Sedang Membaca
Sajian Khusus: Agama dan Pelintiran Kebencian
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sajian Khusus: Agama dan Pelintiran Kebencian

Sajian Khusus

Sajian khusus edisi ke-107 ini kita kedatangan tamu spesial, seorang mahasiswa di Fakultas Ilmu Komunikasi, Jurnalistik, Universitas Mpu Tantular, Jakarta: Aan Afriangga. Ia membabar tentang tema yang hangat dalam enam tahun belakangan ini, agama dan pelintiran kebencian.

Keempat esai yang dibabar adalah hasil perenungan mendalam penulis selama beberapa waktu belakangan terkait fenomena pelintiran kebencian di Indonesia, yang dapat berkaitan dengan agama dan kekuasaan.

Keempat esai ini, juga berangkat dari riset mendalam yang dilakukan oleh Cherian George, seorang profesor asal Singapura, yang salah satu fokus akademisnya berada pada ranah kebebasan berekspresi dan propaganda kebencian. Riset mendalam tersebut telah dibukukan, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Wakaf Paramadina, yang bekerja sama dengan Institute of International Studies UGM—bertajuk Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya Bagi Demokrasi (2017).

Riset tersebut penting untuk dilihat, karena relevan dengan situasi Indonesia. Relevansi itu tercermin jika kita ingin melakukan pembacaan atas kekerasan yang terjadi di Indonesia atas nama agama atau ketersinggungan suatu kelompok (mayoritas-minoritas), yang berkaitan dengan upaya untuk meraih kekuasaan. Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam keempat esai ini, ialah sebagai berikut.

Kebencian, jika disorot dari kacamata keagamaan, adalah sebuah sikap yang mestinya dijauhkan bahkan dikubur dalam-dalam oleh setiap umat manusia. Namun, jika kebencian disorot dari kacamata politik, apakah esensinya akan tetap demikian: sebuah sikap yang mestinya dijauhkan bahkan dikubur dalam-dalam oleh setiap umat manusia? Lebih jauh, karena kebencian selalu diasosiasikan dengan konotasi yang serba negatif? Saya ragu untuk sekadar mengatakan “ya”.

Baca juga:  Kunjungan Paus Fransiskus dan Nasib Kaum yang Terpinggirkan

Untuk itu, keempat esai ini hendak menjawab pertanyaan (atau keraguan) tersebut. Karena dalam keadaan tertentu, kebencian bisa menjadi alat yang strategis untuk meloloskan kepentingan yang sedang dijalankan. Baik itu dilakukan oleh individu, suatu kelompok atau organisasi, dan lain sebagainya, yang sekiranya—memerlukan kebencian untuk dijadikan sebagai sarana guna mobilisasi massa terkait suatu isu.

***

Kemudian, struktur dalam tulisan ini dibagi ke dalam empat bagian. Pertama, saya hendak mengurai sedikit konseptualisasi tentang apa itu pelintiran kebencian menurut George. Selanjutnya, pembahasan mulai mengerucut kepada ancaman dan bahaya yang dapat ditimbulkan akibat pelintiran kebencian ini. Terlebih bagi keberlangsungan demokrasi.

Kedua, saya melanjutkan ancaman dan bahaya yang ditimbulkan dari pelintiran kebencian ini. Bahwa pelintiran kebencian, bisa dibilang adalah sebuah strategi (alat) pertikaian yang dilakukan oleh para wirausahawan politik untuk mendapatkan kekuasaan. Untuk mendapatkan kekuasaan tersebut, mereka kerap mengorbankan kelompok-kelompok minoritas, atau yang bersebrangan dengan arus utama. Strategi ini menekan adanya keberagaman, yang bertentangan dengan semangat Pancasila atau cita-cita para pendiri bangsa Indonesia.

Ketiga, saya hendak mengetengahkan, bagaimana bahasa juga bisa berkontribusi dalam tindak kekerasan. Untuk membuktikan hal itu, saya mengutip pemikiran Slavoj Žižek, seorang filsuf, sosiolog, dan kritikus budaya dari Slovenia, yang mengurai berbagai jenis kekerasan, terlebih kekerasan yang dapat berkait-kelindan dengan bahasa.

Baca juga:  Kata Tahun Ini

Di bagian penutup, saya hendak melakukan pembacaan atas politik Indonesia pasca-reformasi, yang fokusnya pada tindakan intoleransi. Tindakan intoleransi itu saya urai satu persatu, dan bagaimana, tindakan tersebut pada akhirnya membuat demokrasi dan perdamaian antar sesama manusia, menjadi kian sulit terwujud. Strategi pelintiran kebencian ini kembali menegaskan, bahwa kelompok minoritaslah yang akan merasa rugi, dan para wirausahawan politiklah yang akan diuntungkan.

Semoga keempat esai ini menjadi bara pemantik diskusi bagi teman-teman lain, guna menindaklanjuti hal ini lebih jauh lagi. Juga, saya harap, apa yang saya beri dapat membangun kesadaran baru atau meningkatkan kesadaran teman-teman pembaca yang sebelumnya telah terkikis, terkait bahaya dan ancaman dari pelintiran kebencian terhadap demokrasi di Indonesia. Karena dengan mengetahui dan menyadari hal ini, kita bisa tegas dalam menentukan keberpihakan. Siapa yang semestinya perlu kita bela, dan siapa yang semestinya perlu kita waspadai. Ringkasnya, kita tidak mudah terombang-ambing oleh retorika para broker massa.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top