Pada masa 1960-an, hidup terasa berat. Dosen, wartawan, sastrawan, dan kaum jelata menanggungkan derita, dari hari ke hari. Derita pun menimpa P Swantoro, wartawan di Kompas. Semula, ia berpredikat pengajar sejarah di Jogjakarta. Pada 1966, ia adalah wartawan saat Indonesia amburadul alias inflasi semakin parah. Ia sudah berkeluarga dengan dua anak.
Swantoro mengenang: “Suatu ketika, saya betul-betul kehabisan uang, sampai untuk makan keesokan harinya pun tidak punya” (Helen Ishwara, 2001). Babak kemiskinan terjadi berlatar Indonesia tak keruan. Pada masa berbeda, kita mengenang Swantoro bukan orang “miskin” dalam urusan buku. Ia malah menjadi tokoh mumpuni di perbukuan.
Kini, kita menghormati Swantoro (26 Januari 1932-11 Agustus 2019) sebagai pengisah buku dan masa lalu. Pada 11 Agustus 2019, ia berpamitan dengan meninggalkan warisan-warisan buku bakal terus terbaca, dari masa ke masa. Pamitan saat orang-orang selalu rebut dengan tema Indonesia dan buku. Segala fitnah dan tuduhan menimpa kita dengan ungkapan-ungkapan “keji”. Orang-orang Indonesia dianggap tak mau membaca buku, meremehkan buku, dan pantang jadi pemulia keaksaraan. Kepergian Swantoro pun ditandai dengan “kengawuran” orang-orang menuduh buku-buku berbau komunis diambil paksa (disita) di toko buku. Swantoro tak sempat melihat film berasal dari dua buku gubahan Pramoedya Ananta Toer (Perburuan dan Bumi Manusia).
Dulu, kita mencatat bahwa buku-buku persembahan Pramoedya Ananta Toer langganan untuk dilarang beredar dan dibaca.
Kita mendingan membaca (lagi) buku berjudul memikat: Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu (2002). Buku itu bukti misi suci Swantoro dalam mencari, mengumpulkan, membaca, dan membaca buku-buku lawas. Ia beruntung sering mendapat jalan sampai ke buku-buku berusia ratusan tahun.
Hari demi hari berganti, ia tetap saja beriman dengan buku-buku untuk mengisahkan Indonesia. Buku-buku memuat babak-babak sejarah di Indonesia. Kita adalah “kaum miskin” di hadapan Swantoro selaku pembaca tulen buku-buku dalam beragam bahasa. Kita mengaku miskin pengetahuan dan miskin pengalaman dalam pergumulan buku.
Di hadapan sidang pembaca, Dari Buku ke Buku sanggup menampilkan sejarah Indonesia berbeda dari buku pelajaran atau kuliah. Buku-buku lawas bin tua sebagai “buku otentik” dipamerkan ke pembaca agar cemburu dan terangsang menjadi Indonesia.
Buku berisi panggilan dan godaan ke masa lalu. Swantoro berlaku sebagai kakek, memberi bacaan ke para cucu. Kita mengaku saja sebagai cucu. Parakitri Simbolon menganggap Swantoro itu kakek mengajak para cucu berjalan di taman bunga. Kakek menugasi diri sebagai pencerita mengenai bunga meski tak wajib utuh. Cerita-cerita memikat. Pengakuan Swantoro: “Si Kakek bukanlah peneliti dan bukan pula seorang ilmuwan, yang berusaha menelaah tuntas materi yang ditekuninya.”
Dulu, ia pengajar sejarah dan menghabiskan puluhan tahun sebagai wartawan. Pada masa pensiun, ia memanggil segala ingatan di buku-buku untuk mencipta “taman cerita” memuat biografi dan pengenalan para tokoh (sejarah) dari masa lalu berkaitan Indonesia. Tata cara itu disebut “perkelanaan memori”. Kita beruntung menjadi “cucu” turut menikmati cerita-cerita (bunga) sejarah tanpa harus menjadi miskin gara-gara belanja buku-buku tua. Harga buku-buku itu “mustahil” murah.
