Sedang Membaca
Ulama Banjar (66): KH. Zafri Zamzam
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Ulama Banjar (66): KH. Zafri Zamzam

Kh. Zafry Zamzami

(L. 18 September 1918 – W. 1972)

Zafry Zamzam dilahirkan di desa Sirih, kecamatan Simpur, kabupaten Hulu Sungai Selatan. Beliau lahir dari keluarga petani. Ayahnya bernama Zamzam dan ibunya bernama Ijum. Keduanya bekerja sebagai petani kecil di desa.

Zafry kecil dibesarkan orang tuanya di desa dan merupakan anak tertua dari lima bersaudara. Keempat saudaranya, masing-masing bernama Tuhalus (Ibut), Mukri (Ganal), Abbas (Itai), Jamrah (Galuh) dan Utuh (Lamak). Semua saudaranya adalah petani di desa mereka, kecuali Zafry. Dia lebih menyukai belajar ketimbang mengikuti jejak kedua orang tua dan saudara-saudaranya sebagai petani.

Zafry kecil yang terlahir pada tanggal 15 September 1918 mempunyai nama asli pemberian orang tuanya Muhammad Djaperi. Tanpa diketahui sebab dan waktunya, nama beliau mengalami perubahan menjadi Zafry Zamzam. Nama inilah yang lebih dikenal oleh masyarakat di Kalimantan Selatan dan orang Banjar di mana-mana.

Ayahnya meninggal ketika ia telah berkeluarga dan mempunyai beberapa orang anak. Ibunya meninggal tidak lama setelah ayahnya meninggal. Ayah dan ibunya sama-sama dimakamkan di kampung halamannya, Desa Sirih.

Sepeninggal orang tuanya, ia dan keluarganya pindah ke ibukota kabupaten, Kandangan pada tahun 1938. Seterusnya ia menetap di berbagai kota dan daerah hingga kembali ke Kandangan pada tahun 1943. Terakhir ia menetap di Kota Banjarbaru sejak tahun 1962, dan di kota inilah ia meninggal pada tahun 1972 dalam usia 54 tahun.

Tahun 1936 ia menyunting seorang gadis desa yang bernama Kustaniyah, anak pasangan keluarga petani kecil di desanya yang bernama Abdul Mukti dan Aluh. Kustaniyah menaiki pelaminan dengan Zafry setelah menamatkan pelajarannya di Volk School tahun 1936. Karena perkawinan tersebut, dia tidak lagi meneruskan pendidikannya. Dari perkawinan mereka lahir delapan orang putera dan tiga orang puteri yang nama-namanya adalah sebagai berikut :

  1. Fauzi Zamzam, lahir tanggal 7 Juni 1940;
  2. Fahmy Zamzam, lahir tanggal 23 Maret 1941;
  3. Fadjry Zamzam, lahir tanggal 11 Nopember 1945;
  4. Huriah Zamzam, lahir tanggal 17 September 1949;
  5. Fadly Zamzam, lahir tanggal 10 Agustus 1950,
  6. Naimah Zamzam, lahir tanggal 31 Juli 1952;
  7. Fakhry Zamzam, lahir tanggal 29 Oktober 1954;
  8. Fatry Zamzam, lahir tanggal 15 Mei 1957;
  9. Fiqhy Zamzam, lahir tanggal 7 Mei 1960;
  10. Rahimah Zamzam, lahir tanggal 7 September 1962;
  11. Fathy Zamzam, lahir tanggal 27 Desember 1964.

Zafry Zamzam yang semasa kecilnya bernama Muhammad Djaferi berbadan subur/gemuk, sekalipun tidak terlalu tinggi. Tingginya sekitar 165 an, tetapi besar badannya melebihi rata-rata orang sekampungnya. Di masa tuanya ketika sehat dan bugar, berat badannya mencapai ratusan kilo. Karena itu, ke manapun ia pergi dan berjalan, dari kejauhan orang bisa menebak bahwa itu “muallim Zafry Zamzam”.

Selain badannya yang gemuk, ia selalu berpakaian rapi. Kemeja putih dipadu dengan celana yang juga berwarna putih adalah pakaian keseharian dan kesukaannya. Pada upacara-upacara formal, ia selalu berdasi. Bahkan ke kantor, mengajar atau memberi kuliah, ia pun sering memakai dasi. Sosok ulama modern, guru tempoe doeloe, seorang birokrat, tampak dari penampilan beliau. Tetapi ketika di rumah, ia lebih senang memakai sarung dan berkaos oblong.

