Setelah berdoa di “al Aqsa al Qadim” di ruang bawah tanah, aku kembali berjalan menaiki tangga yang diapit oleh dinding-dinding batu purba. Sambil memasuki ruang utama masjid, aku tak henti mengagumi keindahan desain interior al Aqsa yang sangat megah.
Di antara 45 pilar raksasa dari marmer atau batu yang berbaris simeteris membentuk tujuh lorong utama di bawah naungan atap tinggi dengan langit-langit dari kayu kuno berukir rumit, aku berjalan perlahan menapaki karpet lembut berwarna merah.
Sinar matahari membias menembusi 121 jendela-jendela kaca warna bergambar berukuran besar yang terpasang sejak masa dinasti Abbsyiah dan Fatimiah. Di atasku adalah kubah timah berwarna kelabu dengan langit-langit melengkung berhias kaligrafi ayat-ayat Alquran dan jendela-jendela bermotif flora berwarna hijau tua yang amat sublim.
Keseluruhan unsur arsitektur bangunan ini terasa ditata amat cermat sedemikian rupa dari abad ke abad untuk menyambut siapapun yang datang supaya bisa merasakan kehadiran Yang Maha Agung.
Dalam hening, siapapun yang sujud sepenuh hati akan merasakan kehadiran Yang Ghaib memenuhi ruangan dan waktu di tempat suci ini.
Selain al Aqsa al Qadim, Masjid Umar, Masjid Buraq dan Masjid Marwan yang telah kusebutkan, di kompleks Masjid al Aqsa ini juga terdapat berbagai situs bersejarah yang amat bermakna dalam tradisi Islam. Mihrab Zakariya di sisi timur dan Mihrab Maryam di sisi tenggara ruang utama masjid al Aqsa adalah dua diantaranya.
Dalam tradisi Islam, Nabi Zakaria dikenal sebagai seorang penjaga Baitul Maqdis. Kepada beliaulah semasa mudanya dulu Maryam, ibunda Nabi Isa, dipasrahkan oleh keluarganya untuk diasuh. Jika tidak sedang belajar atau melakukan pekerjaan merawat Baitul Maqdis, Maryam muda akan menghabiskan waktunya dalam khusyuk sembahyang.
Berdiri atau duduk khidmat di depan mihrab itu, kita bisa membayangkan bagaimana kedua orang suci itu dulu banyak tenggelam dalam dzikir panjang untuk mendekatkan diri kepada Sang Khaliq.
Menurut beberapa sumber, mihrab Maryam inilah tempat yang disebut dalam Alquran 3:37 di mana Allah sering mengirim makanan kepada Maryam secara langsung. “Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nadzar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya sebagai pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: ‘Wahai, Maryam darimana Engkau memperoleh (makanan) ini?’ Maryam menjawab ‘Makanan itu dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa saja yang dikehendakiNya secara di luar perhitungan.”
Kemudian di sisi kanan mihrab utama masjid Qibli agak maju ke depan berdiri mimbar kayu raksasa yang amat megah, Mimbar Shalahuddin al Ayyubi. Mimbar itu juga disebut Mimbar Nuruddin karena dulunya memang dibuat di Aleppo atas perintah Sultan Nuruddin Zangi antara 1168-1174 ketika ia mempersiapkan penaklukan kembali Yerusalem dari tangan Tentara Salib. Nuruddin Zangi meninggal sebelum Yerusalem bisa direbutnya. Ketika Shalahuddin menaklukkan Yerusalem pada 1187, ialah yang memboyong mimbar itu dari Aleppo ke masjid al Aqsa.
Mimbar yang sangat indah itu terbuat sepenuhnya dari kayu dan diukir dengan desain geometri dan motif tumbuhan. Tiga bagian utamanya, yakni pintu, tangga dan podium dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan teknik penyambung tanpa paku yang sangat canggih.
Pada mimbar itu juga terpahat kaligrafi ayat-ayat Alquran serta inskripsi wakaf dari Nuruddin Zangi dan anaknya serta nama seniman yang membuatnya, Akhtarini.
Mimbar yang berdiri sekarang adalah duplikat dalam wujud yang lebih sederhana setelah yang asli hangus terbakar. Yang menarik, dalam proses pembuatan kembali replika mimbar Salahuddin itu pada 2007, lima orang pengukir asal Jepara turut didatangkan untuk menyumbangkan keahlian mereka.
