Sedang Membaca
Saat Para Habib Berkumpul di Al-Azhar Mengetuk Pintu Langit
Alfan Khumaidi
Penulis Kolom

Penulis kelahiran Banyuwangi. Alumni Blokagung yang kini domisili di Old Cairo, Mesir.

Saat Para Habib Berkumpul di Al-Azhar Mengetuk Pintu Langit

Kita menyebut keturunan seseorang dengan darah daging, alias anak adalah wujud orang tua yang lain. Darah dan dagingnya mengalir dalam diri anak. Demikian juga para anak turun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam.

Secara biologis mereka mewarisi darah dan daging Rasulullah. Secara syariat mereka adalah orang-orang yang disucikan. Mereka senantiasa mendapat doa keberkatan dari selawat yang kita baca. Jika ada orang lain selain Rasulullah yang diperintahkan secara jelas oleh Rasul untuk berselawat kepadanya, mereka adalah para keluarganya. Rasul Melarang selawat al-Batra. Selawat buntung. Selawat yang tidak menyebut keluarga Rasul setelah selawat kepadanya.

Di Indonesia kita menyebut para keturunan Rasulullah dengan sebutan “habib”. Orang yang dikasihi dan mengasihi. Habib dari wazan faiil.  Wazan ini bisa berarti fail dan maf’ul dalam satu waktu. Maka jika masyarakat sudah memberikan gelar mulia habib, hendaknya ia mengasihi dan juga dikasihi. 

Istilah habib ini serapan dari Yaman, sebab para asyraf dan saadah di Indonesia dominan dari Yaman. Di negeri Arab selain Yaman istilah habib tidaklah populer. Mereka biasanya menyebut anak turun Rasul dengan istilah syarif atau sayed.

Saat ini saya tidak sedang ingin mengurai istilah-istilah itu. Terserah pembaca ikut pendapat yang menyatakan bahwa syarif adalah sebutan untuk keturuan Rasul dari jalur Sayed Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan sayed adalah sebutan untuk yang jalur Sayed Husen bin Ali bin Abi Thalib, atau ikut pendapat yang menyatakan bahwa kedua istilah itu sama saja.

Baca juga:  Renungan Syekh Izzudin bin Abdissalam (2): Biji “Kun” dan Janji Primordial

Sekarang saya ingin bercerita saja, bahwa setiap keturunan Rasul yang mengasihi dan dikasihi adalah orang yang mulia dan harus dimuliakan. Bagaimanapun mereka menyimpan darah dan daging Rasul. Mereka memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Abad 15 M Mesir diserang wabah taun (tha’un) atau kolera. Era Kesultanan Mamluk Mesir beberapa kali diserang wabah mematikan ini. Salah satu yang ganas adalah pada abad 15 M/ 9 H. Banyak para ulama yang meninggal akibat wabah ini. Bimaristan (kalau sekarang rumah sakit) tidak mampu menampung korban. Korban berjatuhan sampai-sampai menurut al-Maqrizi sebagaiman dikuti oleh as-Syinawi, jumlah korban satu hari bisa tembus seribu lebih. 

Para pekerja dan pembantu gali kubur tidak mampu lebih cepat dari itu untuk menggali liang lahat. Saking banyaknya, ratusan jenazah yang siap dikuburkan bisa menginap berhari-hari di pemakaman karena belum tersedianya liang kubur. Bahkan beberapa jenazah sempat dikoyak oleh anjing!

Wabah kian tidak teratasi. Medis sudah angkat tangan. Harus ada jalan lain untuk menghentikan wabah mematikan ini. Sultan Asyraf Barsibai berinisiatif memberi perintah untuk mengumpulkan para habaib dengan kriteria tertentu, antara lain namanya harus “Muhammad”.

Pada hari jumat mereka dikumpulkan di Al-Azhar. Setelah salat jumat mereka membaca Alquran. Lalu berdoa bersama-sama dan para jamaah berdiri menengadahkan tangan ke arah langit.

Baca juga:  Alexander, Hidup di Antara Anak Panah

Para asyraf itu berdoa hingga menjelas waktu Asar. Masuk waktu Asar, keempat puluh habaib itu naik ke atap Al-Azhar untuk azan. Azan secara serentak. Usai azan, mereka turun dan menunaikan salat asar bersama jamaah yang lain. Esoknya, Sabtu, wabah mematikan itu reda. Kian hari kian berkurang sampai tiada sama sekali. Di sini sultan menggunakan dua cara alternaif.

Pertama karena meyakini bahwa para asyraf yang diseleksi itu memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh ulama yang bukan dari golongan asyraf. Mereka mewarisi darah dan daging Rasulullah, juga sebagai orang saleh.

Kedua adalah Al-Azhar itu sendiri. Satu abad sebelumnya Mesir juga sempat diserang wabah yang sama, sultan memerintahkan masyarakat secara umum untuk berdemostrasi meminta pertolongan kepada Allah (istighatsah) dengan membaca alquran dan Sahih Bukhari di Al-Azhar secara rutin seraya berdoa untuk diangkatnya wabah mematikan tersebut.

Semua memang atas kehendak Allah, tapi doa akan lekas tersambut jika keluar dari orang yang suci dan tempat yang suci. Maulid tahun lalu, di pelataran Sidnal Husen, Habib Umar bin Hafiz meriwayatkan dari Syekh Gamal Faruq beliau dari Syekh Soleh Ja’fari, beliau berkata: Allah menyucikan para ahlul bait dari rijz (kotoran), maka siapa yang dijauhkan dari ahlul bait berarti mereka bagian dari rijz. Tentu saja, maksudnya adalah habib yang isim fail (mencintai) dan isim maf’ul (dicintai), karena inilah tanda-tanda saleh dan bertakwa. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Al Quran tidak mengenal istilah keturunan ahlul bait atau keturunan nabi atau keturunan rasul ya apa lagi pewaris keturunannya.

    Jangankan ketiga istilah tersebut istilah KETURUNAN MUHAMMAD saja tidak di-abadi-kan di dalam Al Quran sama halnya dengan tidak adanya istilah KETURUNAN NUH (QS. 19:58). Mengapa tidak di-abadi-kan keturunan kedua tokoh umat manusia itu?

    Nasib kedua tokoh itu adalah sama tidak di-abadi-kan karena hak nasab beliau memang telah diputuskan oleh Allah SWT. Bedanya, kalau nasab Nabi Nuh As diputus oleh Allah SWT karena ahlul bait, anak kandung beliau durhaka kepada Allah SWT dan rasul-Nya sendiri (QS. 11:42-46). Tetapi nasab Nabi Muhammad SAW diputus oleh Allah SWT karena ahlul bait, anak kandung lelaki beliau diwafatkan-Nya ketika masih kecil-kecil.

Komentari

Scroll To Top