Ciri lain yang bisa dikenali dari almarhum Zafry Zamzam ialah ia memakai kaca mata tebal. Rambutnya yang agak bergelombang tampak selalu tersisir rapi., dan sekali-kali ia menggunakan songkok nasional berwarna hitam. Meskipun ia sudah haji, ia jarang memakai kopiah putih/haji, apalagi bersorban seperti kebanyakan ulama tradisional di Kalimantan Selatan. Walaupun penampilannya agak modern, tidak menyurutkan rasa hormat orang kepadanya. Tutur katanya yang bersahaja, tetapi tegas dan berwibawa, dan sekali-kali diselingi dengan lelucon atau humor, membuat orang hormat, segan dan patuh kepadanya.

Baca juga:  Hikayat Walisongo (9): Dakwah Moderat Sunan Muria melalui Kesenian dan Kearifan Lokal

Zafry kecil menempuh pendidikan formal pertama kali pada Sekolah Rakyat (Volk School dan Vervolk School) di desa Kelumpang yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari desa kelahirannya di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Oleh karena itu, dari Senin sampai Sabtu, ia harus menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah pulang pergi sekitar 10 kilometer dengan mengayuh sepeda.

Setelah tamat SR pada tahun 1925, ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru Desa (Cursus Volk Onderwijzer) di Kandangan. Seperti halnya ketika belajar di SR, di desa Kelumpang, ia mengayuh sepedanya pulang pergi dari rumahnya ke sekolahnya di Kandangan, yang jaraknya sekitar 8 kilometer. Sambil belajar di Sekolah Guru Desa, ia juga belajar di Madrasah Islam di kota yang sama. Beliau menamatkan sekolah guru tersebut pada tahun 1930, dan tamat dari Madrasah Islam pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya ke pesantren Darussalam Martapura dan Kweek School Islam Gontor, Ponorogo Jawa Timur. Setelah setahun belajar di Gontor, ia pulang ke kampung halamannya tahun 1938 untuk mengabdi sebagai guru.

Keinginannya untuk terus menimba pendidikan tidak pernah berhenti. Karena berbagai halangan, ia tidak bisa melanjutkan pendidikannya di bangku pendidikan formal setelah keluar dari Kweek School Islam Gontor tahun 1937. Pada tahun 1955, ia mengikuti kuliah tertulis di Fakultas Hukum dan Politik Universitas Majapahit Jakarta. Tahun 1960, ia mengikuti perkuliahan tertulis lagi di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Bhineka Tunggal Ika Bandung. Pada tahun yang sama ia juga sempat mengikuti kuliah tertulis pada Fakultas Hukum dan Ekonomi dari Balai Perguruan Sriwijaya Yogyakarta.

Selain mengikuti kursus tertulis, ia menambah pengetahuannya dengan belajar sendiri/secara otodidak. Ia membaca dan menelaah berbagai buku, menulis buah fikiran dan buah karyanya dalam berbagai media cetak seperti surat kabar, majalah, tulisan lepas, makalah dan buku.

Dari tahun 1938 sampai tahun 1943, Zafry Zamzam berpindah-pindah tugas. Pertama dari Kandangan ke Banjarmasin dan kemudian ke Kelua, Tanjung Redap (Kalimantan Timur), Sampit (Kalimantan Tengah) dan Alabio sebagai seorang guru. Selain menjadi guru, ia juga menjadi seorang muballigh. Tugasnya sebagai guru atas kepercayaan dan penunjukan Musyawaratut Thalibin, sebuah organisasi sosial pendidikan sebagai wadah persatuan guru.

Selain aktif di Musyawaratut Thalibin, ia juga aktif di NU dan menjadi Komisaris Daerah Partai Islam Indonesia (PII). Pada tahun 1943, ia kembali ke Kandangan menjadi guru Sekolah Rakyat di kota tersebut. Pada tahun 1945, ia diangkat menjadi Kepala Bagian Penerangan Pemerintah Wilayah Hulu Sungai dengan pangkat Kepala Klerk. Pada tahun 1947, ia diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Pada tahun 1948, ia menjadi anggota Dewan Daerah Banjar yang berkedudukan di Banjarmasin. Antara tahun 1949 hingga 1953, ia ditugaskan kembali sebagai Kepala Jawatan Penerangan Daerah Hulu Sungai Selatan. Sambil menjabat Kepala Jawatan Penerangan, ia juga menjadi anggota Badan Pengurus Daerah (1949-1950) dan anggota DPR Kabupaten Hulu Sungai Selatan (1950-1953), Antara tahun 1954-1960, ia menjadi anggota DPRDS Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan kemudian pindah ke Banjarmasin menjadi Kepala Jawatan Penerangan Kalimantan Selatan sambil merangkap sebagai Kepala PN Percetakan Negara di Banjarbaru (1962). Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi anggota MPRS (dari unsur Karya Alim Ulama) di Jakarta. Pada tahun 1961 diserahi tugas menjadi Dekan Fakultas Publisistik Unisan di Banjarmasin.

