“M. Jadul Maula bisa dikatakan bukan seorang sprinter dalam menulis, hal ini bisa dilihat dari kumpulan tulisanya yang terkumpul dalam rentang tahun 1997-2019. Tetapi ketika menulis Jadul bisa cukup dalam dan panjang, dan satu lagi tentunya bukan tulisan yang biasa saja.”
Demikian dikatakan Hairus Salim untuk M. Jadul Maula, seorang pemikir keislaman dari Jogjakarta yang baru meluncurkan bukunya, Islam Berkebudayaan, di Kafe Basa Basi, Yogyakarta baru-baru ini.
“Sebagai penulis, Kiai Jadul memang tergolong tidak produktif, namun konsistensi wacana terkait kebudayaan dan keislaman yang digeluti hampir 20 tahunan ini menjadikan gagasan dan prespektif yang dimunculkan untuk melihat dinamika sosial, politik, budaya, selalu menarik untuk ditelusuri dan dipelajari. Naskah-naskah lokal dari berbagai daerah di tangan Kiai Jadul menjadi lebih hidup, dan dapat digunakan untuk melihat bangsa kita hari ini dan masa depan,” papar Hairus Salim yang juga mengenal M. Jadul Maula sejak mahasiswa dan bergelut bersama di dunia kajian, utamanya di LKiS, Jogjakarta.
Penelisikan terhadap sejarah lisan dan naskah Kesultanan Buton yang lakukan Jadul Maula dalam buku tersebut sangat menarik hingga menemukan hukum tatanegara suatu kesultanan zaman itu. Menariknya lagi, kata Hairus Salim, dilakukan oleh orang Jawa. “Tapi kita punya PR besar, bagaimana hasil penemuan ini menjadi diperhatikan dan relavan di era ini?”
Konsep Budaya dan Manusia
Sementara itu, M. Jadul Maula mengatakan, bahwa buku mencoba menawarkan prespektif baru di tengah arus besar wacana Islam hari ini yang terjebak pada dua poros utama, yaitu fundamentalisme Islam yang cenderung radikal dan yang kedua adalah demokrasi liberal yang sering kali malah menjadi corong dari kapitalisme atau pasar.
Pengasuh Pesantren Kaliopak itu berpendapat bahwa tegaknya bangunan keislaman kita selama ini ditopang oleh budaya yang sudah mengakar di masyarakat kita. Tanpa budaya, katanya, agama Islam tidak akan mampu menjadi besar sekaligus masuk ke jantung esensi terdalamnya.
“Kondisi ini berkebalikan dengan hari ini ketika budaya berusaha dipisahkan dengan agama. Padahal sejak zaman dulu hampir diseluruh Nusantara ajaran agama diperas intisarinya menjadi budaya/adat istiadat yang menjadi tatanan di tengah masyarakat. Bahkan lebih jauh ekspresi keseniannya juga memuat ajaran/tatanan yang tidak hanya tontonan seperti hari ini banyak kita lihat,” jelasnya.