Kiranya menarik mengamati respons kalangan sekuler terhadap kedatangan kembali Habib Rizieq Shihab (HRS). Mereka berteriak, seperti biasa, “di mana negara?”, sementara yang lainnya, seperti biasa pula, mengutuk-ngutuk di media sosial. Tapi ya begitu saja, tampaknya tidak ada yang bisa dilakukan. Mereka kebingungan.
Bagi kalangan sekuler, para penjemput HRS yang memacetkan jalan dan membuat pot bunga rusak di bandara itu adalah kerumunan. Titik. Dengan menggunakan cara pandang instrumental mereka yakin bahwa orang-orang berbaju putih yang berkerumun menjemput HRS pasti digerakkan oleh kepentingan material. Pasti ada yang membiayai. Jika memang yang terjadi sebaliknya, tidak ada yang membiayai, maka orang-orang itu dianggap orang-orang bodoh atau dungu belaka.
Dengan kata lain, tidak ada ketulusan dalam aksi-aksi seperti itu. Seolah-olah orang-orang berbaju putih yang berkerumun menjemput HRS itu tidak mempunyai pertimbangan yang layak dalam melakukan kegiatannya. Psikologi modern membahasakannya sebagai fanatisme yang berarti suatu kecintaan berlebihan terhadap sesuatu yang dinilai tidak masuk akal. Ilmu politik modern melihatnya sebagai ancaman terhadap demokrasi.
Akan tetapi, apakah masalahnya sesederhana itu? Kalau memang demikian, kenapa pemerintahan Jokowi tampak membiarkan hal itu terjadi?
Kenyataannya argumen politik sekuler kebingungan menghadapi fenomena Islam politik itu. Mereka hanya punya jurus bernama hukum. Tetapi apa itu hukum di hadapan ribuan orang yang menggemakan takbir Allahu Akbar?
Para politisi, lagi-lagi seperti biasa, mencari jalan melipir untuk mengatasi situasi yang sulit itu. Mereka tahu bahwa agama hanya bisa dilawan oleh agama. Maka tidak heran kalau kemudian muncul cuitan yang berusaha membenturkan FPI dan NU. Provokasi dimulai. Sejumlah teman-teman NU terlihat terpancing, tetapi secara umum kurang berhasil.
Model agama menghantam agama sering digunakan oleh negara-negara Barat yang sekuler dalam menyelesaikan konflik di negara-negara Muslim. Dengan dalih intervensi kemanusiaan mereka memihak satu kelompok Muslim untuk melawan kelompok Muslim yang lain. Gambaran ini bisa kita lihat secara mudah di Timur Tengah. Apakah hal yang serupa juga berlangsung di Indonesia?