Kata sahibulhikayat, tahun 1555, Duarte D’Eça, komandan benteng di Ternate yang tamak dan berpikiran pendek, memutuskan untuk merampas hasil panen cengkih tahunan dari Pulau Makian, yang secara tradisional biasanya diperuntukkan bagi penguasa Ternate dan Tidore. Sultan Ternate, Hairun pun protes, tetapi serta-merta dia dan seluruh keluarganya juga menteri-menterinya dipenjarakan.
Tindakan ini mengakibatkan ketidakpuasan di kalangan rakyat dan berujung pada serangkaian bentrokan. Di Maluku Utara, insiden ini mengakibatkan situasi yang ganjil, di mana D’Eça didukung oleh penguasa Jailolo dan Bacan, yang beragama Kristen, tetapi ditentang oleh orang sebangsanya sendiri yang kemudian berhasil membebaskan Hairun dan mengirim D’Eça sebagai tawanan kembali ke Goa.
Namun kejadian itu sudah terlambat. Menurut Dieter Bartels (2017: 567-70), kerusuhan pecah di mana-mana dan banyak umat kristiani pribumi dianiaya. Pada 1558, armada Ternate di bawah komando Kaicili Leliato berlayar ke Buru dan Ambon untuk memaksa masyarakat pribumi yang Kristen pindah ke agama Islam. Orang-orang Kristen di Buru segera mengikuti perintah Leliato.
Untuk memastikan mereka tidak berubah pikiran sepeninggalnya, dia memerintahkan kaum lelaki Katolik menikahi perempuan Muslim dan sebaliknya perempuan Katolik menikahi laki-laki muslim, lantas memerintahkan para “pengantin baru” itu hidup tersebar di kampung-kampung muslim.
Dalam rombongan Ternate turut serta dua pembelot Portugis, seorang di antaranya adalah bekas anggota ordo agama Katolik. Di Ambon, beberapa uli dan kampung beralih dari agama Kristen ke agama Islam dan membantu Leliato. Di antaranya Nusaniwe, Urimessing, dan Halong.
Kampung-kampung kristiani lainnya, terutama Kilang dan Hative, menentang keras serangan gencar Muslim. Pemimpin dalam perlawanan pertama –ketika beberapa kampung kristiani bergabung –adalah Manuel, kepala kampung Hative. Tatkala masih kanak-kanak, Manuel menyertai Fransiskus Xaverius dalam misinya di Maluku Tengah sebagai penerjemah, dan dia tumbuh menjadi seseorang yang sangat saleh.
Dalam pertempuran itu, orang-orang kristiani terakhir mundur sampai ke Kilang dan mereka dikepung oleh musuh-musuhnya. Selama dalam pengepungan Manuel juga harus menghadapi pemberontakan saudara ipar laki-lakinya dan beberapa orang Portugis yang hendak menyerah serta berencana membunuhnya. Terkesan oleh keteguhan iman Manuel, walaupun sudah menghadapi kematian, komplotan ini lalu berubah pikiran dan terus membantu untuk bertahan. Arkian, mereka diselamatkan pada 1561 oleh armada laut di bawah pimpinan António de Sá (Amal 2016).
Kekristenan dan kekuatan Portugis di Ambon berhasil selamat dari lubang jarung. Portugis segera bereaksi dengan menunjuk capitão pertama untuk Ambon tahun 1562, yang hanya bertanggung jawab kepada komandan benteng Portugis di Ternate. Capitão Ambon petama ini, António Paes sadar bahwa benteng permanen dari batu sangat diperlukan di Ambon, terutama pasca terjadinya pelbagai perselisihan.
Hairun lagi-lagi menolak memberikan izin pembangunan benteng itu dan gubernur Portugis di Ternate, Capitão Henrique de Sá, menyarankan Paes agar tidak melawan Hairun. Dia asan tak asan kalau kemauan itu tidak dipenuhi akan berakibat buruk bagi perdagangan rempah-rempah Portugis. Namun, Paes berhasil membentuk sebuah milisi Kristen –hal ihwal ini untuk pertama kali prajurit Ambon bergabung dengan tentara kolonial dan membangun reputasi sebagai tentara yang handal (Abdurachman 1974: 127).
Misi Katolik bangkit dengan cepat bahkan aktivitasnya meluas sampai ke Pulau Lease, yaitu Oma di Haruku (1561), Ullath di Saparua (1564), dan Titawaai di Nusalaut (pra 1563). Di Seram, Lisabata (1562) menjadi Kristen dan pengkristenan penting terjadi di daerah kekuasaan Hitu yang Islam, tatkala Lilibooi menjadi Kristen.
Akan tetapi kesulitan belum berakhir. Hairun kembali mengirim armada dan ketika De Sá memaksanya membatalkan pengiriman armada itu, tahun 1564 dia mengirimkan utusan khusus ke Ambon dengan dalih untuk menyelesaikan pertikaian dengan Paes. Utusan Hairun yang dipercaya penuh oleh Paes berhasil memikat Paes untuk memakan buah-buahan yang sebelumnya sudah diracun.
Kematian konyol Paes mengobarkan keberanian kaum muslim di berbagai tempat di Maluku Tengah. Baguala (Passo) dihancurkan dan banyak kampung kristiani lainnya dibumihanguskan hingga rata dengan tanah. Hative dan Nusaniwe juga diserang tapi kali ini Nusaniwe tetap memegang teguh agama Kristen sebagaimana Hative yang tidak pernah berpindah agama.
Di Pulau Saparua, Siri Sori menyerbu Ullath tetapi rajanya, yang ditawan, dengan teguh menolak meninggalkan agama Kristen meskipun disiksa.
Pasukan Hitu dengan kekuatan 2.000 laki-laki dan didukung 600 orang Jawa akhirnya berhasil dikalahkan pada 1567 oleh Gonçalo Pereira Marramaque, yang datang dengan 1000 pasukan dari Goa untuk membebaskan orang Portugis dan Ambon Kristen yang selama ini dikepung.
Akhirnya, Pereira berhasil membangun benteng dari batu pada 1569. Kemenangan Pereira ini juga mengakibatkan sejumlah negeri muslim berbalik memeluk Kristen titimangsa 1569-1570. Di antaranya Siri Sori Serani, Tuhaha, dan Ihamahu di Pulau Saparua dan Hutumuri di Pulau Ambon.