Sevilla, titimangsa 1364. Peter menyambut seorang tamu dari Granada di ruang resepsi Alcazar (gedung istananya) baru, yang didirikan di atas fondasi istana-istana benteng yang ditinggalkan Dinasti al-Muwahhid sewaktu mereka harus menyerahkan ibu kota itu satu abad sebelumnya, tahun 1248. Selama beratus-ratus tahun terakhir, orang-orang Kastilia sangat mencintai Seville dan telah menjadikan kota itu benar-benar sebagai milik mereka.
Mereka mengubah Masjid Raya yang mengagumkan –yang didirikan oleh Dinasti al-Muwahhid pada akhir abad ke-12–menjadi Gereja Katedral. Lalu mereka bersembahyang di dalamnya. Sama seperti yang dilakukan kaum muslim pendahulu mereka, Peter juga membuat jalan tembus pribadi di dalam Alcazar, tempat dia bekerja dan tinggal, ke tempat sembahyangnya di “Rumah Tuhan”.
Apakah Ibnu Khaldun mengikuti rombongan kerajaan melewati jalan tembus rahasia ke Katedral? Ataukah dia pergi melalui jalan masuk umum melewati kebun pohon jeruk yang memesona dengan pancuran air, yang berasal dari zaman Visigoth atau mungkin dari zaman Romawi, berada di tengah-tengahnya, yang bisa dipakai berwudhu? Hal yang jelas, tamu-tamu muslim akan menyaksikan bahwa Masjid Raya itu sekarang telah digunakan sebagai tempat sakral umat Kristen; suatu perihal yang lumrah.
Sampai satu abad setelah bangsa Kristen berkuasa –di beberapa tempat bahkan sampai dua abad–kebijakan dan praktik yang dijalankan raja-raja Kastilia adalah tidak melakukan perusakan terhadap peninggalan-peninggalan masyarakat muslim yang ada, tetapi menyesuaikan dan memberi tambahan sedikit saja. Masjid yang dibangun Dinasti al-Muwahhid di Sevilla kini diubah menjadi Gereja Raja Peter, sama seperti Masjid Raya di Kordoba yang diubah menjadi Katedral Alfonso X. Di Kordoba, pada paruh terakhir abad ke-13, Alfonso menyewa para ahli bangunan terbaik Mudejar (julukan bangsa Kristen bagi kaum muslim Andalusia) dengan upah selangit (Menocal 2002).
Para ahli bangunan muslim ini, yang pernah tinggal di Kordoba pada masa kekuasaan Kristen, membuatkan untuk Alfonso sebuah altar kecil dengan gaya estetika serasi dan juga sebuah ruang bawah tanah di dalam Masjid Raya Kordoba, yang merupakan masjid paling besar dari seluruh masjid raya di dunia Islam, dan Masjid Raya itu sendiri menjadi saksi bagi pelbagai budaya yang digantikan olehnya. Peninggalan-peninggalan masa lalu Islam ini bagi bangsa Kristen yang datang berikutnya adalah laiknya sebuah alas yang kemudian dibangun, dilapisi, dilanjutkan, dan dikembangkan.
Terdapat sebuah anekdot yang cukup bermakna, walaupun mungkin kesahihannya diragukan, tentang orang-orang Kastilia yang berhasil memegang kendali atas sebagian besar wilayah di Semenanjung Andalusia sepanjang abad ke-13. Orang-orang ini adalah nenek moyang Peter sendiri, baik dari segi budaya maupun visi intelektualnya. Alkisah, Alfonso X, yang saat itu belum lagi memegang tampuk kerajaan, melainkan masih menjadi pemimpin pasukan kerajaan ayahnya, Ferdinand III, mendengar bahwa rakyat muslim Sevilla yang merampang dan panik, yaitu mereka yang tetap tinggal di Sevilla tatkala orang-orang al-Muwahhid melarikan diri karena kalah, mengancam akan menumbangkan menara masjid tinimbang membiarkannya dimiliki oleh bangsa Kristen yang baru merebut kekuasaan.
Diceritakan bahwa Alfonso berusaha mencegah tindakan mereka dengan mengancam bahwa dia akan membunuhi orang-orang muslim yang saleh di Sevilla jika kelompok muslim itu mencoba melakukan tindakan perusakan. Alhasil, Masjid Raya Sevilla terselamatkan, baik menara maupun semua bagiannya, dan masjid inilah yang di kemudian hari menjadi tempat Peter melakukan kebaktian. (Hampir dipastikan bahwa di tempat ini pulalah Alfonso mendengar misa terakhirnya lantaran dia mati terkepung di Sevilla).
