Tidak ada satu orang pun dari kalangan muslim yang merujuk pada selain Alquran dan Hadits. Semua individu, sekte, kelompok keagamaan merujuk pada dua sumber otoritatif hukum Islam tersebut. Hanya saja, kualitas masing-masing berbeda dalam “merujuk.” Ibarat menambang, sebagian berhasil mendapatkan intan permata, sebagian lain mendapat batu kapur. Sekalipun sama-sama merujuk Alquran, hasil didapat berbeda kualitas.
Kata “merujuk” dalam kajian filsafat fenomenologi disebut sebagai “intensionalitas”; atau “keterarahan”. Pikiran dan kesadaran manusia yang berada dalam tempurung kepala merujuk pada Alquran, berarti melakukan intensionalitas atau mengarah pada Alquran. Perbedaan pemahaman tentang Alquran yang sama disebabkan oleh intensionalitas yang berbeda ini.
Ada banyak alasan dan faktor yang memungkinkan pemahaman akan Alquran berbeda-beda. Salah satunya adalah kondisi. Kata “kondisi” di sini merujuk pada suasana pikiran, batin, pengalaman harian, maupun lingkungan pergaulan (bacaan, tontonan, hobi, dll). Seseorang yang lebih baca buku-buku filsafat akan memiliki pemahaman berbeda dibanding orang yang suka membaca buku-buku komik dan novel, saat membaca Alquran. Seseorang yang memiliki skill bahasa Arab dan yang tidak, pasti memiliki pemahaman berbeda saat sama-sama membaca ayat Alquran yang sama.
Kondisi yang juga memengaruhi intensionalitas seseorang dalam memahami Alquran, bisa berupa ormas atau parpol yang diikutinya. Ormas atau parpol yang memiliki kepentingan politik tertentu terhadap massanya, akan memahami Alquran sesuai interes mereka masing-masing. Massa yang “nunut-buta” terhadap ideologi ormas dan parpol dalam memahami ayat Alquran dipastikan terpengaruh. Kondisi tertentu akan mempengaruhi kerja intensionalitas sehingga melahirkan jenis pemahaman yang beragam.
Karena itulah, umat muslim bisa dikelompokkan sesuai kelas-kelas intelektual mereka. Kelas pertama, ini adalah kelas terendah. Kelas ini dihuni oleh orang-orang yang tidak sadar akan soal intensionalitas dan kondisi yang mempengaruhinya. Ini adalah kelasnya orang awam. Dalam memahami Alquran, pemahaman mereka sangat sederhana.
Ciri-ciri kelompok yang masuk kelas pertama ini adalah memahami Alquran tanpa perangkat pengetahuan yang lengkap. Tidak ada disiplin ilmu yang digunakan. Sekalipun ada, perangkat disiplin yang digunakan hanya beberapa, misal: bermodalkan Kamus Bahasa Arab dan buku-buku pengantar tata bahasa Arab (nahwu, Saraf). Ciri-ciri pemahaman mereka sangat rentan dan mudah diserang karena basis epistemologisnya sangat rapuh.
Kelas kedua, ini adalah kelas menengah. Kelas ini dihuni oleh orang-orang yang sudah sadar akan persoalan-persoalan dalam intensionalitas, termasuk segala ragam kondisi yang mempengaruhinya. Ini adalah kelasnya orang-orang terpelajar, seperti para sarjana, doktor, profesor. Atau, orang-orang yang tidak memiliki gelar akademik namun mampu duduk sejajar berunding dengan para akademisi mengenai keilmuan.
Ayat Alquran di tangan kelas terpelajar ini dipahami jauh lebih rumit dibanding kelasnya orang awam. Perangkat keilmuan yang digunakan dalam memahami, dalam melakukan intensi, Alquran tidak terbatas pada Bahasa Arab dan gtamatikanya melainkan juga dengan disiplin-disiplin yang sudah dikembangkan secara massif dan produktif di institusi-institusi perguruan tinggi dan sederajat. Alquran menjadi multidisipliner, dan hasil pemahaman terhadap Alquran jauh lebih universal.
Kelas ketiga, ini adalah kelas lanjutan. Kelas ini memiliki anak-anak didik yang jauh lebih tersaring dibanding kelas menengah. Orang-orang sudah pasti tidak dapat masuk mengikuti kelas lanjutan ini. Bahkan, kaum akademisi, terdidik dan terpelajar, juga tidak semuanya bisa lulus dan masuk ke kelas lanjutan ini. Perangkat keilmuan yang dipakai untuk memahami Alquran dalam kelas lanjutan ini bukan lagi semata disiplim rasional dan ilmiah.
