Sedang Membaca
Wahyu Kekuasaan dan Mistifikasi Survei Kepuasan Publik
Gifari Juniatama
Penulis Kolom

Gifari Juniatama adalah penulis lepas dan peneliti independen. Meminati kajian sosial, agama, dan budaya. Saat ini tinggal di Tangerang. Dapat dihubungi melalui akun instagram @gifarijuniatama atau akun facebook Gifari Juniatama.

Wahyu Kekuasaan dan Mistifikasi Survei Kepuasan Publik

pemilu politik demokrasi

Setiap penguasa membutuhkan legitimasi yang dapat menopang keabsahannya atas klaim kekuasaan. Pada era demokrasi, legitimasi kekuasaan didapatkan melalui mekanisme pemilihan umum. Angka yang didapat dari hasil pemilu dijadikan pijakan bahwa sebagian besar warga telah menyerahkan daulat kekuasaan pada seseorang yang terpilih.

Pada masa lalu, terdapat beragam cara seorang penguasa membangun legitimasi kekuasannya. Untuk para raja Jawa, legitimasi kekuasaan didasarkan atas wahyu kekuasaan yang diterimanya. Menurut sejarawan Onghokham, klaim atas kemepilikan wahyu kekuasaan ini bahkan memiliki legitimasi lebih kuat dibandingkan dengan legitimasi kekuasaan berdasarkan keturunan.

Orang-orang yang hendak berkuasa biasanya menyatakan diri telah menerima wahyu kekuasaan. Bukan hanya dari kalangan elite kerajaan, banyak juga tokoh pergerakan di kalangan masyarakat biasa yang menasbihkan dirinya mendapat wahyu kekuasaan lewat tanda-tanda ghaib yang diterimanya.

Kepercayaan terhadap wahyu kekuasaan ini sering kali dibarengi oleh kepercayaan kepada pusaka atau wangsit yang ikut menjaga langgengnya kekuasaan seseorang. Cara berpikir seperti inilah yang kemungkinan membuat Soeharto pada awal masa kekuasaannya mengumpulkan simbol-simbol kekuasaan masa lalu seperti topeng Gajah Mada dan membawanya ke Istana Merdeka.

Bagi Indonesia saat ini, klaim kekuasaan berdasarkan wahyu atau wangsit sepertinya sudah tidak bisa lagi secara otomatis membawa seseorang untuk menduduki kursi kekuasaan. Suka atau tidak, setiap orang yang menghendaki jabatan sebagai penguasa, mesti melalui mekanisme pemilu. Namun bukan berarti mitos atas kekuasaan sudah benar-benar hilang.

Karena sampai saat ini, dunia ghaib masih memiliki tempat dalam kehidupan politik kita. Masyarakat masih sering mengaitkan perkara kekuasaan dengan hal-hal mistik. Hal itu terjadi pada para politisi yang mencalonkan diri, maupun masyarakat umum sebagai pemilih dan pemilik daulat dalam negara demokrasi. Biasanya, cara pandang seperti ini mengidamkan sosok Ratu Adil yang bisa membawa kemakmuran. Sosok Ratu Adil ini diyakini membawa wahyu kekuasaan pada dirinya.

Baca juga:  Hikmah Rukun Haji (4): Sa’i, Tempat Bertemunya Dua Tradisi Besar

Dalam realitas demokrasi, wahyu dan wangsit kekuasaan itu adalah survei opini publik. Jika di masa lalu wahyu kekuasaan dipercaya datang melalui tanda-tanda ghaib, wahyu kekuasaan hari ini dibangun oleh kecanggihan teknik pemasaran dan keahlian memoles citra diri yang bisa membuat banyak orang bersimpati. Lalu tergerak untuk memilih seseorang, yang perolehan suaranya dalam pemilu menjadi pijakan legitimasi kekuasaan.

Data survei jelas merupakan produk ilmiah. Dihasilkan dari sebuah kerja akademik dengan kedisiplinan metodologi yang terjaga. Namun, bukan berarti data-data itu tidak bisa dijadikan mitos yang bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu. Perjalanan sejarah manusia menunjukkan bahwa tidak sedikit alat hasil kemajuan teknologi bernasib menjadi pusaka keramat yang diyakini memiliki kekuatan mistik dan membawa kesaktian bagi pemegangnya.

Hal itu juga sepertinya berlaku pada data survei opini publik. Apalagi jika secara kebetulan angka survei kepuasan publik yang didapat menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Informasi semacam ini akan terus dibesar-besarkan, digaungkan, dan dijadikan alasan bahwa capaian itu menunjukkan kesaktian. Menjadi cap atas klaim kekuasaan, yang menutupi sebagian suara yang tidak puas dan terpinggirkan.