Masjid Raya yang mengagumkan menempati ruang yang sama luasnya dengan yang digunakan Katedral kiwari, yang merupakan Katedral Goth terbesar di dunia, yang didirikan pada abad ke-15 di atas fondasi masjid pasca masjidnya diluluh-lantahkan. Namun, seolah-olah masih takut dengan ancaman Alfonso, rakyat Sevilla masih tetap membiarkan –meskipun ada sejumlah perubahan dan penambahan–menara masjid yang tersohor itu, yang kini dinamakan dengan “la Giralda”, yang dijadikan sebagai menara lonceng Katedral dan menjadi salah satu objek wisata utama Sevilla (Menocal 2002).
Sejumlah besar istana lama yang ditinggalkan kaum al-Muwahhid lebih dari seratus tahun silam benar-benar dalam keadaan tidak terawat sampai ketika Peter datang kemudian memperbaiki bangunannya, atau mengubahnya di sana-sini dan membangun fondasi yang lama dan tembok-tembok bagian luar. Walaupun begitu, Peter membangun sebagian besar komplek masjid itu dari keadaannya yang sudah berupa puing-puing, dan dengan gaya berbeda, baik dibandingkan dengan gaya bangunan kaum al-Muwahhid yang dominan di Sevilla, ataupun dibandingkan dengan gaya bangunan Umayyah yang mencirikan katedral di Kordoba.
Istana-istana anyar yang dilihat Ibnu Khaldun dan yang di sana dia bekerja selama tinggal di Sevilla didirikan sesuai dengan selera Peter sendiri, berdasarkan citra diri, kedudukan dan warisan yang dimilikinya. Istana-istana baru Peter bernuansa lapisan dinding yang meniru gaya Dinasti Nasr karena memang Peter mendatangkan para tukang dan ahli bangunannya dari Granada.
Kini, orang-orang yang mengunjungi istana Peter, sejak kedatangan Ibnu Khaldun dan seterusnya, dapat mengagumi hasil pengerjaan lapisan dinding yang terpoles sangat antun di seluruh dinding tembok dan atap, dan kemudian dibentuk stalaktit. Bahkan, di sana, di ibu kota kerajaan Kristen, permukaan-permukaan dinding dihiasi dengan bahasa Tuhan, yakni ayat-ayat Alquran, seperti halnya di seluruh dinding Alhambra.
Gaya arsitektur yang sedang populer ini sekarang ditandai dengan penggunaan terus-menerus corak hiasan (Arab) yang dewasa ini kita namakan dengan “arabesk” (arabesque). Ibnu Khaldun pasti terkejut dengan ironi yang menggembirakan sekaligus menyedihkan melihat Dinasti Nasr yang malang justru menjadi model utama bagi gaya arsitektur Spanyol Kristen. Ibnu Khaldun memahami bahwa selama beberapa generasi Dinasti Nasr kini kembali pada diri mereka sendiri dan kemenyendirian mereka (Irwin 2018).
Hanya mereka yang mengetahui bahwa di sana pernah ada sebuah kekhalifahan yang sangat besar dan banyak dikunjungi orang, bak ornamen yang pantas dipuja seluruh dunia. Namun, kini hanya tinggal mereka di sana, sendiri, dan tersudut. Dengan kesadaran sepenuhnya akan keterasingan mereka, bangsa Nasrid menjadikan seni hias dan barang-barang hiasan sebagai peninggalan dan kesaksian mereka terakhir.
Pemandangan dan estetika inilah, yang diinginkan dan kembali diciptakan oleh raja Spanyol Kastilia yang sangat berkuasa. Estetika mode baru ini terlahir dari mentalitas keterkepungan, dan inilah persis yang terkesan dari keseluruhan bangunan Alcazar di Sevilla, termasuk tulisan-tulisan Arab seperti “Wa lā Ghālib illa Allāh” (Tiada Pemenang selain Allah) yang menghiasi dinding-dinding.
Seandainya Ibnu Khaldun pernah pergi ke Toledo, wilayah yang juga berada di bawah kekuasaan Peter, dia pasti juga akan melihat istana-istana kenangan Kristen yang serupa. Lagi pula, Toledo adalah tempat tulisan-tulisan semi-Arab telah dipergunakan untuk mendekorasi Gereja San Roman, yang terletak di puncak bukit tertinggi, seratus tahun lebih semenjak nenek moyang Peter, Alfonso, merebut kota ini dan menjadikannya sebagai ibu kota anyar kekaisaran Kristen.
Senarai bacaan:
Maria Rosa Menocal, The Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain (Little, Brown, 2002).
Robert Irwin, Ibn Khaldun: An Intellectual Biography (Princeton & Oxford: Princeton University Press, 2018).