Tak banyak orang Indonesia yang dikenal sebagai pakar ilmu hadits. Di antaranya ulama Nusantara yang betul-betul tekun dalam ilmu hadits adalah Syekh Muhammad bin Mahfudz at-Turmusy serta murid kinasihnya Syekh KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama.
KH. Saifuddin Zuhri dalam bukunya ‘Guruku Orang-Orang Pesantren’ mencatat bahwa Pesantren Tebuireng pesohor dengan pengajaran ilmu hadits, terutama saat Ramadhan. Kiai Hasyim Asy’ari akan mengajarkan kitab Shahih al-Bukhari dan banyak sekali ulama besar yang turut hadir menyimak, di antaranya adalah KH. Kholil Bangkalan yang tidak lain guru beliau sendiri. Selanjutnya dikenal nama ulama bergelar ‘Musnid ad-Dunya’ yakni Syekh Yasin al-Fadani, beliau merupakan pakar hadits yang meneruskan tongkat estafet ulama asal Nusantara yang mengajar di tanah Haramain dan menelurkan banyak sekali ulama besar di pelbagai penjuru dunia.
Satu dekade sebelumnya kita mengenal KH. Ali Mustofa Ya’kub adalah imam besar Masjid Istiqlal yang concern dalam bidang keilmuan hadits. Kepakarannya di bidang hadits diakui dunia Islam di masanya. Ia mendirikan Yayasan Wakaf Pesantren Darus Sunnah di Ciputat yang khusus mencetak para intelektual yang menekuni hadits di Indonesia. di antara santri Darus Sunnah yang kemudian dikenal luas antara lain Ustadz Arrazy Hasyim. Menariknya, KH. Ali Mustofa Yakub punya alasan kuat di balik ketekunannya memlajari hadits, yakni dengan bersentuhan dengan hadits akan mendekatkan diri dengan sang pujaan hati, mengenal pribadi mulia Rasulullah, seolah-olah berhadapan langsung dengan beliau, serta semakin banyak shalawat yang disanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Lalu bagaimana di era sekarang, siapa ulama ahli ilmu hadits yang patut dijadikan rujukan di Indonesia? Salah satunya adalah al-Ustadz ad-Duktur Lukman Hakim al-Azhari. Ulama kelahiran Lombok ini merupakan pakar hadits lulusan Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Tercatat beliau belajar selama 20 tahun lebih di Universitas tertua Islam itu dari jenjang Sarjana hingga Doktoral di jurusan Hadits dan Ilmu Hadits Fakultas Dirasat Islamiyah. Kapasitas keilmuan haditsnya diakui dunia seiring dengan produktivitasnya menulis kitab hadits berbahasa Arab dan diterbitkan di pelbagai penerbit besar di Mesir dan Beirut.
Di antara kitab yang ditulisnya dan bisa didapatkan di Indonesia adalah Ithaf al-Muhibbin, Bulugh al-Umniyah, Bidayah al-Minnah, Syarah Kitab an-Niyaat, Sabil al-Iradah, dan Imdad al-Mughits. Khusus pada kitab yang terakhir Imdad al-Mughits yang berisi pembahasan seputar ilmu-ilmu hadits, terdapat pembahasan adab-adab bagi pelajar hadits yang dicontohkan para ulama. Tentunya adab-adab ini harus dipahami oleh kaum Muslimin di Indonesia agar di saat mempelajari hadits ataupun mendengarkannya saat pengajian bisa mendatangkan keberkahan dan hikmah besar di baliknya.
Adab-Adab Seorang Pelajar Hadits
Pertama, niat yang ikhlas untuk Allah semata dalam mempelajarinya, dan senantiasa waspada dari menjadikannya sebagai perantara untuk mendapatkan tujuan-tujuan duniawi atau demi maslahat instan, sehubungan dengan adanya larangan yang keras dan ancaman yang tegas perihal ini. Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Siapapun mempelajari ilmu yang sepatutnya hanya untuk mendapatkan ridha Allah namun ia mempelajarinya hanya untuk mendapatkan tujuan duniawi, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” Hammād berkata: “Siapapun yang mempelajari hadits untuk selain Allah maka ia akan tertipu olehnya.” Berkata Sufyan ats-Tsauri: “Aku tidak tahu amalan yang lebih utama dari mempelajari hadits bagi yang menginginkan (ridha) Alllah.”
Kedua, Ibnu Salah berkata: “Di antara cara yang paling tepat dalam memperbaiki niat adalah apa yang kami riwayatkan dari Abu Umar bin Najid: bahwasannya dia bertanya pada Abu Ja’far bin Hamdan –keduannya adalah lelaki saleh-: dengan niat apa aku menulis hadits? Abu Ja’far berkata: bukankah punya pandangan bahwa rahmat turn saat disebut nama orang-orang saleh? Ia menjawab: ya. Kata Abu Ja’far: maka Rasulullah Saw. adalah tuannya orang-orang saleh.
Ketiga, berakhlak dengan akhlak mulia, dan adab terpuji yang diridhai. Sebagaimana dicontohkan oleh para ulama, Sahabat Nabi seolah-olah kita sedang bersimpuh di hadapan Rasulullah Saw.
