Sedang Membaca
Ketika Dakwah di TV Jadi Komoditas
Syahril Siddik
Penulis Kolom

Kandidat Doktor Kajian Islam Asia Tenggara di Universitas Leiden Belanda.

Ketika Dakwah di TV Jadi Komoditas

Sekitar dua bulan yang lalu ada seorang ibu yang mengirim pesan kepada saya melalui media sosial facebook untuk menanyakan beberapa hal terkait kuliah saya di Belanda.

Seperti biasa saya selalu senang berbagi tentang informasi bagaimana bisa kuliah di luar negeri dengan harapan lebih banyak orang yang termotivasi untuk terus menggali ilmu pengetahuan. Apalagi ibu ini mengaku seorang manajer di sebuah lembaga bimbingan belajar terkemuka di suatu daerah di Indonesia.

Dia pun meminta nomor aplikasi whats up saya dengan dalih agar bisa menghubungi dengan mudah jika ada beberapa informasi lebih rinci terkait kiat-kiat meraih beasiswa di luar negeri.

Pembicaraan kami pun berlanjut di whats up. Setelah tahu bahwa saya lulusan magister studi Islam dan kandidat doktor yang meneliti Islam di Belanda, dia kemudian memperingatkan saya agar saya tidak jadi seorang yang liberal, seperti Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang dia yakini lulusan Amerika.

Bagi dia, Kiai Said Aqil Siroj telah merusak agama Islam dengan pemikirannya. Saya langsung heran atas informasi yang dia dapatkan. Dia mengaku, informasi ihwal Kiai Said diperoleh dari ustaznya semasa kuliah dia aktif mengikuti kajian Islam di salah satu kampus ternama di Bandung.

Dari aktivitas dakwah di kampus ini, ibu tersebut bertemu dengan suaminya. Saya bantah bahwa Ketua Umum PBNU bukan lulusan kampus di Amerika. Beliau merupakan lulusan universitas ternama di Saudi Arabia. Informasi seperti ini bisa diverifikasi dengan mudah di era digital seperti sekarang ini. Pertanyaannya, mengapa masyarakat malas untuk tabayun?

Dialog saya dengan ibu tadi dengan jelas mengilustrasikan bagaimana pesan dan informasi dari para pendakwah ini bisa ditelan bulat-bulat oleh para pembaca, pendengar atau penonton tanpa melakukan verifikasi.

Baca juga:  Membaca Risalah Ulama-ulama Jomblo

Akhir-akhir ini publik Indonesia beberapa kali dihebohkan oleh para pendakwah yang menyampaikan pesan dakwah kontroversial. Di antaranya bahwa operasi sesar ketika melahirkan adalah bentuk anarkisme setan terhadap manusia. Wanita yang melakukan operasi sesar itu kerasukan jin sehingga harus diruqyah.

Begitu kurang lebih pernyataan salah seorang ustadz di suatu forum dakwah

Dalam kesempatan lain, ustaz lain yang biasa menjadi pengisi acara salah satu program dakwah di stasiun televisi swasta ketika ditanya apa nikmat di surga, dia menjawab bahwa pesat seks karena nikmat ini yang selalu kita tahan-tahan di dunia.

Mungkin banyak orang yang menganggap bahwa pernyataan-pernyataan kontroversial para ustadz televisi ini tidak akan ada yang percaya. Akan tetapi, belajar dari kasus percakapan saya dengan ibu di atas, bisa jadi banyak Muslim yang meyakininya sebagai sebuah kebenaran.  Mengapa mereka bisa percaya?

Lemahnya Minat Baca

Dengan posisi Indonesia yang berada kedua terbawah (posisi 60 dari 61 negara) dalam minat membaca, maka dipastikan penonton atau pendengar dakwah akan menelan mentah-mentah apa yang disampaikan para ustaz di televisi tanpa ada keinginan untuk memahami lebih dalam apakah benar yang disampaikan mereka. Jika benar, apa alasan-alasan yang mendasarinya? Pentanyaan-pertanyaan kritis seperti ini harus selalu dimiliki oleh para pemirsa agar cara pandang mereka tidak ditutupi oleh kebodohan yang dapat merugikan mereka.

Masyarakat muslim Indonesia saat ini terjangkit virus serba instan. Ingin cepat kaya, terkenal, dan masuk surga sehingga mereka menegasi proses berfikir, bertafakur, dan pengambilan kesimpulan.