Baca juga:  Kiai Syafawi: Adik Kiai Cholil Juraimi yang Tuna Netra dan Alim Ilmu Alat

Dari tahun 1964-1972 ia diangkat oleh Menteri Agama sebagai Rektor IAIN Antasari Banjarmasin. Di samping itu, dalam kurun waktu tersebut (1967-1971) ia menjabat rangkap sebagai Pj. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin. Sehabis menjabat Dekan, ia kembali menjadi dosen dalam mata kuliah Ilmu Dakwah dengan pangkat terakhir Lektor Kepala.

Di masa pendudukan Jepang, ia pun pernah bekerja, masing-masing sebagai Pembantu Dodjoe Kogakko I, (Pembantu Da’i I) Dokdjoe Kogakko, Pembantu (Pembantu Da’i II) Hoetso Dokjoe Kogakko, Kjodo IV dan Itto Djimoein pada Hoeloe Soengai Kontjo. Semua pekerjaan ini dilakoninya dari tahun 1943-1945 (1603-1605 tahun Jepang ).

Dari berbagai profesi dan jabatan yang pernah dipangkunya, dapat diketahui bahwa Zafry Zamzam pernah berkiprah, mengabdi dan berjuang dalam berbagai bidang, seperti di pendidikan, jurnalistik, politik, agama, seni dan budaya.

Ketika masih belajar di sekolah Guru Desa (Cursus Volk Ondeersijzer) di Kandangan, pada sore harinya ia menjadi guru di Madrasah Islam, di desa Sirih, kampung halamannya sendiri. Pekerjaannya sebagai guru terus berlangsung setelah ia menamatkan pendidikannya di CVO pada tahun 1930. Tetapi tempat mengajarnya tidak lagi di desanya, melainkan pada Madrasah Islam di kota Kandangan. Ia mengajar di madrasah tersebut sejak tahun 1931 sampai dengan tahun 1933. Ia berhenti mengajar di sekolah tersebut sejak pindah dan belajar di Pesantren Darussalam Martapura dan seterusnya ke Gontor Ponorogo. Sepulang dari Gontor, Ponorogo, ia bekerja kembali sebagai guru sejak tahun 1938.

Mula-mula ia mengajar di Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) Kandangan. Panggilan tugas sebagai guru terus dilakoninya di berbagai kota atau daerah lainnya, seperti Madrasah Islam Kelua, Madrasah Islam di Tanjung Redap, Madrasah Islam di Sampit, Madrasah Islam di Alabio. Tugasnya sebagai guru keliling adalah utusan dari organisasi sosial pendidikan, yaitu Musyawaratut Thalibin.

Pada tahun 1943, ia kembali ke Kandangan dan menjadi guru tetap pada SRN 6 tahun Kandangan. Di sekolah ini ia mengajar sampai tahun 1945. Di samping itu, ia juga ikut membantu mengajar di beberapa madrasah antara lain Madrasah Islam di Pandai dan Madrasah Islam di Wasah, keduanya berada di sekitar kota Kandangan.

Setelah proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945, Zafry Zamzam ikut mempelopori berdirinya sekolah pendidikan guru agama dan perguruan tinggi di Kalimantan Selatan. Berdirinya PGA di Kandangan tidak terlepas dari jasa beliau, juga berdirinya Fakultas Publisistik di Banjarmasin. Pada tahun 1960, beliau mempelopori berdirinya Fakultas Publisistik di Banjarmasin dan ditunjuk sebagai Dekan pada fakultas tersebut. Fakultas ini kemudian berintegrasi dengan Universitas Islam Antasari (UNISAN), ketika Perguruan Tinggi ini berdiri tahun 1962.

Baik semasa Fakultas Publisistik berdiri sendiri, maupun setelah bergabung dengan UNISAN, ia aktif memberi kuliah di fakultas tersebut. Selain itu, ia juga mengajar di beberapa fakultas/Akademi lain di lingkungan UNISAN, seperti di Fakultas Ushuluddin di Amuntai, Fakultas Tarbiyah di Barabai, Fakultas Adab di Kandangan, dan Akademi Ilmu Hadits di Martapura. Ia mengajar dalam mata kuliah Pancasila, Ilmu Dakwah dan Etika. Di samping memberi kuliah, ia juga aktif mengajar di berbagai kursus yang diadakan oleh masyarakat atau pemerintah seperti pada Kursus Kader Masyarakat di Banjarmasin.

Setelah diresmikan berdirinya Institut Agama Islam Negeri Antasari (IAIN Antasari) di Banjarmasin oleh Menteri Agama RI, KH. Saifuddin Zuhri, pada tanggal 20 Nopember 1964, ia dipercayakan sebagai Pejabat Rektor IAIN yang baru berdiri tersebut. Sejak menjabat sebagai Rektor, tugas beliau semakin berat.

Baca juga:  Ulama Banjar (163): KH. Nur Salim Safran, Lc.

