Kelas-kelas sosial ekonomi atau berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang menindas, lapuk di tangan Charles Darwin setelah menemukan teori evolusi.. Karena di masa Darwin kaum borjuis selalu mensakralisasi diri dan membenarkan semua tindakan eksploitatif yang sangat nonmanusiawi dengan beranggapan bahwa mereka adalah keturunan para dewa atau eksistensi-eksistensi suci lainnya, dan para lelaki yang menjadikan wanita sebagai budak serta tempat pelampiasan birahi belaka. Penemuan Darwin menjadi pemicu atas perlawanan terhadap tatanan ktidakmanusiaan manusia hingga saat ini.
Sebagaimana Darwin yang humanis, Nawal el- Saadawi, seorang feminis dari Mesir, dalam novel ini benar-benar memekik dan berontak atas subordinasi, diskriminasi, dan eksploitasi wanita di tempatnaya. Di mana patriarki di junjung tinggi setinggi-tingginya. Tindakan-tindakan hina tadi di ceritakan tanpa berbelit-belit dengan kalimat yang menikam keangkuhan pembaca, terutama kebobrokan laki-laki. Meminjam bahasa Mochtar Lubis dalam pengantar novel ini: “Buku yang keras dan pedas.”
“Betapapun juga suksesnya seorang pelacur, dia tidak dapat pernah mengenal semua lelaki. Akan tetapi semua lelaki yang saya kenal, tiap orang di antara mereka telah mengorbankan dalam diri saya hanya satu hasrat saja untuk mengangkat tangan saya dan menghantamkannya ke muka mereka. Akan tetapi karena saya seorang perempuan, saya tidak memiliki keberanian untuk melakukannya. Dan karena saya seorang pelcur, saya sembunyikan rasa takut saya di bawah lapis-lapis solekan muka saya.” Kritik ini menjadi awal cerita kelam di mulai.
Novel ini diadopsi dari kisah nyata, dari balik sel penjara rapat, Firdaus seorang wanita—yang divonis hukum gantung karena membunuh seorang germo—menceritakan semua lika-liku kehidupanya yang begitu tragis dan ironi kepada Saadawi (penulis novel ini). Dari sejak masa kecilnya di desa hingga menjadi pelacur kelas atas di negarnya, lalu harus menerima nasibnya itu akibat seorang pangeran yang merasa terancam dengan keberadaan Firdaus.
Hidupnya telah hancur sejak masa kanak-kanak. Keperawannannya diambil teman kecilnya dan pamanya sendiri. setiap hari, dia harus melakukan pekerjaan kasar, kelaparan,dan kedinginan. Sementara ayahnya bersikap seolah-olah raja, memperlakukan istri dan semua anaknya termasuk Firdaus secara tidak pantas dieksplotasi, bahkan sesekali didera. Ibunya pun bersikap sama persis. Dan semua orang laki-laki yang dia temui dan berkata ingin menyelamatkannya, pada akhirnya hanya akan memeras tubuhnya. Alhasil dia beranggapan:
“Saya tahu bahwa profesiku ini telah diciptakan laki-laki, dan bahwa lelaki mengusai dua dunia dunia kita, yang di bumi, dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah di bayar adalah tubuh sang istri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi pelacur bebas dari pada seorang istri yang diperbudak.”
“Saya dapat mengetahui bahwa semua yang memrintah adalah laki-laki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan dan kpribadian ang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpulkan duit, mendapatkan seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis, dan menembakkan kata-kata bercun. Karena itu, kebenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati, dan akibatnya saya menemukan bahwa sejarah cendrung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu.”
“Saya mengatakan bahwa kamu semua adalah penjahat, kamu semua: para bapak, paman, suami, germo, pengacara, dokter, wartawan, dan semua lelaki dari semua profesi.”
Membaca cuplikan-cuplikan tadi saja , membuat saya sangat tergoncang dan ketakutan di tengah lautan badai emosi Firdaus. Imajinasi saya tidak sanggup memproyeksikan keadaanya. Bukan hanya itu, sesekali saya seperti mendengar bisikannya memperingati: “Kamu laki-laki bukan? Jangan pernah sakiti perempuan!”
Cara bercerita yang jarang menggunakan dialog, tapi lebih pada monolog, menjadikan novel ini sangat menarik dan seru. Karena pembaca akan dihadapkan dan diajak untuk merasakan langsung bagaimana kondisi psikis tokoh utama dengan jelas. Bagaimana beban-beban yang mengendap dalam dirinya menembak luka pembaca. Pergantian adegan ironi singkat tanpa henti juga menjadi faktor primer yang nantinya akan memberikan kesan dan pesan mendalam setelah tuntas membacanya.
Pokok cerita Fidaus menjadi simbol atas bagaimana perempuan untuk tidak menunggu keaadaan atau para laki-laki sadar akan tindakan suordinatif dan pandangan sinisnya terhadap perempuan. Tapi juga perempuan harus bangkit melwan atas berbagai ketidakadilan pada dirinya. Seperti yang dipesakan Fidaus: “Saya megatakan yang sebenarnya. Dan kebenaran itu adalah liar dan berbahaya.” dan “ setiap harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan dari pada mati untuk salah satu kejahatan yang kau lakukan.”
Maka Saadawi di sini meraung dan menyadarkan manusia dari zona normalnya. Masihkah kesetaraan tidak perlu diperjuangkan? Apakah jadinya jika dunia ini hanya memberikan ruang untuk kaum adam, sementara para perempuan begitu terhimpit, tertindas, dan diperas? Dan kapan dunia ini akan benar-benar memberikan keindahan bagi penghuninya jika masing-masing tidak peduli dengan yang lain, tidak tolong-menolong dan saling menguatkan, tapi malah mengambil keuntungan sendiri tanpa peduli harus menggunakan cara hina dan keji? Yang pasti jawabanya ada pada diri kita.
Judul : Perempuan di Titik Nol
Penulis : Nawal el-Saadawi
Penerbit : Buku Obor
Edisi : Cet. 15, Februari 2020
Tebal : 176 halaman
ISBN : 978-602-433-438-3