Dalam Kelas Lanjutan ini, pemahaman Alquran tidak dihasilkan melainkan anugerah atau pemberian. Peserta didik tidak berusaha memahami Alquran tetapi Alquran menjelaskan dirinya sendiri sehingga bisa dipahami. Tidak ada kerja akademik, tetapi penantian akan anugerah. Intensionalitas yang terjadi tidak dari subjek (pembaca) kepada objek (Alquran), melainkan sebaliknya; dari objek (Alquran) ke subjek (pembaca).
Tiga golongan umat muslim dalam melakukan pembacaan atau intensionalitas pada Alquran, secara sosiologis, bisa ditandai dari ciri-ciri perilaku mereka di ruang publik. Orang-orang awam sering kali anti pati terhadap kerumitan berpikir. Tentu banyak sekali alasan mengapa golongan orang awam ini malas memahami kerumitan; pertama, faktor kesibukan sehari-hari, misal profesi, jabatan, pekerjaan, yang mendorong mereka tidak punya waktu belajar kerumitan-kerumitan berpikir kelas terpelajar.
Perlu dicatat, umat muslim Indonesia banyak yang tidak punya waktu mendalami Alquran seserius kaum terpelajar. Massa awam ini jauh lebih banyak dibanding massa terlepajar, dan karenanya, ini persoalan serius yang harus dipikirkan oleh para terpelajar. Tugas utama kaum terpelajar adalah menyarikan inti Alquran dan disajikan kepada kaum awam tanpa kehilangan aspek kedalaman pemahaman Alqurannya. Alquran perly disajikan sesederhana mungkin, supaya cocok dan masuk ke dalam nalar berpikir orang awam.
Berikutnya, ciri-ciri golongan terpelajar di ruang publik dapat ditandai dengan kesanggupan mereka untuk saling menerima, menyadari posisi akademik masing-masing, memahami batas-batas diri, dan kesediaan untuk memberikan uang eksistensi kepada yang-lain. Di kalangan kaum terpelajar, berbeda pendapat adalah hal lazim dan bukan perkara istimewa.
Namun, sikap kaum terpelajar ini sering berbeda apabila mereka berpisah satu sama lain dan mencari basis massa mereka sendiri-sendiri. Kaum terpelajar sering tergelincir dan memperdagangkan posisi dan disiplin akademik yang mereka kuasai. Perpecahan di level akar rumput, di level orang awam, disebabkan oleh kaum terpelajar yang memperlakukan massa mereka sebagai objek-objek.
Keterbelahan masyarakat di akar rumput disebabkan oleh ketertutupan kaum terpelajar tentang apa yang sudah disepakati dan lazim di kalangan sesama terpelajar. Di kalangan kaum terpelajar sendiri, berbeda itu sudah lumrah. Saling menerima perbedaan adalah hal biasa.
Namun, akibat “ketertutupan” kaum terpelajar, massa awam dibuat tidak mengerti. Sehingga aksi massa awam seperti binatang berkacamata kuda. Yaitu, tidak mampu melihat kemungkinan adanya kebenaran di kubu sebelah yang berbeda.
Massa awam yang diberi kacamata kuda mendatangkan keuntungan tersendiri bagi kaum terpelajar. Yaitu, glorifikasi dan fanatisme. Massa awam akan terus menerus melakukan glorifikasi atas tokoh-tokoh pujaan mereka sampai terjerumus ke dalam jurang fanatisme. Di level ini, kaum terpelajar diuntungkan oleh dominasi intelektual mereka terhadap massa fanatik.
Alquran di hadapan kaum terpelajar semata menjadi sangat berbeda dibanding dengan Alquran di hadapan kaum terpelajar bersama massa fanatiknya. Intensionalitas Alquran di mata orang awam terhalangi oleh kehadiran sosok idola atau figur karismatik mereka. Ini menjadi pekerjaan yang sangat berat bagi kaum awam untuk bisa menembus sosok idola mereka supaya bisa sampai pada Alquran yang mereka baca. Pekerjaan orang awam semakin berat apabila tokoh idola mereka dilegitimasi oleh ormas-ormas atau parpol-parpol pendukungnya.
