Sedang Membaca
Religiusitas Putu Wijaya: Gila sebagai Jalan Keselamatan
Purnawan Andra
Penulis Kolom

Pegawai negeri sipil pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Lulusan Seni Tari Institut Seni Indonesia Surakarta

Religiusitas Putu Wijaya: Gila sebagai Jalan Keselamatan

putu wijaya

“Kalau kamu waras, kamu bisa mati pelan-pelan,” ujar Putu Wijaya pada suatu wawancara di tahun 1990-an. Sekilas terdengar seperti lelucon. Tapi siapa yang mengenal Putu, akan tahu, ia tidak sedang main-main. Dalam semesta pemikiran dan keseniannya, kegilaan bukan bentuk pelarian, melainkan pilihan epistemologis yang radikal.

Dunia yang “waras”—dengan kepastian, tata nilai normatif, dan sistem yang tampaknya masuk akal—justru berbahaya. Di situlah Putu memilih “gila” sebagai iman, dan kreativitas sebagai jalan keselamatan.

Putu Wijaya bukan hanya sastrawan atau dramawan, tetapi sebuah lompatan kesadaran: ledakan imajinasi yang konsisten menolak penjinakan. Ia membangun sebuah lanskap seni yang tak memberi tempat pada kenyamanan logika. Entah dalam prosa, teater, esai, atau film, Putu selalu tampil sebagai gangguan: bukan untuk membingungkan, tapi membongkar. Ia memaksa kita menengok sisi gelap yang sering kita sembunyikan di balik tata krama sosial dan dogma.

Putu Wijaya lahir pada 11 April 1944 di Tabanan, Bali, sebuah daerah yang sejak awal menyimpulkan kontradiksi antara tradisi religius dan modernitas pariwisata yang terus menggerusnya. Dalam tubuhnya, Bali dan Jawa saling bertaut, sebagaimana dalam karyanya, realitas dan absurditas saling menantang.

Yang menarik, Putu tak pernah secara eksplisit menggembar-gemborkan religiositasnya sebagai proyek spiritual atau keagamaan formal. Tapi siapa pun yang membaca karyanya secara jernih, akan tahu: Putu adalah seorang sufi yang menyamar sebagai badut, seorang mistikus yang memilih arena teater dan humor sebagai jalan hidupnya.

Spiritualitas Absurd yang Subtil

Meski tak pernah mengaku sebagai seniman religius, Putu memancarkan spiritualitas yang subtil, tapi tajam. Dalam berbagai wawancara, ia mengaku percaya pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya, sesuatu yang tak bisa ia uraikan tapi selalu ia kejar lewat menulis. “Saya tidak tahu dari mana ide datang. Kadang seperti ada yang membisikkan,” katanya kepada D. Zawawi Imron. Bukan klaim mistis, melainkan pengakuan jujur bahwa kreativitas baginya bukan prestasi intelektual, melainkan wahyu batin.

Baca juga:  Sajian Khusus: Islam di Tengah-Tengah Masyarakat Banjar

Inilah letak menarik dari religiositas Putu: ia bukan religius dalam pengertian simbolik atau ritualistik, melainkan spiritual dalam arti eksistensial. Ia tidak menawarkan kepastian, tapi membangkitkan kesadaran akan absurditas dan paradoks hidup. Dalam absurditas itulah, iman sebagai “lompatan ke dalam kegelapan” (meminjam istilah Kierkegaard) menemukan bentuknya. Iman bukan deklarasi, melainkan pencarian yang terus-menerus.

Dalam novel Telegram (1973), seorang tokoh kehilangan arah akibat komunikasi modern yang membanjiri hidupnya. Apakah ini semata kritik terhadap modernitas? Bisa jadi. Tapi lebih jauh, Putu sedang menunjukkan bahwa hidup bukan sekadar sistem logis. Ada wilayah batin yang gelap, ambigu, dan misterius—dan justru di situlah spiritualitas lahir.

Estetika sebagai Ibadah

Bagi Putu, menulis adalah ibadah. Tapi bukan ibadah yang penuh ayat atau dalil. “Menulis itu harus bikin orang tidak enak. Kalau bikin tenang, berarti kau sedang jadi tukang obat,” tulisnya dalam salah satu kolom di Kompas. Ibadah bukan berarti ketenangan, tetapi keberanian menyentuh kejujuran terdalam, bahkan yang paling menyakitkan. Ia tidak sedang berkhotbah, tetapi merangsang perenungan—dengan gaya yang brutal, ironis, dan penuh kejutan.

Teater adalah altar paling konsisten bagi spiritualitas Putu. Sejak mendirikan Teater Mandiri tahun 1971, Putu melahirkan pertunjukan-pertunjukan yang mengguncang kesadaran. Ia menyebutnya “teater kilat”, “teater otot”, atau “teater teror”—semua menunjuk pada intensitas tubuh dan pikiran. Pertunjukan bukan alat edukasi, melainkan meditasi dalam bentuk ledakan.