Dihuni manusia selama ribuan tahun secara terus-menerus tanpa putus, Yerusalem memang sangat kaya dengan sejarah. Sepanjang zaman, tidak heran banyak pula tokoh muslim yang menjadikan kota ini sebagai tempat tujuan yang penuh inspirasi. Di antara mereka adalah ulama besar Imam al-Ghazali.
Ketika mengalami krisis spiritual, al-Ghazali meninggalkan posisi dan reputasinya yang sangat terhormat di Baghdad untuk berkelana demi menemukan makna kesejatian dalam hidup. Salah satu tempat yang dituju adalah Yerusalem.
Ketika itu, tahun 1095, situasi dunia sebetulnya sedang meruncing. Paus Urbanus II sedang menyiapkan ribuan tentara Salib untuk merebut Yerusalem. Tapi perjalan al-Ghazali bukan pertama-tama pengelanaan lahir. Perjalanan lahirnya hanya merupakan bagian dari pengembaraan ruhani.
Tanpa mempedulikan segala yang berlangsung di dunia sekitarnya, di Yerusalem ia menyepi di salah satu sudut masjid al Aqsa. Meninggalkan kenikmatan hidup duniawi, popularitas, harta, prestise sosial dan semua kekayaan yang pernah dimilikinya, al-Ghazali tinggal di sana selama beberapa tahun untuk berdzikir, mujahadah, tafakur dan menulis. Antara lain di sini pula lahir karya monumentalnya, Ihya’ Ulumuddin yang sangat terkenal itu.
Ruang tempat uzlah al-Ghazali yang terletak di bagian belakang masjid masih terpelihara baik hingga hari ini. Di kamar yang tidak terlalu besar di ruang bawah tanah, di balik dua pintu dan di bawah kubah kembar, Imam Ghazali menghabiskan waktunya dalam kesendirian yang utuh. Sayang ruang itu kini telah ditutup untuk umum dan disegel setelah Yayasan Waqf yang mengelola masjid al Aqsa dituduh oleh pemerintah Israel telah menggunakan ruang itu untuk kegiatan yang terkait dengan terorisme.
Kamar yang digunakan al-Ghazali itu terletak persis di belakang Gerbang Emas (The Golden Gate, Bab al Dhahabi), salah satu dari delapan gerbang yang merupakan pintu akses keluar-masuk Kota Kuno Yerusalem. Tidak jarang dulu al-Ghazali tampak duduk termenung dan menuangkan gagasan-gagasan cemerlangnya dalam kitab Ihya’ itu di atas tembok Gerbang Emas tersebut.
Sekarang Gerbang Emas ini telah ditutup secara permanen sejak abad pertengahan ketika dinasti Turki Usmani berkuasa. Gerbang yang terletak pada tembok Timur masjid al Aqsa itu memiliki dua pintu. Pintu sebelah selatan disebut Pintu Rahmah karena persis di depan pintu itu terletak kompleks pemakaman Rahmah di mana dua sahabat Nabi dimakamkan, yakni Ubadah bin Samit dan Shaddad bin Aus. Keduanya termasuk para perawi sejumlah hadits dan mengalami periode kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Sedang pintu sisi utara disebut Pintu Taubat. Sebagian umat Kristen percaya bahwa lewat Gerbang Emas inilah kelak Yesus akan muncul ketika ia turun kembali ke dunia.
Selain kisah-kisah menakjubkan, kompleks al Aqsa memang juga sarat dengan cerita mengenai konflik. Itulah sebabnya, turis non-Muslim kini tak diijinkan bebas memasuki bangunan Dome of the Rock maupun masjid al Aqsa, kecuali jika ada ijin khusus.
Seperti sudah kusinggung pada bagian terdahulu, sebelum tahun 2000 semua orang, termasuk turis non-muslim sebetulnya masih bebas memasuki dan turut menyaksikan keindahan interior kedua bangunan suci utama itu. Tapi akibat terjadinya serangkaian peristiwa konflik dan kekerasan yang beruntun, kebijakan untuk para pengunjung akhirnya diubah.