Persoalan yang sama juga dihadapi oleh kaum terpelajar yang menjadi idola masyarakat dan bekerja mewakili suara ormas dan parpol pilihannya. Intensionalitas mereka terhadap Alquran terhalangi oleh kehadiran massa, ormas, parpol, yang mereka bela. Alquran dibaca untuk menghasilkan suatu pemahaman yang memuaskan kepentingan supporternya dan tidak menciderai ideologi ormas atau parpol tunggangannya.
Karena itulah, “kembali pada Alquran dan Hadits”, “berpedoman hanya pada Alquran Hadits, “bersendikan Alquran Hadits”, merupakan jargon-jargon ideal secara teoritis tetapi penuh tantangan dalam ranah praksis.
Nusantara hadir bukan untuk mengubah Islam. Islam Nusantara adalah istilah yang digunakan untuk merepresentasikan persoalan-persoalan yang mungkin hadir sebagai suasana atau kondisi intensionalitas terhadap Alquran. Islam Nusantara tetap menempatkan Alquran sebagai rujukan utama umat muslim, dan karenanya Islam Nusantara mengajak umat muslim kepada pada Alquran sebagai satu-satunya pedoman hidup di dunia maupun akhirat.
Hanya saja, Islam Nusantara hadir untuk menyadarkan soal intensionalitas dan kondisi-kondisi yang melingkupinya. Bagi Islam Nusantara, setiap subjek (umat muslim) di hadapan objek (Alquran) memiliki kedudukan yang sama. Kedua, bagi Islam Nusantara, antara subjek dan objek dihubungkan oleh intensionalitas yang kualitasnya berbeda-beda. Karena itulah, semua jenis intensionalitas berbeda ini harus co-existence (hidup harmonis, saling menghargai, tanpa saling menghakimi dan mengeliminasi).
Islam Nusantara berperan sebagai garis imajiner di dua tempat. Pertama, antara Alquran dan pembacanya. Islam Nusantara menjadi penyeru bahwa semua umat muslim memiliki hak yang sama (bahkan harus) membaca Alquran dan memiliki tingkat pemahaman atau interpretasi yang berbeda; sesuai kelas-kelas masing-masing (kelas awam, kelas terpelajar, kelas lanjutan). Keragaman adalah rahmat.
Kedua, antara satu pembaca Alquran dengan pembaca lain. Islam Nusantara menjadi “alarm” atau tanda pengingat bahwa secara alamiah maupun akademis, perbedaan kualitas intensionalitas, kondisi-kondisi yang melingkupi, bahkan hasil dari penggalian intensif akan Alquran itu pasti berbeda. Perbedaan tidak harus disikapi secara eliminatif, negasi, destruktif, tetapi harus lebih dewasa dibanding mau menang sendiri. Co-existensi untuk sementara ini adalah pilihan yang lebih bijak.
Pengalaman historis Islam Nusantara menjadi salah satu penopang bangunan epistemologisnya. Selain itu, posisi geografis dan demografis Islam Nusantara turut melengkapi bangunan ontologisnya. Jadi, jika secara aksiologis Islam Nusantara mencita-citakan co-existence maka hal itu wajar sekali.
Pertama, soal pengalaman historis. Islamisasi di Nusantara tidaklah homogen. Bukan saja orang-orang Arab yang berkontribusi besar terhadap terbentuknya Islam Nusantara. China, India, dan Persia juga turut serta dalam pembentukan Islam di Nusantara abad klasik.
Di abad modern hingga era kontemporer, Islam Nusantara tidak saja didakwahkan oleh akademisi-akademisi Timur Tengah (Arab Saudi, Iran, Mesir, Yaman, Maroko, dll.). Bahkan, Islam Nusantara Era Kontemporer juga dikembangkan oleh lulusan-lulusan Eropa dan Amerika.
Kedua, soal geografi dan demografi Islam Nusantara. Letak Nusantara dengan pusat Islam di Makkah dan Madinah, serta perbedam karakter umat di kedua negara tersebut, adalah kondisi-kondisi yang melingkupi dan mempengaruhi intensionalitas terhadap Alquran. Orang-orang Mekkah-Madinah membaca Alquran akan menghasilkan pemahaman berbeda dengan orang-orang Jawa, Sumatera, Kalimantan, Maluku dan muslim Papua.