Tugasnya tidak hanya yang berkaitan dengan urusan akademik, tetapi juga urusan administrasi dan perlengkapan (gedung dan perkuliahan). Atas usahanya, mulailah dilakukan pembenahan kantor, gedung perkuliahan dan personalia. Bekerjasama dengan kantor dinas/jawatan lainnya, ia menghimpun dan mengangkat beberapa tenaga administrasi dan dosen untuk mengisi kekurangan tenaga di IAIN, sehingga beberapa tenaga administrasi di instansi lain pindah ke IAIN. Di samping itu, ia juga mengusahakan pengangkatan-pengangkatan tenaga-tenaga baru, baik untuk mengisi kekosongan tenaga administrasi maupun untuk tenaga pengajar. Khusus untuk tenaga pengajar, ia mengajak beberapa alumni perguruan tinggi luar daerah maupun luar negeri untuk mengabdi di IAIN Antasari.

Melalui kerjasama dengan Pemda Tingkat I maupun Tingkat II, ia berhasil menambah berbagai fasilitas untuk kantor dan ruang kuliah. Dari lobi dan kerjasama dengan Pemda Tingkat I Propinsi Kalimantan Selatan, ia berhasil mendapatkan bantuan tanah seluas 10 hektar untuk pembangunan kampus IAIN Antasari. Dengan demikian, kampus lama yang hanya menempati gedung bekas sekolah Tionghoa di Jl. Veteran sekompleks dengan FKIP Unlam bisa pindah ke kampus baru milik sendiri di Jl. A.Yani km. 4, 5 Banjarmasin.

Di lokasi Baru, IAIN Antasari yang semula hanya memiliki empat fakultas yang tersebar di beberapa daerah, kemudian bertambah fakultasnya masing-masing Fakultas Tarbiyah di Banjarmasin, sebagai kelanjutan dari Fakultas Publisistik, Fakultas Tarbiyah di Martapura, Fakultas Tarbiyah di Rantau dan di Kandangan. Dengan demikian selama kepemimpinan Zafry Zamzam, IAIN Antasari memiliki sebuah Fakultas Ushuluddin, sebuah Fakultas Adab, sebuah Fakultas Syariah dan lima Fakultas Tarbiyah yang tersebar di beberapa daerah tingkat II / kabupaten.

Hasil lain dari usahanya ialah terkumpulnya berbagai kitab peninggalan dari para alim ulama yang sudah meninggal di daerah ini dan bantuan kitab-kitab agama dari para jemaah haji yang mereka beli di tanah suci. Semua itu merupakan khazanah dan modal dasar berdirinya sebuah perpustakaan di IAIN.

Karya-karya Zafry Zamzam

Zafry Zamzam termasuk orang yang produktif dalam tulis menulis. Tulisan-tulisannya dapat dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu kelompok karya: buku, artikel dan kelompok lain-lain. Karya-karya dari tiga kelompok ini adalah sebagai berikut:

  1. Buku
  2. Cuaca Hulu Sungai, Jawatan Penerangan Kabupaten Hulu Sungai, Kandangan, 1951.
  3. Bagaimana Menyelesaikan Sengketa Hukum Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom, Kandangan, 1956.
  4. Menyelenggarakan Rumah Tangga Daerah, Nomor Istimewa Suluh Umum, Jawatan Penerangan Propinsi Kalimantan Selatan, 1956.
  5. Revolusi Terpimpin Dengan Undang-Undang Dasar 1945, Jawatan Penerangan Propinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru, 1959.
  6. Mencari Kepribadian Sendiri, Banjarbaru, 1959.
  7. Pengantar Ilmu Dakwah dan Etika, Fakultas Dakwah IAIN Antasari, 1962.
  8. Pedoman Pemerintahan Daerah, Jawatan Penerangan Propinsi Kalimantan Selatan.
  9. Liku-Liku Hidup, Jilid Pertama, Pustaka Tarbiyah, Banjarbaru-Banjarmasin, 1971.
  10. Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Sebagai Ulama Juru Dakwah, Karya Banjarmasin, 1974.
  11. Riwayat Berdirinya PWI Kalimantan selatan, Banjarmasin, tth.
  12. Pendidikan Agama Islam, Rangkaian I, II, III, Kandangan 1947.

Selain beberapa buku, juga menulis beberapa artikel yang diterbitkan di beberapa koran dan majalah. Di samping itu ada karya yang masih berupa arsip dan belum ditemukan majalah/harian/penerbit mana yang memuatnya. Di samping itu ditemukan juga beberapa makalah seminar/diskusi/ penataran.

Pengalamannya sebagai guru, dosen, pejabat, wartawan, budayawan dan juru dakwah, memperkaya wawasan dan memperkuat kepribadiannya sebagai seorang ulama modern.

Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top