suara nan lantang tanda amarah, melainkan justru suara orang merintih dan meminta maaf.
“Nyo’on sapora, Keae… Abdina nyo’on sapora, cangkolang…” (minta maaf, Kiai, saya minta maaf).
Orang yang tadi masuk, kini telah keluar. Sanak kerabat yang sedari tadi menunggu dengan tegang kini berubah air mukanya, antara heran dan gentar.
Bagaimana pun, orang yang tadi masuk adalah juru bicara mereka, tameng mereka, yang paling tatag di antaranya, tapi mengapa kok jadi begini rupa? Begitulah mereka bertanya-tanya.
“Adu… poko’na enjha’! Sengko’ ta’ kowat manjeng, ango’ nyongkolla berras sagintal,” (Aduh, pokoknya tidak! Aku enggak mampu berdiri, mending menyunggi beras 1 kuintal), kata orang tadi sembari menggerutu, keluar dari kediaman kiai.
***
Kisah ini saya dengar dari Ali Khazin, salah satu cucu mendiang Kiai Basyir dengan sanad yang bersambung kepada Kiai Basyir dan tanpa adanya sedikit pun keraguan adanya pemalsuan pada penutur.
Saya juga mendengar cerita yang amat sangat mirip dengan kisah di atas tapi dengan sedikit perbedaan, waktu, lokasi, dan tokoh-tokohnya. Kejadiannya baru-baru ini, baru beberapa tahun terakhir.
Adapun kisah di atas sudah lama sekali terjadi, yakni pada masa—mengutip istilah Lora Ali Khazin yang mengutip ucapan Kiai Basyir—“Gi’ neng dhajana langgar ngangguy pagar tabing” (yaitu pada masa di sebelah utara langgar masih menggunakan pagar dari gedek).
Dengan begitu, kisah seperti ini (ngelurug), atau yang mirip dengannya, dalam sementara kesimpulan saya memang tidak hanya terjadi satu kali saja.
Menurut Ali Khazin, itu memang salah satu keistimewaan Kiai Basyir yang muncul saat-saat genting, semisal ketika ada orang yang nekat melabrak padahal statusnya memang bersalah.
“Jangankan sampe ngomong, mau tegak saja tak mampu. Lututnya serasa mau copot…” tuturnya seraya tertawa.
Saya sampaikan cerita karomah Kiai Basyir ke publik sekarang ini, karena beliau telah pergi meninggalkan kita. Kiai Basyir telah bebas dari segala ujub dan riya.
Walahul Fatihah…