Sedang Membaca
Pelajaran dari KeruntuhanAl-Muwahidun
Nur Hasan
Penulis Kolom

Mahasiswa Islamic Studies International University of Africa, Republic Sudan, 2017. Sekarang tinggal di Pati, Jawa Tengah.

Pelajaran dari KeruntuhanAl-Muwahidun

Berdirinya Dinasti Al-Muwahidun atau biasa disebut Al-Mohad, tidak lepas dari kondisi dinasti sebelumnya yaitu Dinasti Al-Murabithun, yang mulai melemah. Melemahnya kekuasaan Dinasti Al-Murabithun pasca meninggalnya Yusuf bin Tasyufin pada tahun 1106 M, dikarenakan para pemimpin dinasti ini setelah Yusuf bin Tasyufin tidak mempunyai kapasitas yang mumpuni, untuk memimpin dinasti yang mempunyai wilayah kekuasaan dari Afrika Utara hingga Andalusia ini.

Munculnya Dinasti Al-Muwahidun, menunda keruntuhan Islam di Eropa dan membawa semangat baru politik di wilayah Afrika Utara dan Andalusia. Dimana dinasti ini berhasil menunda kekalahan umat Islam dari tentara Kristen, dan berhasil merebut kembali beberapa wilayah di Andalusia dari kekuasaan pemerintahan Kristen yang sebelumnya berada di bawah kendali pemerintahan Dinasti Al-Murabithun.

Awal mula dinasti ini berasal dari sebuah gerakan pemurnian agama, atau biasa disebut dengan kaum puritan. Yang didirikan oleh seorang Berber dari suku Masmuda, yang bernama Ibnu Tumart di wilayah Maroko. Beliau merupakan penganut Asy’ariyah, yang hanya mengakui supremasi Alquran dan hadis, dan sama sekali tidak mengakui madzhab fikih.

Pasca rihlah intelektuanya Ibnu Tumart di berbagai daerah pusat peradaban Islam, seperti Mekkah, Baghdad, Cordoba. Beliau kembali ke Maroko dengan membawa misi menyebarkan ajarannya, dan mendapat sambutan baik dari masyarakat. Yang mana inti ajarannya adalah Tauhidullah, yaitu mengesakan Tuhan. Dengan melakukan kritik secara tajam terhadap praktek keagamaan yang bertentangan dengan Islam.

Baca juga:  Sejarah Salat Tarawih: Mulai dari Nabi, Sahabat, dan Tabi'in

Al-Muwahidun sendiri secara bahasa bisa diartikan dengan orang-orang yang mengesakan Allah Swt, dan secara intelektual mereka merupakan orang-orang yang memprotes madzhab Maliki yang dianggapnya kaku, konservatif dan legalistik.

Pada awalnya, gerakan yang dipelopori oleh Ibnu Tumart merupakan gerakan dakwah, yang memerangi paham Tajsim, yang menganggap Tuhan mempunyai bentuk yang waktu itu berkembang di Afrika Utara di masa Dinasti Al-Murabithun.

Bagi Ibnu Tumart, menegakkan kebenaran dan memberantas kemunkaran harus dilakukan dengan kekerasan. Karena dakwahnya yang disertai dengan kekerasan tersebut, Ibnu Tumart banyak tidak disukai oleh para ulama dan penguasa. Bahkan beliau pernah diasingkan dan kemudian pindah ke kota Marrakech.

Di Marrakech pun, kehadiran Ibnu Tumart tidak terlalu mendapat sambutan. Sehingga beliau pergi ke Tilimsan atau Tinmal. Dari sinilah, beliau menyusun kekuatan yang kemudian menjadi sebuah dinasti.

Selama di Tilimsan, Ibnu Tumart menyebarkan dakwahnya dengan mengirim dai yang telah menjadi pengikutnya, untuk mengajak kepada kebenaran dan meninggalkan kebiasaan yang buruk.

Walaupun dakwahnya yang keras, akan tetapi banyak dari suku-suku Berber yang menerima dakwahnya seperti suku Harrabah, Hantamah, Jadniwah dan Jansifah. Dengan dakwahnya yang diterima oleh banyak suku tersebut, gerakan yang awalnya murni menegakkan tauhid ini kemudian berubah menjadi sebuah gerakan politik.

Baca juga:  Ketika Mark Rutte dan Gus Dur Meminta Maaf: Refleksi atas Permintaan Maaf Belanda kepada Indonesia

Dengan situasi pemerintahan Dinasti Al-Murabithun yang sedang melemah, Ibnu Tumart berambisi untuk menjatuhkan Dinasti Al-Murabithun. Sehingga pada tahun 1121 M, Ibnu Tumart menobatkan dirinya sebagai Al-Mahdi atau imam yang ma’shum. Penobatan dirinya mendapat dukungan dari Abu Hafs, yang merupakan salah satu kepala suku Berber.

Untuk memuluskan dan membangun pemerintahan yang kuat, Ibnu Tumart mengajak kabilah-kabilah Berber untuk bergabung bersamanya. Kabilah yang menolak untuk bergabung, diperangi sampe mereka mau bergabung dengannya.

Di tahun 1129 M, Al-Muwahidun dengan 40 ribu pasukannya menyerang Dinasti Al-Murabithun yang berpusat di kota Marrakech. Akan tetapi pasukan tersebut kalah, dan Ibnu Tumart meninggal dunia. Setelah meninggalnya Ibnu Tumart, Dinasti Al-Muwahidun dipimpin oleh Abdul Mukmin bin Ali. Di mana dalam kepemimpinannya berhasil meraih banyak kemenangan dalam pertempuran, dan berhasil meguasai wilayah-wilayah Dinasti Al-Murabiithun seperti Nadla, Dir’ah, Taigar, Fazar, Giasah, Fez dan Marrakech.

Keberhasilan menguasai wilayah-wilayah tersebut, menjadikan dinasti ini menyeberang ke wilayah Afrika Utara lainnya dan Andalusia. Dengan pusat pemerintahan yang sudah berpindah dari Tilimsan ke Marrakech, Dinasti Al-Muwahidun berhasil merebut kembali wilayah-wilayah Dinasti Al-Murabithun yang dikuasai oleh pasukan Kristen.

Adanya perpecahan di dalam tubuh Dinasti Al-Muwahidun, dan perebutan kekuasaan di antara para pemimpin Dinasti Al-Muwahidun menjadi salah satu factor melemah dan runtuhnya Dinasti Al-Muwahidun.

Baca juga:  4 Peradaban Sosial yang Dibangun Nabi Pasca Hijrah di Madinah

Dinasti Al-Muwahidun merupakan dinasti Islam terakhir, yang berkuasa di wilayah Andalusia dalam upaya menjaga kejayaan Islam di Andalusia dan Eropa, dengan benteng terakhirnya yaitu kota Granada. Runtuhnya kekuasaan Dinasti Al-Muwahidun di Granada tahun 1269 M, menjadi pertanda pudarnya kejayaan Islam yang bersinar lama di Eropa.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top