Pada tahun 2000, Ariel Sharon yang ketika itu merupakan pemimpin partai oposisi dan anggota parlemen Israel dari Partai Likud tiba-tiba memasuki kompleks masjid al Aqsa bersama seribuan pengawal bersenjata. Tindakannya ini sebetulnya hanya bersifat simbolik saja, tapi efeknya sangat panjang.
Tadinya, karena ada “fatwa” resmi dari lembaga kerabian Yahudi tertinggi mengenai status kesucian Temple Mount atau kompleks al Aqsa, orang-orang Yahudi yang masih relijius (70% penduduk Israel adalah Yahudi sekuler yang sudah tidak peduli pada urusan agama), tidak ada yang berani memasuki tempat keramat itu. Sesuai dengan “hukum Taurat”, orang-orang Yahudi awam diharamkan berdoa, bahkan menginjakkan kaki di sana.
Tapi sejak tindakan Sharon—meski sampai hari ini larangan lembaga kerabian tertinggi itu masih dipatuhi oleh mayoritas umat Yahudi relijius dan tetap menjadi pegangan pemerintah Israel demi alasan keamanan—kini makin banyak orang Yahudi garis keras yang menuntut diberi akses memasuki Temple Mount.
Tindakan provokatif Sharon inilah yang kemudian menimbulkan kekhawatiran besar dan memicu serangkaian protes di kalangan warga Paletina yang dikenal sebagai gerakan Intifadah Kedua.
Sementara di kalangan Yahudi, tindakan Sharon dan konflik yang mengikutinya justru membuat karir politiknya makin naik daun, bahkan berhasil mengantarnya menjadi perdana menteri Israel pada tahun berikutnya.
Akibat Intifadah Kedua itu setidaknya tiga ribuan orang Arab Palestina meninggal dalam bentrok dan lebih dari dua kali lipatnya dipenjara, sementara seribuan nyawa orang Israel juga melayang dalam serangkaian kekerasan selama beberapa tahun berturut-turut. Jelas ini memperburuk rentetan konflik berdarah di sekitar masjid al Aqsa yang sudah terjadi sebelumnya, termasuk ulah kelompok ekstrimis Yahudi seperti Jewish Underground pada tahun 1980an dan protes-protes tahun 1990an yang kemudian memicu gerakan Intifadah Pertama dengan korban nyawa yang tidak sedikit.
Riwayat kekerasan di kompleks al Aqsa memang panjang dan amat menyedihkan. Mundur lagi ke belakang, pada 21 Agustus 1969 seorang Kristen Injili Australia, Denis Michael Rohan juga pernah berusaha membakar masjid al Aqsa.
Akibatnya, kebakaran cukup parah melahap bangunan hingga mencapai atap masjid. Meski akhirnya api bisa dipadamkan, mimbar bersejarah peninggalan Salahuddin al Ayyubi yang berusia lebih dari delapan abad hancur menjadi puing-puing.
Setelah diseret ke pengadilan, pelaku pembakaran akhirnya dibebaskan dengan alasan sakit jiwa. Antara lain didorong oleh peristiwa kekerasan tersebut dan konflik yang berlarut-larut antara negara-negara Islam khususnya blok Arab melawan Israel kemudian dibentuklah Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1972.
Selain orang Yahudi yang berkepentingan langsung untuk mendirikan Kuil Ketiga, kenapa ada orang Kristen fanatik seperti Denis Rohan asal Australia itu yang ikut-ikutan memperkeruh konflik di kompleks suci al Aqsa yang sudah rumit?
Bagi kelompok Kristen tertentu, terutama yang disebut Kristen Zionis, upaya untuk menghancurkan kedua tempat suci umat Islam itu dipercaya akan bisa mempercepat kedatangan kembali Yesus yang kedua.
Itulah sebabnya, kelompok ini habis-habisan mendukung berdirinya negara Israel dan bahkan konflik antara Israel dengan orang-orang Arab di sekitarnya yang akan memuncak menjadi perang puputan, Armagedon. Sebab, pecahnya perang itu merupakan jalan menuju kekacauan yang akan menjadi sarana turunnya al Masih yang mereka tunggu-tunggu sekian lama.
