Sedang Membaca
Santri, Ikan, dan Malaikat
Zaim Ahya
Penulis Kolom

Tinggal di Batang. Penulis lepas, owner kedai tak selesai, dan pengajar di PonPes TPI al-Hidayah.

Santri, Ikan, dan Malaikat

Malaikat membentangkan sayap-sayap untuknya, dan ikan laut memintakan ampun baginya. Begitu kata Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah saat membicarakan keistimewaan yang diperoleh seorang pencari ilmu, atau santri.

Namun, apakah semua pencari ilmu mendapatkan keistimewaan di atas?

Pada awal kitabnya, al-Ghazali memberikan rambu-rambu kepada pencari ilmu. Jika tujuannya untuk pamer, kesombongan, mendahului teman sejawat, dielu-elukan masyarakat dan mengumpulkan harta dunia, maka ia sedang berjalan dalam rangka menghancurkan agamanya, merusak dirinya dan menjual akhirat dengan dunia. Ibarat berdagang, ia merugi dan bangkrut.

Al-Ghazali melanjutkan, guru pencari ilmu macam di atas adalah penolong dalam kemaksiatan yang dilakukan, dan sekutu dalam kerugiannya, laiknya penjual pedang kepada perompak jalan.

Seperti sabda Nabi, “Barang siapa menolong suatu kemaksiatan, walau dengan separo kalimat, ia sekutu di dalamnya”.

Namun, jika niat mencari ilmu adalah untuk memperoleh hidayah dari Allah—Kiai Nawawi Banten memberi contoh dalam Maroqil Ubudiyah, seperti niat menghilangkan kebodohan diri dan yang orang lain, menghidupkan agama, melestarikan Islam dengan ilmu, akhirat, dan ridha Allah, atau niat bersyukur atas nikmat diberi akal dan kesehatan badan—bukan sekedar meriwayatkan (mengutip) dari ulama, maka, kata Al-Ghazali, berbahagialah! Malaikat membentangkan sayap dan ikan laut memintakan ampun untuknya.

Baca juga:  Kiai Azaim dan Komunitas Bhenning

Lebih jauh, Al-Ghazali melakukan klasifikasi. Menurutnya pencari ilmu terbagi menjadi tiga.

Pertama, ia yang mencari ilmu sebagai bekal di akhirat. Niatnya hanya mencari ridha Tuhannya dan kehidupan akhirat. Ini termasuk golongan yang beruntung.

Kedua, ia yang mencari ilmu tujuan hidup di dunia yang sebentar, seperti demi memperoleh kemuliaan, jabatan, dan harta. Namun ia tahu niatnya salah. Kata Al-Ghazali, orang macam ke dua ini mengkhawatirkan. Jika bertobat, mengamalkan ilmu dan memperbaiki kekurangan sebelum ajal datang, ia termasuk pencari ilmu macam pertama. Tapi jika tak sempat, hingga ajal tiba, ditakutkan ia su’ul khotimah dan nasibnya sepenuhnya di tangan Allah. Disiksa atau diampuni.

Ketiga, seorang yang menjadikan ilmunya sebagai alat memupuk harta, berbangga dengan kedudukan, merasa mulia sebab banyak pengikut. Namun, orang macam ke tiga ini tidak menganggap niatnya salah. Justru menyangka dirinya termasuk orang yang berbuat baik dan merasa berada di derajat yang tinggi di sisi Allah. Macam ketika ini termasuk orang-orang yang rusak, sesat cara pikirnya dan tertipu.

Kalau mencermati klasifikasi di atas, hanya macam pertama yang mendapatkan keistimewaan dinaungi malaikat dan dimintakan ampun ikan laut.

Lalu bagaimana dengan kita yang lemah ini, yang belum bisa mencari ilmu hanya karena Allah? Apakah sebaiknya kita berhenti mencari ilmu, sampai kita bisa ikhlas?

Baca juga:  Fariduddin Attar dan Mantiqut Thair: Cermin Perjalanan Spiritual Manusia

Al-Ghazali pernah mengenang, mungkin ini relevan bagi kegalauan kita di atas. Kata beliau, “Kami dulu mencari ilmu bukan karena Allah, namun ilmu tak mau, kecuali karena Allah”.

Dulu al-Ghazali ditinggal wafat ayahnya waktu dia masih kecil. Ia dititipkan ke sahabat ayahnya agar diajari ilmu. Sayangnya hal itu tak berjalan lama. Harta tinggalan ayah Al-Ghazali habis, dan temannya juga seorang yang tak cukup punya harta.

Sebab itu Al-Ghazali dan adiknya dititipkan di lembaga pendidikan gratis, yang juga memberikan makan gratis. Inilah konteks di mana Al-Ghazali mengatakan, ia mencari ilmu bukan karena Allah.

Cerita masa lalu Al-Ghazali di atas terdapat dalam kitab Tobaqotus Syafi’atil Kubro juz 6. Namun dalam Ihya Ulumuddin juz 2, Al-Ghazali mewanti-mewanti, jangan salah paham atas kata-kata di atas, yang menurut Al-Ghazali adalah kata-kata Sufyan Assauri, karena banyak yang mencari ilmu bukan karena Allah, akhirnya mati dalam kerusakan, dalam arti masih karena dunia.

Kembali ke topik awal, perihal sayap malaikat dan ikan laut. Untuk apa sayap malaikat dibentangkan, dan kenapa pula ikan-ikan laut sudi memintakan ampun?

Kiai Nawawi Banten angkat bicara lagi. Sayap malaikat dibentangkan, dan diletakkan supaya menjadi alas pencari ilmu.

Ada juga pendapat, malaikat menaungi pencari ilmu dengan sayapnya. Sedang ikan laut memintakan ampun karena seorang berilmu akan menyampaikan ke masyarakat hukum-hukum syariat, yang termasuk di dalamnya adalah larangan menyiksa hewan.

Suatu saat, seorang ustaz ditanya, kenapa tidak marah, padahal murid-murid pada mengantuk saat mengaji.

Baca juga:  Piala Dunia dan Qiyas dalam Kisah Maroko

“Mungkin mereka sedang dinaungi sayap malaikat dan beralaskannya. Kan lebih adem, lembut dan nyaman daripada angin AC, selimut dan kasur mereka,” jawab ustaz sambil tersenyum.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top