Dalam naskah Aduh, seorang korban kecelakaan tergeletak di jalan. Tapi orang-orang hanya melihatnya sebagai ancaman, bukan sesama manusia. Realitas semacam ini bukan sekadar kritik sosial, tapi cermin spiritual: kita hidup dalam masyarakat tanpa empati, di mana citra lebih penting dari kenyataan. Di situlah seni Putu membongkar kepalsuan publik dan mengusik tatanan moral yang jinak.

Baca juga:  Gempa Lombok, Pesan Sabar dari Tuan Guru

Ngayah dan Askese Kontemporer

Dalam dunia yang makin dilanda banalitas dan egoisme, Putu tetap hidup sederhana, menulis nyaris tiap hari, dan enggan larut dalam dunia seni yang makin menyerupai industri hiburan. Sikap ini seperti bentuk “askese kontemporer”—bukan dengan menjauh dari dunia, tapi dengan terus mengolahnya, menolak tunduk pada logika pasar dan prestise. Ia seperti bertapa di dalam keramaian, mengubah setiap tulisan dan pertunjukannya menjadi upacara batin. Seperti prinsip ngayah dalam tradisi Bali: berkarya sebagai persembahan, bukan untuk pamrih.

Ia pernah berkata: “Saya tidak tahu kenapa saya harus terus menulis. Tapi saya tahu saya tidak bisa tidak menulis.” Ini bukan sekadar etos kerja keras. Ini adalah ketundukan spiritual, bentuk takzim pada ilham yang tak bisa dikontrol, dan keyakinan bahwa tubuh dan pikirannya hanyalah alat dari sesuatu yang lebih besar. Dalam dunia seni yang penuh perhitungan, Putu adalah anomali yang mengganggu—dan karena itu, menyelamatkan.

Putu adalah mistikus yang menyamar sebagai badut. Ia tak pernah mengklaim otoritas moral, tapi justru membongkar semua otoritas palsu. Dalam naskah Apakah Kita Sudah Merdeka?, pertanyaannya menyentuh pada lapisan terdalam: bukan hanya kemerdekaan dari kolonialisme, tapi juga dari ego, dari ilusi identitas, dari dogma kekuasaan. Ia seperti sufi yang menari di atas panggung, bukan untuk menghibur, tapi menggugah kesadaran batin.

Maka, religiositas Putu tidak menampakkan diri dalam bentuk-bentuk formal. Ia hadir dalam cara Putu memandang hidup, dalam sikapnya terhadap seni, dalam ketakziman terhadap absurditas, dan dalam keberaniannya mempertanyakan segalanya—termasuk Tuhan. Saat saya bertanya kepadanya yang sedang duduk mencangkung di depan sebuah masjid di bilangan Mantrijeron, Yogyakarta, pada medio tahun 2000an: “Bli, sedang mencari Tuhan?”, ia hanya tertawa lepas. Tapi dalam tawa itulah, kita menemukan sejenis iman: yang tak dogmatis, tapi jujur dan terbuka.

Baca juga:  Renaisans Islam Kosmopolitan

Seni Sebagai Gangguan Spiritual

Dalam esai-esainya, Putu menegaskan bahwa seni bukan untuk memberi pelajaran moral, tapi untuk mengganggu. Gangguan, baginya, adalah gerbang spiritual, bukan ketenangan. Ketika seni menjelma menjadi alat propaganda, Putu justru menempuh jalan sebaliknya: menolak fungsi edukatif, dan memilih daya ledak batin. Ketika dunia ingin “masuk akal”, Putu malah menari di dalam ketidakteraturan, seperti para dalang tua yang tak takut dengan kegilaan wayangnya.

Di ulang tahunnya yang ke-81, Putu Wijaya bukan hanya patut dirayakan sebagai sastrawan produktif, teaterawan ulung atau budayawan terkemuka. Ia adalah sosok yang terus menyuarakan kejujuran dalam dunia yang dibanjiri kepalsuan. Hari ini, ketika politik kehilangan arah, agama kehilangan kedalaman, dan seni kehilangan jiwa, Putu tetap relevan—bahkan makin dibutuhkan.

Ia tidak menawarkan solusi, tapi menghadirkan pertanyaan-pertanyaan penting. Ia tidak menenangkan, tapi membangunkan. Ia bukan nabi, tapi pengganggu spiritual. Dan dalam dunia yang makin gila ini, mungkin gangguan adalah bentuk tertinggi dari kasih sayang.

Ia bukan hanya pengarang, tapi juga peziarah spiritual dalam dunia kata dan tubuh. Ia mungkin tidak membuat kitab suci, tapi tiap tulisannya adalah doa—bukan untuk keselamatan, tapi untuk kejujuran. Dan dalam dunia yang makin gila ini, kejujuran adalah bentuk religiositas yang paling radikal.

Rahajeng wanti warsa, bli Putu Wijaya, dumogi panjang umur lan tetep menginspirasi.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top