Sedang Membaca
Mengenal Jawahir Roble, Wasit Sepak Bola Muslimah Pertama di Britania Raya
Hasna Azmi Fadhilah
Penulis Kolom

Peneliti dan pemerhati politik yang tinggal di Jatinangor Sumedang. Bisa dijumpai di akun Twitter @sidhila

Mengenal Jawahir Roble, Wasit Sepak Bola Muslimah Pertama di Britania Raya

The Referee

Penulis kenamaan Amerika, Kurt Vonnegut pernah berkata bahwa dampak negatif perang tidak hanya membuat para korbannya celaka fisik, tapi juga kehilangan karakter dan jati diri. Sampai-sampai banyak orang yang tinggal di lingkungan konflik menjadi sangat putus asa dan enggan menampilkan potensinya.

Seakan ingin membantah pernyataan itu, Jawahir Roble justru melakukan hal yang sebaliknya. Akrab dengan suara senapan dan dentuman bom di tanah kelahirannya, Somalia, perempuan yang akrab disapa JJ tersebut seperti kehilangan rasa takut semasa kecil.

Ia masih ingat betul, bunyi nyaring senjata laras panjang kerap kali menghentikan permainan sepakbola ia dan kawan-kawannya. Jika itu terjadi, mereka akan segera lari, lalu buru-buru menyelinap masuk ke rumah. Bila sudah begitu, mama Roble akan menasihatinya untuk jangan keluar lagi.

Tentu saja, Roble segera mengangguk mengiyakan serta tak lupa bersikap manis di depan ibu kandungnya. Ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah anak penurut yang tidak perlu dikhawatirkan, padahal, tak lama setelah dirasa aman dan suara senjata tak terdengar lagi, ia akan diam-diam menyelinap kembali ke lapangan dengan santai tanpa beban.

Sementara itu, meski ia serta banyak teman sebayanya selalu bersemangat dalam bermain bola, perlengkapan yang mereka punyai sangatlah terbatas. Bola bulat bagus adalah suatu kemewahan tak terkira bagi anak-anak Mogandishu yang sudah terlalu akrab dengan perang dan kemiskinan. Tapi, mereka malah tak hilang akal. Apapun bisa mereka sulap menjadi bola abal-abal, dari kentang, kertas koran, hingga baju bekas pun oke untuk saling diumpankan.

Sehingga, ketika ia dihadapkan oleh betapa lengkapnya fasilitas sepak bola di sekolah barunya di Inggris setelah keluarganya mendapatkan suaka, ia tak henti berdecak kagum dan merasa sangat bersyukur, “I was amazed, they had proper footballs, long socks, proper pitches.“

Namun, di saat yang sama kemampuan Bahasa Inggrisnya juga masih terbatas kala itu. Sebagai anak sepuluh tahun yang ingin belajar dan ingin beradaptasi cepat di lingkungan baru, ia pun akhirnya memutuskan untuk membentuk sendiri tim sepak bola sekolah.

Baca juga:  KH. Bisri Syansuri, Pejuang Gender di Pesantren 

Gayung bersambut, ide Roble diterima dan ia sendiri bahkan melakukan latihan keras tiap hari. Jadwalnya bahkan bisa sampai tiga kali: waktu rehat antar mata pelajaran, istirahat makan siang, dan jam pulang sekolah.

Meski giat berlatih, ketika beranjak dewasa Roble justru tidak tertarik untuk meniti karier sebagai pemain sepak bola, ia malah lebih kepincut pada kepemimpinan wasit di lapangan hijau. Oleh karena itu, usai menamatkan sekolah setingkat SMA, ia mengambil kursus wasit profesional yang diselenggarakan oleh the Middlesex FA, selain juga mengambil kuliah di jurusan manajemen dan kepelatihan sepak bola di University Campus of Football Business.

