Ketika NU memutuskan untuk keluar dari Masjumi tahun 1952, banyak ejekan yang datang.
Ada yang menyerang masalah SDM. NU dikatakan tak punya meester tak punya insiyur. Apa bisa ngurus partai?
Kiai Wahab menjawab bahwa kalau dia mau beli mobil, dia tak harus bisa nyetir. Yang dia perlu lakukan adalah membuat iklan: “dicari supir.” Habis perkara.
Ada juga yang menyerang gaya bersarung dan pegang tasbih para kiai NU. Kata mereka: kaum sarungan itu tahunya cuma zikir dan pesantren. Padahal politik itu luas. Gitu kok mau jadi parpol dan ikut pemilu 1955.
Kaum sarungan itu menjawab dengan perolehan suara hampir 20% hanya dalam masa persiapan kurang dari 3 tahun.
Jadi kalau sekarang muncul isu celana cingkrang, itu sebenarnya kelanjutan saja dari kebiasaan menyerang preferensi busana pihak seberang.
Sikap derogatoris terhadap cara busana pihak lain yang berbeda secara ideologis itu bukan barang baru.