Konon, IAIN Purwokerto (Jawa Tengah) bakal berubah atau bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri Saifuddin Zuhri (UIN SAIZU). Kita mulai diajak membiasakan untuk mengubah sebutan dan melafalkan singkatan-akronim baru. Transformasi terjadi setelah ada pemenuhan pelbagai ketentuan (Tribun Jateng, 8 Oktober 2019). Pilihan nama Saifuddin Zuhri mengarah ke ketokohan. Siapa?
Kita menanti peresmian UIN Saifuddin Zuhri sambil mengingat biografi dan makna pendidikan di masa lalu. Kita membaca buku berjudul Berangkat dari Pesantren (1987) susunan Saifuddin Zuhri. Autobiografi mengingatkan pula kota-kota menumbuhkan gairah pendidikan-pengajaran dan politik.
Saifuddin Zuhri menulis: “Bangsaku bukanlah cuma penduduk desaku. Tanah airku bukanlah hanya Sokaraja, sebuah kota kawedanan kecil terletak antara Sungai Serayu dan kaki Gunung Slamet. Mungkin tidak akan dijumpai pada peta yang mana pun. Tetapi jika ditarik garis lurus segitiga antara Purwokerto-Purbalingga-Banyumas, pada titi di tengah-tengah itulah terletak kota kecilku.”
Saifuddin Zuhri lahir di Sokaraja, 1 Oktober 1919. Kini, kita memperingati seabad Saifuddin Zuhri dalam situasi Indonesia tak keruan. Bermula di Sokaraja (Banyumas), ia menempuhi pendidikan di sekian kota dan melakukan pengabdian bagi Indonesia melalui jalan pers, dakwah, buku, pendidikan, dan politik. Ia bertumbuh dan bergerak dalam gelimang adab pesantren. Kita mulai agak mengerti dalih pemberian nama UIN Saifuddin Zuhri.
Tokoh besar kita ini pernah menjadi sekjen NU, anggota DPA, menteri Agama, anggota DPR, pemimpin redaksi Duta Masyarakat, dan guru besar di IAIN Sunan Kalijaga sudah memberikan pengabdian dan warisan-warisan penting untuk pemajuan pendidikan di Indonesia, dari masa ke masa.
Kita sudah mengenali perguruan tinggi Islam di Indonesia menggunakan nama-nama dari masa silam: Kalijaga, Sunan Ampel, Syarif Hidayatullah, “Alauddin, dan lain-lain. Di Purwoktero, pemberian nama UIN Saifuddin Zuhri seperti memberi bujukan ke kita agar membuka halaman biografi tokoh dan sejarah (pendidikan) di Indonesia, belum berjarak jauh dari abad XXI. Dulu, Saifuddin Zuhri berangkat dari pesantren, mendapatkan hikmah-hikmah dan membentuk diri sebagai manusia luhur. Pada masa berbeda, acuan pendidikan-pengajaran pesantren itu “terbaca” dalam pembuatan misi-misi memaknai perguruan tinggi Islam melalui UIN Saifuddin Zuhri. Kita ingat pengakuan Saifuddin Zuhri: “Alam pesantren adalah duniaku, alam yang menempa jiwaku, melukis jalan pikiranku dan memahat cita-citaku.”
Kita belum memiliki dugaan dengan peresmian UIN Saifuddin Zuhri baka ada keseriusan kebijakan keaksaraan. Rektor atau dosen mungkin menganjurkan ke mahasiswa membaca buku-buku warisan Saifuddin Zuhri bermaksud mengerti biografi, pemikiran pendidikan-pengajaran, alur politik masa lalu, dan kebermaknaan pesantren di arus keindonesiaan. Kita pun masih meragu bakal ada seri diskusi atau ajakan menafsir Saifuddin Zuhri mumpung di peringatan seabad dan pembesaran janji mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia. Kemauan menafsir semakin bermakna dengan pengesahan Undang-Undang Pesantren dan penetapan Hari Santri. Kita mungkin telat memberi penghormatan dan menempatkan (ulang) pemikiran-pemikiran Saifuddin Zuhri di referensi pesantren dan pemuliaan Indonesia. Nama itu bakal terpahat di papan dan dokumen-dokumen resmi universitas meski belum tentu semakin dikenali oleh dosen dan mahasiswa berjumlah ribuan.