Keempat, Bersungguh-sungguh dalam menjalani proses dan mengerahkan seluruh upaya, tak lupa memohon pada Allah agar diberi taufik, kebenaran dan kemudahan di setiap langkah. Adz-Dzahabi menyebutkan di (siar ‘alam 25/266): ‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata: “Kami dulu di Mesir selama 7 bulan tidak pernah makan daging, siang hari kami isi dengan menghadiri majelis-majelis ilmu, dan malamnya kami isi dengan menyalin dan saling membandingkan tulisan.
Pada suatu hari saya dengan seorang teman saya pergi mendatangi seorang syaikh, tapi mereka bilang beliau sakit, di tengah perjalanan pulang kami membeli seekor ikan yang kami sukai. Setibanya di rumah bertepatan dengan waktu majelis kami, sehingga kami tidak sempat untuk mengurusi ikannya, maka kami tinggalkan ke majelis, demikian kondisinya sampai berlalu 3 hari dan ikan hampir rusak, akhirnya kami makan dalam kondosi mentah karena tidak ada yang memiliki waktu untuk memasaknya. Kemudian dia berkata: “ilmu tidak dapat dihasilkan dengan badan yang santai.”
Kelima, memulai berguru dari orang-orang yang paling baik ilmu, sanad, popularitas, dan agamanya yang ada di negerinya sampai tuntas. Jika itu telah dilakukan, maka berlanjut ke negeri-negeri lain sebagaimana kebiasaan para huffaz terkemuka, sekali lagi tidak pergi meninggalkan negerinya sebelum hal itu dilakukan. Ibrahim bin Adham berkata: “Sesungguhnya Allah menjaga agama ini dengan perjalanan yang dilakukan oleh para pencari hadits.”
Keenam, hendaknya bagi para pelajar hadits mengamalkan apa yang telah ia dapatkan dari hadits-hadits ibadah, keutamaan-keutamaan, adab-adab, akhlak, dan selainnya. Karena amalan yang ia lakukan itu menjadi zakat bagi hadits-hadits yang telah ia kumpulkan. Basyar al-hafi berkata: “Wahai pala pemilik hadits, tunaikanlah zakat hadits, di setiap 200 hadits zakatnya 5 hadits.” Mengamalkan hadits juga jadi asbab untuk menghapalnya, Waqi’ berkata: “Jika kamu mau menghapal hadits maka amalkanlah hadits tersebut.”
Ketujuh, memberikan faidah pada pelajar lainnya dan jangan pernah menutup-nutupi ilmu apapun, terlebih ada larangan untuk hal itu, sebagaimana yang Rasulullah Saw. sabdakan: “Siapapun yang ditanya tentang suatu pengetahuan kemudian dia menyembunyikannya, maka kelak pada hari kiamat ia akan dikekang dengan kekangan api neraka,” diriwayatkan oleh ibnu majah dan al-hakim, dishahîhkan oleh selain mereka, akan tetapi para ulama mengkhususkan ancaman ini bagi kalangan ahli ilmu saja, sementara itu mereka membolehkan untuk menutupi pengetahuan dari seseorang yang belum siap untuk menerima pengetahuan tersebut. Karena jika tetap dilakukan berarti ia telah meletakan sesuatu tidak pada tempatnya.
Kedelapan, tidak malu untuk belajar dari seorang yang lebih rendah secara nasab, umur, atau hal lainnya. Mujahid berkata: “Orang yang malu-malu tidak akan mendapat ilmu, begitu pula yang tinggi hati.” Sementara itu Waqi’ berkata: “Sesorang tidak dikatakan cerdas sampai dia bisa mengambil pelajaran dari orang yang tinggi di atasnya, dari yang setara dengannya dan dari yang lebih rendah dari padanya.
Kesembilan, Ibnu Salah berkata: kemudian hendaknya bagi para pelajar hadits tidak mencukupkan diri dengan mendengar dan menulisnya saja, tanpa memahaminya dan mengetahui maknanya. Jika demikian dai hanya melelahkan dirinya sendiri, tidak mendapat banyak manfaat.
Kesepuluh, mengulang-ulang hadits yang pernah ia dengar, menghapalnya, mendiskusikannya dengan orang memiliki pemahaman, Sayyidina ‘Ali r.a. berkata: “Ulang-ulang terus hadits ini, jika kalian tidak melakukannya maka ia akan hilang.” Sementara Ibnu Mas’ud berkata: “Ulang-ulang terus hadits, karena hidupnya pada pengulangan yang berkesinambungan.”
Dan adab-adab lainnya yang sepatutnya dimiliki oleh seorang pelajar hadits sebelum, ketika, dan setelah mempelajari hadits. Imam Mālik berkata pada seorang pemuda dari suku Quraisy: “Hai anak saudaraku, belajarlah adab sebelum belajar ilmu.” Dan Abdullah bin Mubarak berkata: “Aku belajar adab selama 30 tahun, barulah belajar ilmu selama 20 tahun, demikian mereka mempelajari adab terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu.” Terlampau banyak ucapan para ulama yang senada dengan ini. Wallahu ‘Alam