Dengan kemampuan dan kapasitas yang luar biasa, kini perempuan berumur 24 tahun itu sudah dipercaya memimpin pertandingan kelas junior dan senior. Bahkan di usia yang masih belia, selain mencetak rekor sebagai wasit sepakbola muslimah pertama di Inggris Raya, ia juga telah diganjar beberapa penghargaan lain, di antaranya adalah the match official gong at the FA’s 2017 respect awards, FA Youth Leader, dan pemenang kategori “the sports personality of the year” di tahun 2018 dari Somali Achievement Awards.

Meski telah mencatatkan beberapa prestasi, perempuan dengan 8 saudara kandung ini ternyata masih menyimpan banyak ambisi besar, termasuk menjadi pengadil lapangan pada gelaran Piala Dunia sepak bola wanita di tahun 2023. Walau, ia sendiri mengaku masih banyak yang perlu ia siapkan untuk mewujudkan impiannya tersebut.

Baca juga:  Larangan Mencederai Sesama

Tak pelak, sikap rendah hati yang ditunjukkan Roble semakin membuat banyak orang respek padanya. Alan Hill, yang bertindak sebagai mentor kepelatihannya pun tak segan untuk melemparkan pujian, “Roble adalah pribadi dengan keinginan kuat untuk belajar. Saya salut padanya. Ketika Anda melihat kemampuannya di lapangan, Anda tidak lagi akan mempersoalkan penampilannya. Dan menurut saya tidak ada masalah dengan jilbab yang ia kenakan. Ia adalah seorang yang profesional.”

Kapasitasnya sebagai wasit sepak bola memang tidak diragukan, namun pada realitanya, menghadapi tantangan di lapangan hijau, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Beberapa kali, ketika baru masuk ke lapangan, ia kerap tak dianggap dan diacuhkan, terutama saat harus memimpin pertandingan sepak bola kaum adam.

Ia mengaku bahwa terkadang ia harus meyakinkan mereka hingga lima kali baru dapat dipercaya, “yeah, man, I am your referee.” Itu pun, masih saja disepelekan dan mereka akan kembali menanyakan wasit utama yang akan menemani mereka, “no way! When is the proper referee coming?”

Menyiasati perlakuan seperti itu, ia biasanya akan tetap tenang dan tetap berusaha keras untuk tidak merespon secara emosional. Ia paham bahwa tidak akan mudah bagi seorang perempuan berperawakan kecil yang mengenakan jilbab dan dari ras kulit hitam untuk dapat diterima di lingkungan sepak bola Inggris yang mayoritas dikuasai oleh laki-laki. Oleh karenanya, ia selalu meyakinkan diri bahwa orang-orang rasis tidaklah perlu dipedulikan, “I see myself as a strong person. If someone says something to me I don’t get emotional. I just think they’re ignorant.”

Karakter kuat yang dimiliki Roble tidak terlepas dari didikan orangtuanya yang disiplin. Meski, dulu orangtuanya sempat melarangnya terjun di dunia sepak bola semasa sekolah dasar. Tapi, seiring waktu justru ayah dan ibunya lah yang kini menjadi suporter utama karier salah satu duta apparel Nike itu di dunia sepak bola.

Baca juga:  Sufi Perempuan: Hukaymah dari Damaskus

Dengan dukungan penuh keluarganya, Roble kini tidak hanya ia ingin mewujudkan cita-cita pribadinya saja, ia juga ingin menjadikan sepak bola sebagai cara terbaik untuk memotivasi dan memberdayakan kompatriotnya sesama perempuan, terutama di negeri pertamanya Somalia.

Menurut Roble, aktualisasi diri dalam aktivitas olahraga, termasuk sepak bola tentu akan membantu para remaja perempuan untuk mengembangkan kemampuan pribadi dan meningkatkan kepercayaan diri. Selama ini perang saudara tidak hanya meluluhlantakkan rumah dan bangunan-bangunan mereka, tapi juga memendam banyak impian anak-anak Timur Afrika itu. Oleh karenanya, sembari menanti damai menyelimuti Somalia, Roble berjanji akan terus bergerak menjadi inspirasi sesamanya:

“I want to help more girls get into the game. They don’t have to be footballers but there is so much else to achieve. Impossible is nothing.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top