Saifuddin Zuhri berada di alur sejarah pendirian perguruan tinggi Islam. Pada saat studi di Solo, Saifuddin Zuhri menjadi saksi dari Kongres Bahasa Indonesia I dan kongres para jurnalis. Di situ, ia mengetahui usulan Satiman untuk mendirikan “Pesantren Luhur”, setara dengan perguruan tinggi. Usulan mendapat tanggapan dari para tokoh, termasuk Ki Hadjar Dewantara. Pada 1944, KHA Wahid Hasjim selaku Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta. Pada 1950, pemerintah berhasil mendirikan Perguruan Tinggi Islam di naungan Departemen Agama. Tahun demi tahun berlalu, misi pendidikan tinggi menjadi Institut Agama Islam Negeri bertempat di Yogyakarta, 1960.
Pada 1962, Saifuddin Zuhri menjadi Menteri Agama. Ia menunaikan kerja besar mendirikan IAIN di sekian provinsi. Bermula dari pesantren, Saifuddin Zuhri memiliki misi di perguruan tinggi Islam. Ia mengenang: “Sejak pagi-pagi, aku telah membuat tanggul-tanggul agar IAIN tidak menjadi saingan dengan pondok pesantren. Kedua lembaga persemaian dan pendidikan generasi Islam ini mempunyai peranan yang berbeda, tetapi harus saling mengisi. Sistem pesantren tak akan bisa diterapkan dalam IAIN. Sebaliknya, sistem IAIN tak mungkin bisa diterapkan dalam pondok pesantren. Masing-masing mempunyai kekhususan dan identitas yang berbeda, tetapi keduanya dibutuhkan menjadi kesatuan nilai pendidikan Islam.” Patokan dalam menggerakkan pondok pesantren di IAIN di masa lalu itu perlahan mendapat ralat.
Kini, pondok pesantren menjadi tema besar berkaitan dengan jumlah mahasiswa IAIN dan perguruan umum negeri semakin bertambah. Mereka berasal dari pondok pesantren. Di IAIN, mereka memberi pengaruh besar dan mengujikan siasat pesantren di capaian-capaian keilmuan.
Kita masih menantikan ada edisi diskusi dan penghormatan warisan-warisan Saifuddin Zuhri dalam peresmian UIN Saifuddin Zuhri di Purwokerto. Buku berjudul Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1977) pantas jadi referensi ampuh untuk mengetahui Saifuddin Zuhri, pesantren, dan perguruan tinggi. Selama di pesantren, Saifuddin Zuhri merenungi peran para kiai dengan segala kesibukan dan pengabdian. Ia mengenang: “Buatku, semua ini merupakan sumber studi bagi melatih diri memiliki sifat-sifat kepemimpinan… Tak sangguplah rasanya aku untuk menjadi kiai, walau kiai ‘format-kecil’ sekalipun. Paling-paling barangkali kalau cuma jadi ‘khadam-kiai’!” Ia mendengar bahwa teman-teman memiliki cita-cita sederhana saja: menjadi ustaz memimpin madrasah kecil-kecilan, setingkat SD atau SMP. Saifuddin Zuhri justru melajur di panggung besar, memberi pengaruh bagi tatanan pendidikan dan politik di Indonesia.
Biografi di pesantren dan kesanggupan menumbuhkan mutu pendidikan melalui IAIN menjadi bukti kepantasan Saifuddin Zuhri (1 Oktober 1919-25 Februari 1986) dijadikan nama bagi tranformasi IAIN Purwokerto menjadi UIN Saifuddin Zuhri.
Ia adalah jurnalis, ulama, dan nasionalis. Pada peringatan seabad Saifuddin Zuhri, kita memang belum mendapat berita-berita mengenai studi atau kajian atas pemikiran-pemikiran Saifuddin Zuhri di pelbagai buku dan kebijakan saat menjadi pemimpin. Kita memastikan bakal ada mahasiswa-mahasiswa atau kaum esais partikelir untuk mengingatkan dan memunculkan lagi tulisan-tulisan mengacu ke Saifuddin Zuhri meski tak wajib ilmiah atau dimuat di jurnal internasional. Begitu