Dalam hal dakwah, mereka cenderung meminta jawaban yang hitam putih (halal atau haram) dan menghindari para ustadz atau ulama yang memberikan pilihan pandangan keagamaan lengkap dengan dalil-dalilnya. Ini merupakan tren di masyarakat Muslim Indonesia pasca reformasi. Padahal ini jelas bukan merupakan anjuran Alquran dan sunah rasul. Alquran dan Sunnah dengan jelas berkali-kali memerintahkan manusia agar menggunakan akalnya secara maksimal serta menuntut ilmu pengetahuan. Wahyu pertama dalam Alquran jelas memerintahkan agar kita harus bisa membaca terhadap segala peristiwa di alam semesta ini.

Baca juga:  Malam Nisfu Sya'ban: Menyambut Ramadan

Oleh karenanya, sangat penting bagi muslim untuk kembali pada semangat Alquran dan sunah agar giat membaca dan menuntut ilmu untuk mengentaskan kebodohan dan kemiskinan. Ini juga berlaku bagi para ustaz yang biasa mengisi acara dakwah untuk terus menambah ilmu pengetahuannya.

Mereka harus terbuka untuk mau berdialog dengan para ahli dan ulama yang sesuai dengan kapasitasnya  ketika mereka dihadapkan pada persoalan-persoalan di luar ilmu keislaman seperti lingkungan, astronomi, kedokteran dan cabang ilmu pengetahuan lainnya agar kesimpulan yang diambil berdasarkan ilmu. Tidak asal jawab.

Dakwah sebagai Komoditas

Paegheh Shirazi dalam bukunya Brand Islam: Marketing and Commodification of Piety mengatakan bahwa jika misi-misi keislaman sudah bertemu dengan kepentingan ekonomi, maka kepentingan ekonominya yang akan lebih dominan.

Bukunya mengelaborasi berbagai produk-produk dengan label halal untuk memenuhi kebutuhan muslim di negara-negara Eropa. Banyak produk yang mengandung bahan-bahan yang tidak memenuhi standard halal. Belum lagi cara pembuatannya diragukan memenuhi unsur halal. Fenomena ini sejalan dengan temuan saya tentang para ustaz di televisi-televisi swasta di Indonesia.

Demikian pula halnya dengan komodifikasi dakwah di televisi, salah seorang produser acara dakwah di televisi swasta nasional mengatakan bahwa tidak semua ustaz di televisi punya pengetahuan memadai tentang Islam.

Baca juga:  Warna Islam dalam Tradisi Lokal

Beberapa dari mereka hanya orang biasa yang memiliki wajah rupawan dan retorika yang baik. Ini kriteria utama yang diterapkan pihak televisi untuk menjadi seorang ustadz. Jadi, pengetahun tentang Islam bukan syarat utama menjadi pendakwah di televisi karena pihak televisi mementingkan unsur komersil daripada misi agama.

Konten dakwah di televisi bersifat ringan dan cenderung menghindari topik-topik yang membutuhkan nalar. Akibatnya, beragama Islam hanya dipahami sebatas ritual, identitas, dan simbol, tidak sampai pada tujuan dari ritual itu sendiri. Bahkan ada yang memahami beribadah sebagai transaksi dengan tuhan yang menghilangkan makna keikhlasan seorang hamba untuk berserah diri kepada tuhannya. Akibatnya lagi, ketakwaan hanya terbatas pada apa yang dipakai, tidak sampai pada apa yang harus dilakukan agar tuhan bisa memberikan kasih sayangnya.

Selain itu, para pemirsa hanya diperkenalkan pada satu sudut pandang keagamaan sehingga menegasikan keberagaman pandangan yang ada dari para ulama. Ini adalah pendangkalan keislaman yang berakibat mudahnya klaim terhadap kebenaran dan pada saat yang sama cenderung menyesatkan mereka yang sudut pandangnya berbeda.

Dakwah sebagai komoditas juga menimbulkan ego pada para ustaz. Mengapa?

Sebabnya tak lain karena menciptakan persaingan untuk memikat audiens lebih banyak sehingga mereka hampir pasti selalu bisa menjawab pertanyaan dari audiens. Padahal mereka seringkali menggunakan pemikiran mereka sendiri tanpa merujuk pada Alquran dan sunah  maupun pada pendapat para ulama.

Oleh karenanya, sering kita temukan para ustadz yang salah dalam berargumen dan menimbulkan keresahan di masyarakat muslim.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Terima kasih, sudah perspektif saya tentang Islam. Begitulah yg juga saya rasakan, sehingga banyak ustadz telivisi layaknya selebritis timbul tenggelam pasca masa tenar hilang. Bukan karena kedalaman ilmu agama yg dimiliki, tapi pasar yg pudar Wallahu a’lam…

Komentari

Scroll To Top