Jangan keliru, di Amerika Serikat, kelompok Kristen Zionis jumlahnya cukup besar dan mereka inilah yang selalu berada di balik dukungan tanpa syarat terhadap Israel. Secara rutin mereka mengumpulkan sumbangan finansial dan melakukan ziarah ke tempat-tempat di Israel yang disebut dalam Kita Injil sambil membayangkan bagaimana kelak Sang Juru Selamat itu akan turun. Orang-orang Kristen di Papua yang sempat mengibar-ngibarkan bendera Israel beberapa waktu lalu adalah bagian dari kelompok Kristen Zionis yang ada di Indonesia.
Memang, keterlibatan pihak luar yang membawa kepentingan masing-masing ketika menunjukkan keberpihakan dalam konflik Palestina-Israel ini lebih banyak memperburuk situasi yang sudah ada. Itu yang kerap diperlihatkan oleh sejumlah kelompok di Indonesia, termasuk ketika Ramadan tahun 2018 lalu Front Pembela Islam (FPI) menggelar acara buka bersama di halaman masjid al Aqsa dengan dukungan suatu organisasi Islam Turki.
Tanpa berusaha memahami kompleksitas masalah dan secara tulus berempati mencarikan solusi bagi para warga Palestina, banyak orang hendak masuk melakukan campur tangan demi kepentingan sempit kelompoknya. Entah situasi yang sangat memilukan itu akan terus terjadi sampai kapan.
Setelah kunjungan siang itu, aku masih beberapa kali lagi kembali ke kompleks al Aqsa. Dalam kunjungan terakhir yang kulakukan sendirian sebelum pergi meninggalkan Yerusalem, aku berdiam di al Aqsa untuk mengikuti jama’ah Maghrib sampai ‘Isya. Sebetulnya aku ingin sekali menghabiskan malam dan menikmati suasana keramat di sana, sayang situasi tak mengijinkan.
Aku baru pergi setelah lewat jam sepuluh malam, ketika bunyi kunci-kunci logam berat yang beradu dengan pintu-pintu raksasa berwarna hijau mulai terdengar menggema. Sebagian besar para jama’ah salat ‘sya tampak telah pergi. Para penjaga masjid mulai mengunci pintu-pintu utama. Sebagian besar pintu-pintu keluar masjid menuju pemukiman di Old City pun sudah mulai ditutup. Di sekitar pintu gerbang para penjaga keamanan Israel masih tampak berdiri dengan senjata otomatis di tangan mereka.
Sendirian aku berjalan menuju hotel. Toko-toko dan rumah-rumah warga Arab di sepanjang lorong-lorong sempit Kota Tua Yerusalem tampak telah bersiap untuk tidur. Tinggal beberapa pedagang yang terlihat sibuk membersihkan dan menyiram jalan beraspal batu di depan toko mereka yang sudah tutup. Truk pengangkut sampah, satu-satunya jenis kendaraan roda empat yang boleh beroperasi di kota tua yang dikelilingi tembok itu, juga tampak telah siap beranjak pergi.
Ketika sampai di Gerbang Umar bin Khattab, aku sengaja berdiri dan menyempatkan untuk memandang sekitar, entah berapa lama. Dalam situasi yang tampak normal, dengan jutaan lampu-lampu malam yang berkerlip menghiasi lembah dan bukit-bukit, sekali lagi aku terpesona pada keindahan peradaban kota berusia ribuan tahun ini yang sungguh menawan.
Aku teringat pembicaraanku dengan Ishaq beberapa hari lalu. “Apa pendapatmu mengenai Yerusalem?” tanyanya setelah ia mengajakku berkeliling kota.
“Ini adalah salah satu tempat paling menakjubkan di muka bumi yang pernah kusinggahi,” jawabku. “Tapi juga tempat yang amat menyedihkan…,” entah kenapa aku merasa perlu menambahkan kalimat itu setelah diam beberapa lama.
Kadang kejujuran dan kebenaran berdampingan bukan pada saat yang kita inginkan. Diam-diam aku menyesal telah bicara terus terang.
Ishaq menatapku tanpa menolak atau mengiyakan. Setelah itu kami kembali memandang Yerusalem dari atas bukit. Dari posisi yang berbeda, kukira kami merasakan hal yang sama dalam diam.
Yerusalem tampak begitu memukau. Tapi keindahannya mirip gunung berapi yang kita saksikan dari suatu jarak. Di balik kecantikannya, ia menyimpan magma yang menggemuruh dan bisa meledak sewaktu-waktu.