Semarang merupakan kota tua yang meninggalkan banyak sejarah, peradaban dan peninggalan. Tentu semua orang mengamini hal ini, dari mulai ujung utara Pelabuhan Tanjung Mas sampai ujung Ambarawa tidak lepas dari titik-titik lokasi bersejarah. Namun apabila kita meniti gambaran Semarang yang muncul hanya Lawang Sewu, Kota Lama, dan Fort Williem atau Benteng Pendem. Semuanya adalah jejak yang ditinggalkan para penjajah khususnya era Belanda dan Jepang. Sementara jejak pesebaran Islam di kota lumpia ini kerap kali disampingkan dan tidak terlalu diminati untuk dikunjungi.
Sebatas napak tilas saja, sebenarnya Semarang tidak kalah menariknya dengan kota-kota yang memiliki banyak peninggalan sejarah keislaman. Penulis pernah jalan-jalan ke daerah pinggiran Semarang bagian utara dan sepanjang pelabuhan lama hingga sekitar Pasar Johar, kami melihat banyak percampuran etnis di sana, seperti China, Arab hingga India. Mereka memiliki perkampungan sendiri, ada Kampung Arab-Yaman di Petek, Pecinan bagi koh-koh China dan perkampungan orang Koja (keturunan Arab-Gujarat) di Pekojan. Bahkan di kampung Kalicilik (belakang Stasiun Poncol) ada beberapa makam pendatang Arab keturunan Alawiyyin yang dimakamkan di daerah tersebut. Dengan adanya tanda-tanda tersebut sudah menjadi bukti bahwa Semarang pernah menjadi tempat transit utama dan tujuan para pendatang dari luar nusantara.
Ketika penulis menghendaki untuk menunaikan sholat di Masjid Pekojan, tiba-tiba sepasang mata tertuju pada lokasi yang sedang ramai dikelilingi peziarah. Akhirnya melangkah ke tempat tersebut, dan terdapat beberapa makam dan ada satu makam yang dirawat dengan baik.
Makam tersebut tertulis Syarifah Fatimah binti Sayyid Husain bin Ahmad Al-Idrus. Dalam nisan kuburanya tercatat wafat tanggal 5 Jumadil Akhir tahun 1290 H artinya usia wafatnya sekitar satu abad lebih sampai sekarang. Sementara tanggal kelahiranya masih banyak kontroversi sehingga belum diketahui tahun kelahiran yang tepat. Bentuk makamnya terlihat sederhana dengan marmer dan kramik, nisan yang digunakan juga tidak memiliki banyak corak selayaknya makam-makam para wali di Jawa.
Kemudian saya bertolak menemui Habib Ali Baharun, salah satu pengurus masjid Pekojan, saya meminta beliau untuk bercerita tentang makam yang diistimewakan ini. Ia menuturkan bahwa Syarifah Fatimah merupakan ulama yang meninggal muda, beliau pernah dijodohkan dengan seorang lelaki namun belum pernah digauli kemudian meninggal dalam keadaan suci (perawan).
Syarifah Fatimah adalah perempuan alim yang meninggal muda dan masih perawan, pernah dijodohkan namun belum sampai disentuh,” ungkap Ali Baharun.
Seiring berjalanya waktu makam Syarifah Fatimah menjadi objek wisata religi di kampung Pekojan, banyak peziarah yang datang dari berbagai kota untuk berdoa agar segala hajatnya diijabah oleh Allah Swt. Warga setempat meyakini Syarifah Fatimah adalah waliyullah yang memiliki banyak karomah. Selain bertemu dengan Habib Ali Baharun, bertemu juga dengan Alwi Salah satu warga setempat, ia sempat menceritakan bahwa Syarifah Fatimah adalah tabib atau penyembuh dari berbagai penyakit, konon dahulu warga Pekojan sering meminta obat atau air yang disuwuk dengan do’a oleh Syarifah Fatimah.
“ini makamnya orang hebat, dulu bisa menyembuhkan penyakit, sayangnya meninggal muda.” kata Alwi
Cerita serupa juga disampaikan oleh Desi salah satu warga yang memiliki keturunan bangsa Koja. Menurut penuturan Desi, Syarifah Fathimah adalah ulama perempuan yang berasal dari Yaman dan keturunan Rasulullah. Warga setempat sudah terbiasa menyebut keturunan Rasulullah dengan istilah orang Arab. Desi mengatakan beliau adalah ulama yang sering membuka pengajian dan memberikan pencerahan untuk masyarakat. Sehingga kiprahnya di masyarakat sangat dihormati.
“Syarifah Fatimah adalah orang Arab, orang pinter atau ulama perempuan dahulu.” imbuh Desi
Selain itu, dilain kesempatan penulis bertemu dengan Habib Rifqi bin Aziz Shahab dan kebetulan ia bersedia untuk ngobrol tipis-tipis untuk menceritakan keistimewaan Syarifah Fatimah. Beliau pernah mendapatkan cerita bahwa Syarifah Fatimah selalu melanggengkan membaca surat Al-Waqi’ah, surat Al-Mulk dan surat Al-Thoriq dan selalu membaca do’a taubat karena menurut riwayat Syarifah Fatimah selalu mengingat neraka oleh karena itu sering melanggengkan do’a tersebut.
“Saya mendapatkan cerita kalau beliau melanggengkan bacaan membaca surat Al-Waqiah, Al-Mulk dan At-Thoriq. Beliau juga sering berdoa taubat karena seorang wali itu sering teringat pedihnya neraka,” kata Habib Rifqi Shahab.
Bagi yang pertama kali berkunjung ke Masjid Pekojan, mungkin akan terheran-heran ketika masuk pada bagian sisi masjid, ada beberapa nisan makam tak bernama dan letaknya tidak beraturan. Tidak hanya di sisi kiri masjid saja, di sisi kanan masjid dekat makan Syarifah Fatimah dan pohon bidara pun juga ada beberapa makam serupa.
Makam-makam ini adalah bekas makam dari warga sekitar yang dahulunya tinggal di sekitar masjid. Karena sebelum menjadi bangunan masjid, bangunan ini merupakan mushola kecil dan pemakaman umum untuk warga sekitar yang mewakafkan tanah untuk tempat ibadah. Alwi juga menceritakan sejarah perkembangan masjid ini.
“Dulunya sekitar masjid adalah makam, namun sudah direlokasi.” ungkap Alwi
Di tangan kepengurusan Akuan (keturunan orang Gujarat) masjid ini mengalami kemajuan dan pada tahun 1305 H. Oleh keluarga Akuan, masjid ini direnovasi dengan bangunan yang lebih kokoh dengan lantai dari marmer dan sebagian dinding dilapisi keramik yang konon didatangkan dari negeri Cina.
Pada saat itu perkembangan di daerah tersebut makin lama makin ramai di tambah lagi di daerah tersebut juga sebagai tempat perdagangan yang ramai sehingga masjid ini pun perlu diadakan perombakan dan penambahan bangunan untuk menampung jemaah yang semakin banyak, tapi sayangnya perombakan itu harus menggusur sebagian area pemakaman yang ada di sekitar masjid. sampai saat ini dapat kita lihat beberapa makam di sekitar masjid yang nisannya mempunyai nama maupun tanpa nama.
Baca juga tulisan saya sebelumnya: Napak Tilas Makam Sayyid Umar Maghribi di Semarang Utara