Mendengar nama ulama ini, kebanyakan orang mungkin akan menggambarkan bahwa beliau sebagai rujukan orang-orang Salafi WaAhabi dan kawan-kawannya. Hal ini karena pendapat kontroversial Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa Allah Swt ada di arsy.
Pemikiran aqidah Ibnu Taimiyah memang dianggap menyimpang, karena menyatakan bahwa Allah swt ada di arsy sama saja menyamakan Allah swt dengan makhluk ciptaan-Nya, padahal tidak ada satupun di dunia ini yang menyerupai-Nya.
Akan tetapi, siapa sangka bahwa ulama yang dijadikan rujukan oleh Salafi Wahabi adalah termasuk dari para tokoh yang mempunyai pemikiran-pemikiran tasawuf. Dalam karyanya yang berjudul al-Furqan baina Awliya’ al-Rahman wa Awliya’ asy-Syaithon, terdapat beberapa pendapat mengenai asal kata tasawuf.
Pertama, tasawuf berasal dari kata suff. Yang dialamatkan kepada mereka yang memakai pakaian, yang terbuat dari wol atau bulu domba.
Kedua, dialamatkan kepada sekelompok orang yang tinggal di teras masjid di kota Madinah, yang lebih dikenal dengan as-Shuffah. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah sepakat dengan pendapat pertama.
Namun Ibnu Taimiyah tidak setuju bahwa tasawuf hanya dilihat dari tampilan fisik saja, untuk dijadikan parameter dan tolak ukur untuk menilai ketasawufan seseorang.
Akan tetapi, yang tidak kalah penting adalah bagaimana ia membersihkan dan menyucikan hatinya dari segala sifat yang tercela. Oleh karenanya, dalam beberapa karyanya ada perbedaan dalam penggunaan kata untuk menyebut para sufi. Di antaranya adalah Fuqara’, Zuhhad, Salikin, Asbab Al-Qalbi Wa Arbab Al-Ahwal , Ashab Al-Tasawuf Al-Mashru’, Ashab Al-Shufiyah.
Walaupun Ibnu Taimiyah menggunakan berbagai istilah untuk menyebut para sufi, namun beliau tidak memiliki definisi yang jelas tentang tasawuf. Tidak adanya definisi yang jelas tentang tasawuf dari Ibnu Taimiyah tersebut, dikarenakan beliau tidak ingin terkecoh oleh slogan dan tampilan fisik saja, tetapi juga harus diperhatikan dengan praktek.
Jika dalam cara beribadah dan prakteknya sesuai dengan syari’at, maka ia adalah tasawuf yang benar, sebagaimana dipraktekkan para sufi di generasi awal. Kalau tidak, maka ia adalah tasawuf yang menyimpang. Ibnu Taimiyah dalam kitab yang disebut di atas mengatakan; “Para wali Allah swt adalah orang-orang mukmin yang bertakwa baik ia dikatakan Faqir, Sufi, Faqih, Alim, Tajir, Amir, Hakim dan lain sebagainya”.
Sehingga dalam hal ini, Ibnu taimiyah mengklasifikasikan tasawuf menjadi dua; pertama, tasawuf sunni yaitu tasawuf yang diperbolehkan untuk mengikutinya dan sudah muncul embrionya sejak awal mula Islam, yaitu generasi awal para sahabat. Yang kemudian dikembangkan oleh Junaid Al-Baghdadi di Baghdad, Abu Sulayman Al-Darani di Syam, Dzun Al-Nun Al-Misri di Mesir, Harits Al-Muhasibi di Baghdad. Di mana dalam teori dan prakteknya, mereka semua menjadikan Alqur’an dan Sunnah sebagai sumber rujukan. Ibnu Taimiyah menyebutnya sebagai Syuyukh Shufiyah.
Kedua, tasawuf bid’ah. Yaitu tasawuf yang sudah kemasukan unsur-unsur asing dalam teori dan prakteknya. Karena dalam memahami dan mempraktekkan tasawuf, mereka mencampuradukan ajaran Islam dengan teori dan praktek yang tidak dikenal, seperti memasukkan unsur filsafat dalam tasawuf. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah memberikan contoh seperti sosok Ibnu Arabi dan para pengikutnya.
Ibnu Taimiyah sangat mengkritik dan mengecam para sufi seperti Ibnu Arabi, misalnya dalam mengomentari pemikiran Ibnu Araby. Ibnu Taimiyah pernah mengatakan; “Ibnu Araby bukanlah tipe ahli sufi yang memiliki spirit intelektual apalagi mengikuti Alqur’an dan Sunah.”
Walhasil, Ibnu Taimiyah kemudian membuat klasifikasi yang lebih rinci, mengenai tipologi tasawuf.
Pertama, para sufi Ahlusunnah generasi awal yang dalam teori dan praktek tasawufnya merujuk kepada Alqur’an dan Assunnah.
Kedua, para sufi Ahlusunnah yang mencampuradukkan tasawuf dengan ilmu kalam, tetapi tidak dipengaruhi filsafat. Ketiga, para sufi yang mencampuradukan antara tasawuf dan filsafat.
Selain pemikirannya yang kontroversial bahkan sesat dalam aqidah, akan tatapi Ibnu Taimiyah mempunyai banyak gagasan-gagasan menarik seperti dalam bidang tasawuf, fikih, atau tentang konsep maslahah yang menjadi salah satu tema dalam kajian Maqasid Syari’ah.