Swantoro dalam tulisan berjudul “Dari Majalah Basis ke Balai Poestaka” menguak masa lalu saat menjadi bocah keranjingan buku. Sejak masa 1940-an, ia sudah membaca buku-buku terbitan Balai Poestaka. Buku paling memukau pernah dibaca saat masih murid SR adalah terjemahan berjudul Tiga Panglima Perang. Novel gubahan Alexander Dumas, pengarang asal Prancis. Penerjemahan ke bahasa Indonesia dikerjakan Nur Sutan Iskandar, 1925.
Pada masa lalu, Swantoro mengakui Balai Poestaka berjasa dengan menerbitkan serial almanak dijadwalkan terbit rutin setiap tahun. Seri berkesan itu berjudul Volksmanak Djawi. Swantoro mendapatkan tulisan-tulisan penting di almanak dalam mengerti perkembangan politik, pendidikan, kesehatan, perdagangan, dan lain-lain. Almanak menjadi “rumah dokumentatif”.
Pada masa berbeda, kita membaca almanak dengan dengan ketakjuban dan penasaran. Kini, kita mulai kehilangan membaca dan memiliki buku-buku di serial almanak. Sumber-sumber untuk mengetahui segala hal sudah dijanjikan gampang, cepat, praktis, dan hemat meski bukan berupa buku cetak.
Buku-buku tua selalu memikat. Swantoro tetap membaca buku-buku baru dengan keinginan berjalan di “taman masa lalu” dan kembali ke masa mutakhir. Ia mengagumi buku tebal berjudul Kalangwan. Edisi bahasa Inggris terbit tahun 1974. Buku itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko dan diterbitkan Djambatan (1983). Zoetmulder dan Dick Hartoko adalah penggerak dan pemberi selera majalah Basis, majalah terbit sejak 1951 sampai sekarang.
Buku itu menghasilkan pujian Swantoro ke Zoetmulder dan orang-orang tulus di kelimuan dan keimanan. Swantoro di renungan: “Meskipun tidak terlalu banyak jumlahnya, masih ada saja ilmuwan yang dijiwai cita-cita, idealisme, di tengah kehidupan yang serba berpenghitungan untung-rugi secara materiil. Ada juga yang bahkan seperti ‘yogi’ yang memandang kehidupan dan kegiatan ilmiah mereka sebagai ‘yantra’, sebagi ‘silunglung’, sebagai jalan untuk berkomunikasi dan bertemu setiap hari dengan Sang Maha Ilmuwan.” Swantoro, pembaca buku dan pencatat dengan menitipkan pesan-pesan bijak.
Sindhunata memberi pujian ke Swantoro: “Ia sungguh telah menulis suatu jurnalisme sejarah, menarik untuk dibaca.” Pujian setelah Swantoro berhasil mengerjakan buku berjudul Masa Lalu Selalu Aktual (2007). Di situ, kita mendapatkan tulisan-tulisan Swantoro tak melulu mengenai tokoh dan sejarah Indonesia. Ia mahir menulis para tokoh tenar dan sejarah dunia. Sejak remaja, Swantoro memang bergumul di sejarah. Ia tercatat sebagai sarjana sejarah dari UGM.
Swantoro juga pernah menjadi dosen sejarah di IKIP Sanata Dharma. Kegairahan menekuni sejarah dan menempuhi jalan jurnalistik dikuatkan dengan bekerja di majalah Basispada masa 1950-an. Keampuhan membuat tulisan bercap jurnalisme sejarah terasa dirindukan pada masa sekarang.
Ia berkelimpahan buku, tak mau menjadi pembaca sepi. Ia memilih memberikan pengisahan buku-buku dimiliki dalam jumlah ribuan ke sidang pembaca. Swantoro mengajarkan “berbagi” tanpa meminta tepuk tangan, like, dan penghargaan. Bermula buku-buku, ia memberi warisan ke kita berupa buku-buku dan ajakan memanggil sejarah dengan buku-buku lama jangan ditelantarkan gara-gara zaman “terlalu” digital. Begitu.