Tapi data survei kepuasan publik ini memiliki semacam paradoks, yang bisa dilihat dalam beberapa data yang ada. Seperti data survei kepuasan publik yang dikeluarkan oleh Indikator Politik Indonesia pada April 2024 lalu, yang menunjukkan 77,2% masyarakat puas terhadap kinerja presiden. Pada saat bersamaan, data itu juga menunjukkan terdapat 40,3% masyarakat yang menganggap kondisi ekonomi memburuk. Dari data ini, opini publik terkesan ambivalen, merasa hidup susah dalam urusan ekonomi namun tetap merasa puas.

Baca juga:  Kliping Keagamaan (14): Qur'an dan Metafora, Debat Quraish Shihab dan Nurcholis Madjid

Dalam survei lain, ambivalensi sikap juga dapat ditemukan. Misal dalam data yang dirilis oleh Litbang Kompas pada Juni 2024 lalu. Survei tersebut menemukan bahwa sebanyak 75,6% masyarakat merasa puas terhadap kinerja presiden. Dalam data survei yang sama, angka kekecewaan publik cukup besar dalam hal penegakan hukum. Mereka yang tak puas menilai pimpinan pemerintahan saat ini tidak mampu menahan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Sikap mendua dalam persepsi publik inilah yang sepertinya melanggengkan mistifikasi survei kepuasan publik sebagai basis legitimasi kekuasaan. Saat masyarakat merasa sulit dalam urusan ekonomi dan nurani hukumnya tercabik, mereka tetap bisa memberi nilai puas pada pemerintah. Lantas, dari mana asal-usul sikap itu muncul?

Kemungkinan, sikap itu hadir dari mentalitas masyarakat dalam memandang penguasa. Masih banyak dari masyarakat kita yang menata hubungan dengan negara seperti seorang kawula menghadapi gusti. Menurut Kuntowijoyo, mereka yang bermental kawula mempersepsikan negara sebagai Raja atau Kaisar yang memiliki kekuasaan absolut. Oleh sebab itu, negara yang diperlakukan sebagai raja akan dipandang maksum tanpa cela.

Dalam situasi mental sebagai seorang kawula, masyarakat cenderung untuk menyandarkan pikiran dan imajinasi tentang kehidupan publik kepada mitos-mitos, pandangan mistis terkait masyarakat, bahwa sosok penguasa adalah Ratu Adil yang bisa menjadi penyelamat dari segala masalah. Mentalitas kawula menjauhkan masyarakat dari realitas objektif. Perjalanan sejarah menjadi seolah putar balik ke masa lalu, sebelum kesadaran menjadi warga negara yang bermartabat dan setara tumbuh.

Baca juga:  Ijtihad, Taklid, dan Paradoks dalam Beragama

Intervensi polesan citra diri dan teknik pemasaran politik yang sangat intens ini tentu semakin berbahaya jika ditargetkan pada mereka yang tidak punya keinginan untuk bersikap kritis. Perlahan wilayah publik milik masyarakat akan terus digerogoti segelintir orang dan warga hanya akan menjadi sapi perah, diperas hingga kering sambil terus bertepuk tangan dengan pertunjukan kebijakan populis yang dibuat-buat.

Seorang pejabat publik belum lama ini mengatakan bahwa meskipun hidup miskin, tapi masyarakat Indonesia tetap bisa bahagia. Pernyataan itu dilontarkan saat melihat data Indeks Pembangunan Keluarga di Indonesia yang ternyata memiliki skor kebahagiaan cukup tinggi. Begitulah data diperlakukan oleh para pejabat saat ini. Data yang menggambarkan realitas masyarakat dengan enteng bisa dijadikan mainan.

Masyarakat terlalu sibuk untuk saling mengkritik sesama. Tetapi lupa untuk bersikap kritis pada kekuasaan. Bangsa Indonesia yang selama ini membanggakan sikap tolerannya, dimanfaatkan secara picik oleh mereka yang ingin meraup keuntungan dari akomodasi kultural yang dimiliki oleh masyarakat.

Seabad lalu, di permulaan abad ke-20 masyarakat bangsa ini telah memulai untuk membuat berbagai pergerakan terorganisir yang menjadi saluran protes untuk meyatakan ketidakpuasan. Usaha yang pada akhirnya berbuah proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Saat itu, mental kawula sudah ditanggalkan oleh banyak orang, meskipun belum sepenuhnya.

Kini, setelah 79 tahun negara didirikan, sudah selayaknya kita mengingat kembali bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas menuju kemakmuran. Tidak boleh ada manipulasi berupa strategi pemasaran dan polesan citra diri yang terus diulang oleh para pendengung, yang bisa menjerumuskan warga dan membuat para oportunis dengan nyaman memanfaatkan kebaikan kita.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top